70 Tahun Hubungan Indonesia-AS, Momen Memperkuat Multilateralisme
Hubungan bilateral Indonesia dan Amerika telah berjalan 70 tahun. Kedua negara dapat memobilisasi usaha bersama dalam menghadapi pandemi dan memelihara ketertiban dunia.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
ยท3 menit baca
KOMPAS/NINA SUSILO
Pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berlangsung akrab di sela-sela pertemuan KTT G-20, di Hamburg, Jerman, Sabtu (8/7/2017).
JAKARTA, KOMPAS โ Hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang telah berlangsung selama 70 tahun berjalan dalam pasang surut dan logika kepentingan strategis. Indonesia dapat memanfaatkan hubungan baik ini untuk menurunkan ketegangan AS-China dan mencegah berulangnya perang serta memperkuat multilateralisme.
Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mohtar Mas\'oed dalam webinar yang diadakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) dan Kagama Amerika Serikat, Sabtu (8/8/2020).
Selain Mohtar, webinar yang diikuti oleh 400 orang itu juga menghadirkan Muhammad Al Aula, diplomat di Kedutaan Besar RI di Washington; Stanislaus Tandelilin, salah seorang pendiri Modalrakyat.id; dan Siti Rahmayanti, alumnus Harvard Medical School.
Mohtar mengatakan, kepentingan strategis menjadi logika tunggal hubungan bilateral AS dengan negara lain, termasuk Indonesia. Karena itu, meski wajah AS bisa beragam, mulai dari sebagai broker, investor, donor, dan sponsor privatisasi, guru dan pemandu ideologi, penghibur dan pemandu selera, hingga AS sebagai pengacau, semuanya didasari atas kepentingan strategis.
Pada masa Perang Dingin, AS berkepentingan untuk memenangi pergulatan geopolitik melawan Uni Soviet dan menjamin efektivitas perimbangan kekuatan. Setelah Perang Dingin berlalu, AS memiliki kepentingan untuk memelihara supremasi global AS, mencegah munculnya hegemoni politik-militer di Eurasia yang bisa menentang AS, dan melindungi kepentingan AS di negara-negara berkembang.
AP PHOTO/BOB DAUGHERTY, FILE
Foto tanggal 8 Desember 1987 ini memperlihatkan Presiden AS Ronald Reagan (kanan) berjabat tangan dengan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev setelah keduanya menandatangani Traktat Kekuatan Nuklir Jarak Menengah di Ruang Timur Gedung Putih di Washington, AS.
Kini perang dingin sudah berlalu. Sebagai negara adidaya, AS bisa saja kembali ke isolasionisme, unilateralisme, multilateralisme, ataupun internasionalisme liberal. Namun, perilaku eksternal AS akhir-akhir ini justru memberikan kesan seperti mau menciptakan โPerang Dingin 2.0.โ
Dalam situasi seperti itu, Indonesia sendiri berkepentingan untuk mencegah berulangnya perang. Hubungan baik Indonesia dengan AS seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantu agar konflik AS-China tidak semakin memburuk.
Menurut Mohtar, upaya multilateralisme dalam menghadapi pandemi bisa menjadi sarana untuk memobilisasi kepentingan bersama itu. Indonesia sadar bahwa multilateralisme tidak bisa ditawar-tawar karena Indonesia tidak bisa menyelesaikan persoalannya sendiri.
Sementara Aula mengatakan bahwa postur diplomasi Indonesia dan AS kokoh. Hubungan kedua negara meningkat dari kemitraan strategis pada tahun 2010 menjadi kemitraan komprehensif tahun 2015. Di luar diplomasi formal, hubungan antarwarga kedua negara atau people-to-people juga terjalin dengan baik.
KOMPAS/ RIZA FATHONI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberikan keterangan pers setelah pertemuan bilateral kedua negara di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Jumat (18/11/2011).
Kini pandemi Covid-19 telah mengganggu dinamika internasional serta menghadirkan perubahan tiba-tiba dan penuh ketidakpastian. Kerja sama politik serta pertahanan dan keamanan harus tetap diperkuat karena sangat memengaruhi stabilitas kawasan. Selain itu, kerja sama ekonomi juga masih memiliki ruang gerak yang luas untuk berkembang.
Di luar kerja sama politik dan ekonomi, sebenarnya ada beberapa bidang potensial yang bisa dikembangkan dalam hubungan 70 tahun kedua Indonesia dan AS. Bidang-bidang itu, antara lain, kerja sama teknologi informasi dan inovasi, kerja sama kesehatan, dan kerja sama pendidikan.
Di bidang pendidikan, AS bisa menjadi negara tujuan utama bagi pelajar Indonesia. Siti Rahmayanti mencontohkan, di Harvard University proporsi mahasiswa internasional terus meningkat, dari sekitar 20 persen pada tahun 1980 menjadi 59 persen pada 2016.
Peluang bagi warga indonesia untuk belajar di AS sangat terbuka karena latar belakang yang berbeda dari setiap pelajar akan semakin memperkaya persepsi dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan.