Keputusan Loya Jirga Harapan Lapangkan Jalan Menuju Damai
Kepastian pembebasan sekitar 400 tahanan Taliban yang masih tersisa disampaikan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Minggu (9/8/2020).
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, MINGGU — Loya Jirga, semacam dewan atau parlemen tradisional bagi para pemimpin suku-suku atau kini diisi oleh para tokoh terkemuka di Afghanistan, menyepakati pembebasan sisa tahanan anggota Kelompok Taliban dalam waktu dekat.
Konsensus bersama ini diharapkan bisa melapangkan jalan menuju perundingan intra-Afghanistan, proses perdamaian lanjutan setelah penandatanganan kesepakatan damai 29 Februari terhenti.
Kepastian pembebasan sekitar 400 tahanan tersisa diumumkan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Minggu (9/8/2020).
”Saudaraku sebangsa dan setanah air, hari ini saya akan menandatangani perintah yang tidak bisa tanda tangani sendiri, tidak bisa diputuskan sendirian karena hal ini jauh di luar jangkauan otoritas yang dimiliki. Dengan konsensus Anda sekalian, perintah ini ditandatangani dan aku akan membebaskan mereka,” kata Ghani sebelum penutupan pertemuan sekaligus penandatanganan keputusan untuk membebaskan ratusan tahanan yang tersisa.
Deklarasi hasil konsensus sekitar 3.200 tokoh Afghanistan itu dibacakan dalam dua bahasa resmi negara, yaitu bahasa Pashto dan Farsi, yang menyerukan dimulainya kembali negosiasi intra-Afghanistan dan pelaksanaan gencatan segera.
Kesepakatan damai yang ditandatangani Pemerintah Amerika Serikat dan Taliban tidak menghentikan sama sekali kekerasan bersenjata di negara ini. Warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban. Taliban mengecualikan serangan mereka dari militer AS dan anggota pasukan koalisinya di Afghanistan.
Keluarnya keputusan tersebut akan mempercepat Pemerintah AS membawa pulang ribuan anggota militernya dari Afghanistan, setelah 19 tahun berperang di ”Negeri Para Mullah” tersebut. Sesuai dengan kesepakatan Doha, AS berencana menyisakan sekitar 8.600 orang anggotanya di negara tersebut.
Persetujuan ribuan tokoh Afghanistan menjadi hal yang dinanti karena dalam beberapa bulan terakhir terjadi ketidaksepakatan antara Kabul dan Taliban tentang siapa saja yang berhak dibebaskan atau tidak. Taliban bersikeras bahwa seluruh anggota mereka yang ditahan harus dibebaskan, tanpa kecuali.
Pemerintah Afghanistan yang tidak diikutsertakan dalam perundingan antara AS dan Taliban menolak dan menyatakan bahwa sekitar 400 anggota yang diminta Taliban,bukan bagian dari kesepakatan dan tidak pernah ada persetujuan dari mereka untuk dibebaskan.
Apalagi, menurut Kabul, ke-400 orang tahanan yang dituntut untuk dibebaskan dinilai melakukan kejahatan yang luar biasa selama konflik.
Sejak pertemuan ini direncanakan pada pekan lalu, utusan khusus Pemerintah AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, menekankan bahwa pertemuan itu adalah kesempatan bersejarah bagi seluruh tokoh Afghanistan untuk mencatatkan tinta emas dalam buku sejarah mereka, meruntuhkan halangan terakhir keberlanjutan perundingan intra-Afghanistan yang mandek.
Hasil positif dalam pertemuan itu, menurut Khalilzad, akan berdampak langsung pada pengurangan atau bahkan penghentian kekerasan bersenjata yang masih terjadi dan membawa pihak berkonflik ke meja perundingan.
”Rakyat Afghanistan sudah terlalu lama menanti momentum seperti ini. Kesempatan bersejarah untuk menorehkan perdamaian harus ditangkap oleh semua pihak,” kata Khalilzad melalui akun media sosial miliknya.
Taliban menyatakan, mereka siap melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Afghanistan setelah tahanan terakhir dari 400 anggota mereka yang masih ditahan dibebaskan. Mereka juga menyatakan, gencatan senjata adalah salah satu item negosiasi pertama dalam perundingan itu nantinya.
Sebaliknya, Ghani mendesak Taliban untuk benar-benar menghentikan serangan mereka terhadap militer Afghanista tanpa syarat setelah Loya Jirga menyetujui keinginan mereka.
Tidak sepakat
Keputusan untuk membebaskan 400 anggota Taliban yang ditahan, meski sebagian dari mereka dinilai melakukan kejahatan yang keji, telah memicu pertentangan di kalangan warga dan juga keluarga korban.
Keluarga seorang perempuan asal Perancis yang dibunuh di Afghanistan, Sabtu (8/8/2020), menyatakan, mereka tidak dapat menerima pembebasan para pembunuhnya sebagai bagian dari kesepakatan damai.
”Keputusan untuk membebaskan (mereka) yang dibuat atas dasar ekonomi, seperti halnya perdagangan hewan. Bagi kami, keluarga korban, hal itu tidak terbayangkan,” kata keluarga salah satu korban dalam pernyataan mereka.
Bettina Goislard bekerja untuk Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) ketika dia dibunuh pada tahun 2003 di Ghazni, selatan Kabul. Dua pelaku pembunuhan termasuk dalam daftar 400 orang tahanan anggota Taliban yang dituntut dibebaskan oleh kelompok itu.
Selain dua pembunuh Bettina, ada sekitar 150 lainnya yang telah dijatuhi hukuman mati karena kejahatan berat. Lima orang di daftar tahanan yang mungkin akan dibebaskan berperan dalam serangan di Hotel Intercontinental Kabul yang menewaskan 40 warga, termasuk 14 warga asing.
Keluarga tersebut mengatakan, mereka tidak akan pernah bisa menerima keputusan untuk membebaskan para tahanan ”yang tidak akan menunjukkan rasa hormat kepada korban mereka atau kerabat mereka dan kami berharap Loya Jirga akan dengan hati-hati mempertimbangkan kasus mereka yang telah melakukan kejahatan semacam itu dan tidak membebaskan mereka”.
Namun, dalam pandangan Human Rights Watch, lembaga pengamat pelaksanaan hak asasi manusia, banyak di antara tahanan itu telah dijatuhi hukuman dengan menggunakan UU Terorisme yang terlalu luas definisinya dan bahkan harus menjalani hukuman tanpa akhir. (REUTERS/AFP/AP)