Menimbang Perlunya Pusat Kendali Penyakit ASEAN
Pandemi Covid-19 memberikan peluang bagi ASEAN untuk bisa memperkuat respons setiap krisis kesehatan secara kolaboratif. Harapannya, kawasan Asia Tenggara bisa lebih tangguh menghadapi potensi wabah di masa depan.
ASEAN terlambat menangani pandemi Covid-19. Itu karena sejak awal belum ada pusat kendali penyakit untuk mengatasi ancaman wabah secara kolaboratif.
Tak ada kawasan di dunia yang tidak terdampak Covid-19. Karena ketangguhan sebuah kawasan menghadapi wabah bertumpu pada negara yang paling lemah, maka kolaborasi, kerja sama, dan solidaritas antarnegara menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan dalam merespons pandemi.
Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan termasuk yang paling awal terdampak pandemi Covid-19 di luar China dan Asia Timur. Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Kamboja sudah melaporkan kasus pertamanya pada Januari 2020. Thailand bahkan sudah melaporkan kasus pertamanya pada 13 Januari 2020.
Meski berada di dalam satu kawasan dan menyatakan diri sebagai satu komunitas, ”Komunitas ASEAN”, respons awal negara-negara anggota ASEAN menghadapi pandemi beragam dan, menurut sejumlah analis, justru cenderung tidak menggambarkan kesatuan langkah sebagai sebuah komunitas.
Singapura dan Vietnam bergerak cepat melakukan penelusuran kontak positif, menerapkan komunikasi risiko yang jelas kepada publik, dan mengembangkan sendiri alat tes untuk membantu mengidentifikasi kasus.
Sementara Indonesia gagal memahami potensi masalah yang dibawa oleh infeksi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 ini sehingga persiapan yang diperlukan untuk menghadapinya pun tidak dilakukan maksimal. Padahal, Pemerintah Indonesia memiliki waktu sekitar dua bulan sejak wabah muncul di kota Wuhan, China, akhir 2019, hingga kasus pertama muncul di Indonesia, 2 Maret 2020.
Malaysia juga menjadi lebih serius merespons setelah lonjakan kasus terjadi dari sebuah acara keagamaan yang dihadiri oleh ribuan orang dari beberapa negara.
Baca juga: Gegar ASEAN Hadapi Covid-19
Hingga 7 Agustus 2020, jumlah kasus Covid-19 di dunia mencapai 19,1 juta dengan kasus meninggal 714.636 kasus dan angka kematian (CFR) 3,74 persen. Sementara di kawasan ASEAN, total jumlah kasus Covid-19 sebanyak 306.644 kasus dengan jumlah kematian 7.900 kasus.
Sebenarnya, sejak 15 Februari 2020, Vietnam sebagai Ketua ASEAN 2020 telah mengeluarkan pernyataan bahwa ASEAN akan secara bersama mengambil langkah mitigasi ancaman Covid-19 di kawasan dan menekankan pentingnya respons yang terkoordinasi.
Pertemuan virtual bersama para pakar dari China juga dilakukan berkala sejak 20 Februari 2020. Pada 13 Maret 2020, pertemuan virtual para pejabat senior kesehatan ASEAN (ASOMHD) juga membahas perkembangan, keperluan peningkatan kapasitas, dan kesenjangan respons setiap negara ASEAN.
Baca juga: ASEAN Rumuskan Tujuh Keputusan Penting Mitigasi Covid-19
Namun, pertemuan penting Special ASEAN Summit dan ASEAN+3 Summit yang juga diikuti China, Jepang, dan Korea Selatan baru digelar 14 April 2020 dan menghasilkan Dana Respons Covid-19 untuk mendukung usaha pencegahan, seperti pengadaan alat kesehatan untuk tenaga kesehatan negara anggota.
Dinilai terlambat
Upaya ASEAN untuk merespons pandemi secara kolektif itu patut mendapat apresiasi. Namun, To Trieu Hai Ly, post-graduate research scholar di Asia Pacific Foundation of Canada, menilai upaya itu terlambat sehingga memunculkan pertanyaan seputar relevansi ASEAN dalam menghadapi masalah global seperti pandemi.
Meski ASEAN bertekad untuk merespons pandemi bersama-sama, sejumlah pertemuan puncak tidak menghasilkan respons kolektif yang kohesif. Dua pertemuan penting, ASEAN Summit dan ASEAN+3 Summit on Covid-19, baru digelar 14 April 2020 atau sebulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi.
Padahal, kecepatan dalam mengambil tindakan pencegahan yang berbasis ilmiah akan sangat menentukan arah epidemiologis kasus Covid-19 di sebuah negara.
Baca juga: Butuh Kerja Sama Konkret ASEAN dalam Penanganan Covid-19
Satu hal lagi yang membuat ASEAN seperti lambat merespons pandemi secara kolektif adalah tidak adanya gugus tugas Covid-19 yang memimpin upaya itu. Tidak seperti ketika menghadapi flu burung tahun 2008.
Para pemimpin di ASEAN agak terlambat menyadari pentingnya keberadaan gugus tugas untuk menyatukan dan mengoordinasikan langkah pengendalian wabah. Ketika ide membentuk gugus tugas muncul, setiap negara ASEAN sudah telanjur sibuk menghadapi lonjakan kasus Covid-19 di wilayahnya masing-masing.
Pada Thinkglobalheatlh, sejumlah pakar kesehatan di ASEAN, Swee Kheng Khor, visiting senior fellow di United Nations University International Institute of Global Health, dan rekan-rekannya menulis, ada beberapa alasan struktural mengapa kolaborasi ASEAN dalam merespons pandemi kurang terlihat, antara lain kesehatan hanyalah salah satu dari 61 divisi di Sekretariat ASEAN. Ini menunjukkan sektor kesehatan belum menjadi prioritas yang bisa menyatukan komunitas ASEAN.
Baca juga: Korsel Kucurkan Bantuan bagi ASEAN, Berharap ASEAN Bisa Ikuti Sukses Korsel
Selain itu, karena alasan kesejarahan, negara ASEAN juga ”terbelah” ke dalam dua kendali kantor regional WHO. Tiga negara ASEAN, yaitu Indonesia, Myanmar, dan Thailand, ada di bawah koordinasi Kantor Regional Asia Tenggara (SEARO) bersama, antara lain, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, dan Korea Utara.
Sementara negara ASEAN sisanya berada di bawah koordinasi Kantor Regional Pasifik Barat (WPRO) bersama, antara lain, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Pandemi Covid-19 telah membuat tema ASEAN 2020: ”Kohesif dan Responsif” berada dalam sorotan. Kurang efektifnya ASEAN merespons pandemi termasuk apa dan bagaimana tindak lanjut dari berbagai pertemuan ASEAN membahas pandemi selama ini perlu dievaluasi.
Harus lebih erat
Peran ASEAN sebagai lembaga regional tidak boleh menggantikan kebijakan nasional anggotanya. Akan tetapi, ada hal-hal yang bisa diperbaiki agar ASEAN bisa lebih tangguh menghadapi ancaman wabah penyakit.
Dalam pandangan Swee, pandemi Covid-19 sebenarnya menghadirkan sebuah peluang bagi kolaborasi ASEAN yang semakin erat. Konkretnya, Swee mengusulkan adanya Pusat Pencegahan dan Pengendalian (CDC) ASEAN yang bekerja berbasis ilmiah mengatasi setiap ancaman wabah secara kolaboratif.
Segala aktivitas dan kerangka kerja regional terkait krisis kesehatan yang sudah ada bisa dihimpun ke dalam lembaga ini sehingga efektif. Ini dinilai sejalan dengan beberapa bagian yang dihasilkan dalam ASEAN Covid-19 Summit 14 April 2020.
Meski pandemi belum berakhir, pelan-pelan negara ASEAN kini mulai memulihkan ekonominya. Aktivitas perdagangan juga rantai pasok barang kembali aktif.
Dalam situasi ”waspada” seperti sekarang, keberadaan CDC ASEAN menjadi penting untuk mengoordinasikan segala aktivitas lintas batas negara di kawasan ASEAN agar tidak justru memunculkan kluster penularan baru.
Baca juga: ASEAN Jaga Jalur Dagang Tetap Terbuka di Tengah Pandemi Korona
Di samping itu, ujar Swee, dengan adanya CDC ASEAN, setiap negara bisa mendapat keuntungan dari berbagi sumber daya kesehatan, pengadaan alat medis krusial bersama, atau peningkatan kapasitas sistem kesehatan.
Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dan Manajemen Bencana menjadi contoh yang baik bagaimana perencanaan kesiapsiagaan, termasuk kebutuhan logistik dijalankan