Meski PM Hassan Diab telah mundur dan akan ada pemerintahan baru, banyak yang khawatir masih akan banyak wajah lama yang kembali masuk ke pemerintahan Lebanon.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Satu pekan setelah ledakan di pelabuhan kota Beirut, 4 Agustus lalu, perasaan warga Lebanon masih campur aduk marah dan sedih, terutama mereka yang kehilangan sanak saudara. Warga yang marah lalu turun ke jalan dan menuntut elite-elite politik mundur. Akibat ledakan yang getarannya sampai terasa di Siprus itu, 171 orang tewas dan 6.000 orang terluka serta 300.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Masjid dan gereja di Beirut mengajak para jemaahnya untuk mendoakan para korban dan mengenang ledakan di gudang amonium nitrat itu, Selasa (11/8/2020).
Ali Noureddin bergabung dengan ribuan orang yang berkumpul di puing-puing bangunan di pelabuhan Beirut. Saudara Noureddin, Ayman (27), tewas dalam ledakan itu karena sedang bertugas menjaga pabrik pada hari itu. ”Saudara saya meninggal karena pemerintah abai dan korupsi,” kata Noureddin sambil membawa foto Ayman.
Noureddin menilai mundurnya pemerintahan Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab (61) tidak berpengaruh kecuali diikuti oleh seluruh elite politik Lebanon. Perubahan hanya akan terjadi jika seluruh rezimnya diganti. ”Saya berharap anak-anak muda di sini dan para korban bisa membawa perubahan,” ujarnya.
Dalam pidato pengunduran dirinya, Diab menyebut dirinya pejuang perlawanan terhadap korupsi yang dilakukan elite politik. Padahal, selama ini ia dianggap oleh kebanyakan warga Lebanon hanya menjadi boneka dan bukan korban. Banyak yang melihat pengunduran dirinya sebagai keberhasilan gerakan protes yang juga berhasil memaksa pemerintahan sebelumnya mundur tahun lalu.
Meski Diab mundur dan akan ada pemerintahan baru, banyak yang khawatir masih akan banyak wajah lama yang kembali masuk ke pemerintahan. ”Ini perjuangan yang panjang dan tidak akan selesai dalam sebulan atau dua bulan. Tetapi, elite politik sekarang lemah,” kata aktivis dan pengacara Hussein El Achi yang membela para pengunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa telah berlangsung selama empat hari tanpa henti dan sempat diwarnai bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat kepolisian. Palang Merah Lebanon mengatakan ada 10 orang terluka dan dibawa ke rumah sakit serta 32 orang dirawat di tempat.
Lumpuh
Akibat ledakan itu, perekonomian Lebanon semakin lemah. Para pengamat menilai kemarahan masyarakat akan mempersempit ruang gerak dan manuver para politikus. Pada saat yang sama, tekanan asing untuk reformasi semakin kencang.
”Elite politik akan semakin susah menghindar dari reformasi struktural yang dituntut komunitas internasional,” kata Bassel Salloukh, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Amerika Lebanon.
Untuk membantu Lebanon, Perancis menggerakkan tanggap darurat internasional dan menggalang dana hingga ratusan juta euro. Dua hari setelah ledakan, Presiden Lebanon Emmanuel Macron mengeluarkan peringatan keras kepada pejabat-pejabat Lebanon dan mengajak mereka mengubah pakta dengan rakyat Lebanon.
Kini, tim Diab akan tetap melanjutkan pemerintahan sambil mencari pengganti Diab. Menurut harian Al-Akhbar, diplomat veteran Nawaf Salam kemungkinan bisa menjadi calon pengganti PM. Ia disukai oleh Perancis, Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tiga negara yang selama ini mendukung serta menentukan arah politik Lebanon.
Iran, yang selama ini mendukung gerakan Hezbollah, juga tampaknya setuju dengan skenario itu. Salam dinilai akan bisa membentuk pemerintahan yang netral dan tidak keras kepada kelompok Syiah.
Kondisi masyarakat semakin parah karena ketersediaan pangan, terutama gandum, yang menipis akibat ledakan gudang penyimpan gandum di Pelabuhan Beirut. Padahal, Lebanon bergantung pada impor bahan pangan.
Kepala Program Pangan Dunia, Senin, David Beasley, mengatakan bahwa Lebanon membutuhkan banyak bantuan dari berbagai pihak karena 85 persen pangan Lebanon biasanya masuk melalui pelabuhan. ”Jika pelabuhan masih belum bisa dipakai, Lebanon tidak akan punya stok roti selama dua pekan,” ujarnya. (AFP)