Presiden China Xi Jinping mendorong warganya untuk menghemat dan mengurangi limbah sisa makanan. Langkah itu diambil di tengah deraan pandemi yang mengancam ketahanan pangan global.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Akan ada yang berbeda di meja makan restoran-restoran di China. Tidak akan ada lagi beragam jenis masakan yang tersaji pada satu meja, sebagaimana yang selama ini menjadi tradisi masyarakat China. Tradisi makan bersama-sama dengan beragam masakan yang sudah mengakar ini mau tak mau akan berubah seiring dengan kampanye Presiden Xi Jinping untuk menghemat dan mengurangi limbah sisa makanan.
Warga China diingatkan untuk tidak banyak memesan makanan agar tidak ada sisa makanan yang terbuang. Untuk memastikan rakyatnya mematuhi aturan baru ini, Xi menggerakkan ”operasi piring bersih”. Banyaknya sisa makanan yang terbuang ini bagi Xi mengagetkan dan menyedihkan, mengingat saat ini China dan negara-negara lain di dunia tengah mengalami krisis ketahanan pangan. ”Dampak pandemi Covid-19 ini menyadarkan kita akan ancaman krisis pangan,” kata Xi, Kamis (13/8/2020).
Kelompok-kelompok katering regional mematuhi permintaan Xi dan mulai menjalankan apa yang mereka sebut ”kebijakan N-1”. Mereka meminta para tamu yang makan bersama-sama untuk memesan menu masakan yang lebih sedikit dari jumlah tamu. Jika tamu yang makan satu meja lima orang, mereka hanya boleh memesan empat jenis masakan.
Bagi tamu yang datang sendiri, restoran diminta untuk menghidangkan porsi makanan yang lebih sedikit atau hanya setengah porsi. Laporan Akademi Sains China pada 2018 menyebutkan, rata-rata tamu di restoran membuang sisa makanan sekitar 93 gram untuk setiap pesanan makanan. Setiap tahun, kota-kota besar di China membuang sekitar 18 juta ton sisa makanan.
Gagal panen
Kekhawatiran publik di dunia, termasuk China, terhadap isu ketahanan pangan meningkat setelah muncul pandemi Covid-19. Apalagi dengan banyaknya orang yang panik dan menimbun bahan makanan. Akibatnya, hampir di semua kota di China yang memberlakukan kebijakan karantina kekurangan stok bahan makanan.
Bagi China, kekhawatiran itu diperparah dengan bencana banjir bandang yang menghancurkan lahan pertanian yang luas di delta Sungai Yangtze. Padahal, hampir separuh produksi pertanian China ada di wilayah itu. Akibatnya, panen pun gagal dan menyebabkan harga pangan melonjak.
Gerakan kampanye Xi ini didukung media pemerintah dan platform daring. Di antaranya platform live streaming yang populer, Douyin dan Kuaishou. Mereka menyatakan akan menutup akun-akun siapa saja yang makan berlebihan dan terkadang sampai muntah. Video-video seperti ini sering viral dan dikenal sebagai ”mukbang”.
Kampanye gerakan ini kini menjadi kontroversi dengan alasan pemerintah tidak bisa seenaknya mengubah tradisi makan bersama dengan beragam masakan. Apalagi di China memesan satu jenis masakan untuk dimakan dua orang itu dianggap memalukan. ”Ini tidak masuk akal. Sekarang makanan. Nanti, di masa depan, apa iya saya juga hanya boleh pakai separuh kertas toilet,” tulis seorang warga di media sosial Weibo.
Tak sopan
Keberhasilan gerakan hemat makanan ini tampaknya akan butuh waktu lama, terutama bagi masyarakat China yang menganggap memesan atau menyajikan masakan lebih banyak dari yang dibutuhkan itu sebagai bentuk tata krama kesopanan.
Jika ada piring kosong saat makan bersama, ada anggapan tuan rumahnya tak baik karena hanya menyediakan sedikit makanan dan kurang memuaskan tamu. Situs BBC, Kamis, menyebutkan, mereka yang tidak setuju dengan gerakan ini berbalik menuding pemerintah yang justru sering membuang makanan kalau ada acara-acara resmi. Sementara restoran malah tidak banyak yang membuang sisa makanan.
Ini bukan kali pertama China menggerakkan kampanye antisisa makanan. Pada2013 pernah ada operasi dengan nama yang sama yang diluncurkan. Namun, pada waktu itu, sasaran gerakan itu hanya ke acara-acara resepsi dan acara makan-makan yang mewah oleh pejabat pemerintah atau pemerintah.
Analis media China, Kerry Allen, menjelaskan, sebenarnya China sudah bertahun-tahun berusaha mengurangi sisa makanan yang dihasilkan 1,4 miliar penduduknya. Jumlah sisa makanan di China sangat banyak sehingga akan cukup untuk memberi makan 30-50 juta orang setiap tahun. ”Taktik agresif ini memang perlu untuk mengubah cara pikir orang terhadap kebiasaan konsumsinya,” ujarnya.
Daur ulang
Pada Juli 2019, kota Shanghai memberlakukan aturan ketat yang memaksa setiap orang dan perusahaan untuk mendaur ulang sisa makanannya. Jika tidak mematuhi aturan ini, ancamannya denda atau penalti pada rating kredit sosial mereka. Model Shanghai inilah yang kemudian diujicobakan juga di kota-kota lain di China.
Selain masalah sisa makanan, China juga menghadapi masalah obesitas. Pada 2016, jumlah orang yang kelebihan berat badan di China melebihi Amerika Serikat. Kini, situasinya dikhawatirkan akan memburuk, mengingat jam belajar dan jam kerja yang lebih lama dan kebiasaan makan yang kian buruk. Ini yang akan memicu kenaikan berat badan. (AFP/LUK)