Pandemi Covid-19 Tak Berhasil Hentikan Konflik Bersenjata
Pandemi Covid-19 ternyata belum menyulut konsistensi negara-negara menghentikan konflik dan mengambil langkah damai. Indonesia mengusulkan tiga upaya membangun perdamaian.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, RABU - Pandemi Covid-19 tidak hanya akan menghambat upaya perdamaian dan mengurangi kemiskinan global tetapi juga berisiko memperburuk konflik-konflik yang tengah terjadi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan dapat memicu munculnya konflik baru.
Hal ini diingatkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, Rabu (12/8/2020). Dalam pertemuan itu, Guterres mengingatkan tantangan menjaga perdamaian dunia di masa pandemi. Sejak 23 Maret lalu, Guterres sudah menyerukan agar semua pihak yang bertikai segera gencatan senjata demi menghentikan pandemi.
"Sayangnya, pandemi ini tidak juga menggerakkan pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan konflik atau menyepakati gencatan senjata permanen," kata Guterres.
Mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon juga heran konflik bersenjata tidak juga bisa dihentikan saat pandemi. Padahal, seluruh dunia berhasil "merumahkan" miliaran orang dengan kebijakan karantina, menutup perbatasan internasional, menghentikan perdagangan dan pergerakan manusia, dan menutup sementara berbagai macam industri.
Ban menilai DK PBB membuang waktu berharga selama berbulan-bulan karena tidak segera mengadopsi resolusi yang mendesak semua pihak yang bertikai seperti Suriah, Yaman, Libya, Sudan Selatan, dan Kongo, untuk segera menghentikan konflik dan menangani Covid-19. Resolusi DK PBB tentang itu baru keluar 1 Juli lalu.
"Mustinya DK PBB bisa mengirimkan pesan yang kuat bahwa sekarang inilah saatnya kita melawan musuh bersama," kata Ban.
Perusuh
Kelambatan DK PBB mengeluarkan sikap yang tegas itu, lanjut Ban, justru memperparah situasi keamanan global. Ini terlihat dari dampak Covid-19 yang parah di daerah-daerah konflik. Ban yang juga memimpin kelompok pemimpin dunia, The Elders, yang didirikan Nelson Mandela, itu juga menilai upaya menjaga perdamaian yang sudah susah payah dilakukan akan bisa hancur berantakan.
Pada saat berbagai pemerintah berusaha melawan pandemi, ada saja kelompok-kelompok tertentu yang mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk tetap memancing keributan. Contohnya seperti Boko Haram dan kelompok militan lain di Nigeria, kekerasan oleh gerombolan di Kongo, dan pembunuhan oleh kartel-kartel narkoba di Meksiko.
Ban juga memperingatkan dampak-dampak ekonomi dari pandemi yang akan membuat dunia menderita dalam waktu lama. Ini tentu saja membuat daerah-daerah konflik kian lemah. Ia mencontohkan, krisis politik dan ekonomi Lebanon yang kian parah akibat ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut, pekan lalu. Sektor perdagangan dan pariwisata Lebanon sudah lemah lunglai akibat pandemi.
Efektivitas sistem
Selain tak bisa menghentikan konflik, kata Guterres, pandemi Covid-19 juga memicu kekhawatiran akan efektivitas sistem layanan kesehatan dan layanan sosial serta kepercayaan publik terhadap institusi dan sistem pemerintahan. "Komitmen kita untuk menjaga perdamaian saat ini semakin penting," ujarnya.
Ada tiga ancaman berbahaya bagi dunia yakni berkurangnya kepercayaan publik, melemahnya tatanan ekonomi dunia, dan melemahnya jalinan sosial. Persepsi publik yang memandang pemerintah gagal menangani krisis, tidak transparan, atau berpihak pada sekutu politik yang disukainya saja akan bisa membuat publik tak percaya pada pemerintah dan institusi-institusinya.
"Di beberapa negara tertentu, pandemi Covid-19 sering menjadi alasan pemerintah untuk menindak tegas rakyatnya bahkan cenderung seperti menindas," kata Guterres.
Untuk itu, seluruh pemimpin dunia diimbau untuk segera menangani krisis ini dengan membuat strategi dan langkah-langkah konkrit yang akan membantu dan menyelamatkan hidup dan kehidupan rakyatnya. (AP)