Pembebasan anggota Taliban yang ditahan Pemerintah Afghanistan membangkitkan kembali kenangan menyakitkan bagi keluarga korban kekerasan kelompok itu. Mereka pun meragukan pembebasan itu menghadirkan perdamaian.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Keputusan membebaskan sekitar 400 tahanan anggota Taliban yang paling berbahaya membangkitkan memori menyakitkan bagi keluarga korban kekerasan kelompok Taliban. Mereka tidak yakin pembebasan ratusan Taliban itu akan membawa perdamaian di Afghanistan.
Sekitar 400 anggota Taliban akan dibebaskan secara bertahap dalam beberapa hari ke depan. Taliban berjanji akan membahas perdamaian dengan Pemerintah Afghanistan setelah proses pembebasan selesai. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengatakan, pembebasan Taliban yang didukung Amerika Serikat itu mau tak mau harus dilakukan dan itu harga yang harus dibayar demi mewujudkan perdamaian.
Namun, keluarga para korban merasa dikhianati dan menilai pemerintah keterlaluan. ”Rasanya sakit sekali, seperti ada pisau menusuk hati saya,” kata Juma Khan (77).
Anak laki-laki Khan, Aziz Ahmad Naween (24), seorang spesialis teknologi informasi, tewas dalam ledakan bom dahsyat dari truk di dekat Kedutaan Besar Jerman, Mei 2017. Ia sedang dalam perjalanan menuju ke kantornya. ”Kami semua menginginkan perdamaian, tetapi pemerintah tidak pernah tanya pendapat dan perasaan kami sebagai korban,” kata Khan.
Bagi Khan, hari itu merupakan hari tergelap dalam hidupnya. Ia sempat pingsan saat melihat jasad anaknya. Ia tidak percaya pembebasan anggota Taliban itu akan membawa perdamaian di Afghanistan.
Tetap berbahaya
Sebelumnya, Pemerintah Afghanistan sudah membebaskan sekitar 5.000 anggota Taliban yang ditahan. Pembebasan itu merubakan bagian dari kesepakatan antara AS dan Taliban, Februari lalu. Meski anggota-anggota Taliban yang sudah dibebaskan berjanji tidak akan angkat senjata lagi, Ghani mengakui 400 tahanan yang akan dibebaskan itu kemungkinan akan tetap menjadi ancaman bagi Afghanistan, AS, dan dunia.
Dalam tulisan di harian The Washington Post, Jumat, Ghani mengatakan, keluarga korban sudah membayar harga yang sangat mahal. ”Kami sudah membayar dengan nyawa, puluhan ribu nyawa warga Afghanistan,” tulis Ghani.
Ledakan bom truk itu menewaskan lebih dari 150 orang dan ribuan terluka. Ini tragedi paling mematikan sejak 2001. Sampai sekarang tidak ada yang mengaku sebagai pelaku, tetapi pemerintah menuding Jaringan Haqqani yang bersekutu dengan Taliban sebagai pelakunya.
Dalam daftar resmi pemerintah yang berisi nama 400 tahanan Taliban itu tercantum nama anggota-anggota Taliban yang terlibat dalam ledakan bom truk itu. Bukan hanya rakyat Afganistan yang keberatan dan mengecam, tetapi juga komunitas internasional.
Tak termaafkan
Keluarga Bettina Goislard, pekerja PBB asal Perancis yang menangani pengungsi, yang tewas ditembak Taliban pada 2003, juga menentang pembebasan para tahanan itu. ”Keputusan ini tidak bisa kami terima,” kata pihak keluarga Bettina.
Keputusan itu juga mengagetkan Shahnaaz Ahmadi (42) yang suaminya, Faiz Ali Ahmadi, tewas dalam ledakan bom truk. ”Tidak masuk akal. Kenapa mereka melakukannya? Kami semua menangis. Tahanan itu mustinya dieksekusi dari dulu-dulu. Saya tidak akan pernah memaafkan Taliban,” kata Shahnaaz yang kini harus menghidupi tujuh anaknya sendirian.
Namun, Abdul Rahman Sayed yang juga kehilangan adiknya, Ahmad Farzam (34), dalam serangan Taliban di Intercontinental Hotel di Kabul pada 2018, sudah mulai mencoba memaafkan demi perdamaian. ”Kalau saya menentang pembebasan para pembunuh adik saya, perang ini tidak akan pernah berakhir. Saya rasa sekarang saatnya memaafkan,” ujarnya. (AFP)