Laba Bersih Aramco Anjlok akibat Covid-19, Tetap Bagikan Dividen Rp 275 Triliun
Perusahaan minyak Saudi Aramco membukukan laba bersih 6,6 miliar dollar AS pada periode kinerja April-Juni tahun ini. Nilai itu turun tajam hingga 73 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 24,7 miliar dollar AS.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
RIYADH, SENIN — Raksasa perusahaan energi Kerajaan Arab Saudi, Saudi Aramco, Minggu (9/8/2020), melaporkan laba bersih perseroan pada triwulan II-2020 anjlok 73 persen karena harga minyak yang turun tajam akibat krisis wabah Covid-19. Pandemi saat ini telah memangkas permintaan global terhadap minyak. Meski demikian, kondisi itu tidak menghalangi langkah perseroan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham senilai 18,75 miliar dollar AS atau sekitar Rp 275 triliun.
Aramco menyatakan, mereka telah membukukan laba bersih 6,6 miliar dollar AS pada periode kinerja April-Juni tahun ini. Pada periode sama tahun sebelumnya perseroan membukukan laba bersih 24,7 miliar dollar AS. Hasil itu sejalan dengan perkiraan para analis, tetapi besaran penurunan laba bersih Aramco berbeda dengan kerugian yang dilaporkan oleh raksasa-raksasa perusahaan energi saingan Aramco yang juga mengalami tekanan lebih berat.
”Hambatan yang kuat dari penurunan permintaan dan harga minyak yang lebih rendah tecermin dalam hasil triwulan kedua kami,” kata CEO Aramco Amin Nasser dalam pernyataan resmi. ”Namun, kami menghasilkan pendapatan yang solid karena biaya produksi yang rendah, skala yang unik, tenaga kerja yang gesit, serta kekuatan finansial dan operasional yang prima.”
Laba bersih Aramco untuk paruh pertama tahun ini juga merosot 50,5 persen menjadi 23,2 miliar dollar AS dibandingkan dengan 46,9 miliar dollar AS pada periode yang sama tahun lalu.
Hasil kinerja Aramco menggarisbawahi pasar minyak yang suram akibat kebijakan penutupan wilayah dan kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menahan persebaran wabah Covid-19. Pandemi secara tidak langsung menghancurkan permintaan global atas minyak mentah yang sebelumnya sudah melorot.
Lima perusahaan minyak terkemuka lainnya, yakni BP, Chevron, ExxonMobil, Royal Dutch Shell, dan Total, baru-baru ini melaporkan kerugian gabungan sebesar 53 miliar dollar AS dalam kinerja triwulanan kedua mereka tahun ini.
Meskipun demikian, menurut Nasser, hasil Aramco tersebut juga mencerminkan ”ketahanan finansial” perseroan dibandingkan perusahaan sejenis lainnya. Nasser menyatakan, optimisme itu diwujudkan manajemen untuk terus maju dengan rencana membayar dividen senilai total 75 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.097 triliun) sepanjang tahun ini. Nasser juga menyuarakan optimisme lain, yakni ”pemulihan parsial di pasar energi” di tengah pelonggaran pembatasan di beberapa negara.
Nasser mengatakan, Aramco akan membagikan 18,75 miliar dollar AS dividen untuk triwulan kedua tahun ini. Hal itu semata untuk memenuhi janji saat melakukan penawaran saham perdana, yakni pembagian setidaknya 75 miliar dollar AS dividen tahunan selama lima tahun.
”Kami berkomitmen untuk memberikan dividen yang berkelanjutan melalui siklus pasar, seperti yang telah kami tunjukkan pada kuartal ini," kata Nasser sebagaimana dikutip media Bloomberg. ”Tujuan kami adalah membayar 75 miliar dollar AS, tergantung persetujuan para pemegang saham dan kondisi pasar.”
Namun, di tengah harga minyak mentah yang rendah, Aramco dilaporkan berencana memotong anggaran 2021 sebesar 8-10 persen dari tingkat yang sudah berkurang tahun ini. Hal itu merujuk pada laporan kelompok Energy Intelligence pada bulan lalu. Aramco memperkirakan belanja modal perseroan berada di batas bawah antara 25 miliar dan 30 miliar dollar AS pada tahun ini. Jumlah itu, menurut Energy Intelligence, turun signifikan dibandingkan nilainya pada 2019. Saat itu belanja modal Aramco mencapai 32,8 miliar dollar AS.
Tunda produksi lepas pantai
”Pengurangan telah menyebabkan Aramco menunda rencana untuk memperluas produksi dari ladang lepas pantai,” kata Energy Intelligence dalam sebuah laporan tertulis. ”Program lepas pantai merupakan elemen inti dari upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak perusahaan.”
Manajemen Aramco, seperti dilaporkan oleh Bloomberg bulan Juni lalu, juga telah memangkas ratusan pekerjaan sebagai bagian dari upaya mengurangi biaya. Sebagai negara pengekspor minyak mentah terbesar dunia, Arab Saudi telah terpukul oleh pukulan ganda dari harga rendah dan pemotongan tajam produksi.
Penurunan tajam dalam pendapatan minyak itu diperkirakan akan menghalangi rencana ambisius Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman untuk merombak ekonomi Kerajaan Arab Saudi dari ketergantungan sangat tinggi pada energi.
Harga minyak turun ke level terendah dalam dua dekade terakhir, yakni di bawah 20 dollar AS per barel pada April dan Mei karena anjloknya permintaan global. Harga minyak kemudian terkerek dan berada di kisaran level 44 dollar AS per barel setelah produsen OPEC+ setuju untuk melakukan penurunan produksi. Menyusul langkah tersebut, produksi minyak Arab Saudi turun menjadi 7,5 juta barel per hari pada Juni dibandingkan dengan rata-rata tahun lalu 10 juta barel per hari.
Keuntungan Aramco juga dipengaruhi oleh kerugian yang dibukukan oleh Saudi Basic Industries Co (SABIC). Raksasa petrokimia itu diakuisisi Aramco senilai 69 miliar dollar AS dalam kesepakatan yang ditargetkan selesai tahun ini. Para analis menyatakan, sebagaimana perusahaan-perusahaan lain, Aramco juga tengah bersiap menghadapi kemungkinan gelombang infeksi virus korona tipe baru lebih lanjut yang dapat berdampak pada pemulihan ekonomi global dan mengikis permintaan minyak mentah di seluruh dunia.
Aramco mencatatkan perseroan di bursa Saudi pada Desember tahun lalu melalui IPO terbesar di dunia. Langkah perseroan menghasilkan dana senilai 29,4 miliar dollar AS untuk 1,7 persen sahamnya. Perusahaan teknologi AS, Apple, pada pekan lalu menggantikan Aramco sebagai perusahaan paling bernilai di dunia setelah kapitalisasinya tumbuh menjadi 1,9 triliun dollar AS dibandingkan Aramco dengan nilai kapitalisasi mencapai 1,76 triliun dollar AS.