Keamanan Buruk, Kekerasan Senjata Tewaskan 1.300 Orang
Laporan UNJHRO menyebut lebih dari 1.300 warga Kongo tewas sepanjang enam bulan terakhir. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
KINSHASA, KAMIS — Kantor bersama badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi persoalan hak asasi manusia di Republik Demokratis Kongo, UNJHRO, menyebutkan, lebih dari 1.300 warga negara Afrika Tengah itu tewas pada paruh pertama 2020. Jumlah itu tiga kali lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama 2019 sejumlah 419 orang.
Laporan enam bulanan yang dikeluarkan UNJHRO, Rabu (5/8/2020), menyebutkan, lebih dari 50 persen pembunuhan di Republik Demokratik Kongo (DRC) dilakukan sewenang-wenang dan ekstrajudisial oleh kelompok bersenjata. Lebih dari 260 perempuan dan 165 anak-anak menjadi korban pembunuhan kelompok bersenjata itu.
Peningkatan angka warga yang menjadi korban pembunuhan, menurut UNJHRO, akibat memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di beberapa wilayah konflik, seperti Ituri, Kivu Selatan, Tangayika, dan Kivu Utara.
Selama hampir tiga dekade, wilayah RDC timur selalu dalam situasi keamanan yang tidak menentu. Warga selalu menjadi korban lusinan kelompok milisi bersenjata yang terbentuk sebagai warisan dari dua perang besar di negara ini.
Salah satu konflik besar yang terjadi adalah pertempuran di Kolwezi pada 1978 antara Legiun Asing Perancis dan pasukan Para Belgia yang membebaskan kota Kolwezi—sebelah barat daya Kalemi—yang dikuasai milisi setempat dibantu personel Kuba dan Jerman Timur. Ketika itu, ratusan warga asli dan Eropa dibunuh. Sekitar 3.000 orang Eropa disandera kelompok milisi yang menguasai daerah pertambangan tersebut. (Kompas.id, 23 Juni 2020)
Di Provinsi Ituri, pusat pertambangan emas di RDC, konflik berkecamuk antara etnis Hema yang mayoritas adalah pengembala ternak dan komunitas Lendu yang sebagian besar adalah petani.
Kedua komunitas tersebut terlibat dalam konflik berdarah 1999-2003. Namun, dikutip dari situs lembaga Human Rights Watch, konflik keduanya tidak terlepas dari peran militer Uganda yang berkuasa di wilayah tersebut dan sempat memanfaatkan kedua etnis sebagai anggota milisi binaan mereka.
Tidak hanya di Ituri, kekerasan terhadap warga sipil juga terjadi karena mereka terjebak dalam konflik sesama anggota milisi yang meningkat, seperti yang terjadi di Kivu Utara dan Selatan serta sebagian wilayah Provinsi Tangayika.
Pada pertengahan Juli kemarin diperkirakan lebih dari 220 orang tewas ketika terjadi bentrokan sesama anggota milisi bersenjata. Kantor berita AP, mengutip pemerintah setempat, menyatakan, milisi bersenjata yang setia kepada Michel Rukunda, mantan anggota militer berpangkat kolonel, terlibat dalam baku tembak di sekitar kota Kipupu, Provinsi Kivu Selatan.
Pemerintah setempat menyebut bahwa korban tewas 43 orang. Namun, setelah ditelusuri, jumlah korban tewas bertambah menjadi lebih dari 200 orang.
Para pemimpin etnis Babembe, Bafuliru, Bavira, dan Banyindu mendesak aparat keamanan pemerintahan RDC untuk menjaga kestabilan situasi keamanan di wilayah mereka.
”Kami menuntut agar negara kami bekerja untuk memperkuat langkah-langkah keamanan bagi warga sipil tanpa diskriminasi serta bekerja untuk mencegah dan menghentikan pembantaian keji ini,” kata pernyataan yang dirilis pada Minggu (27/7/2020) lalu oleh para pemimpin masyarakat etnis Babembe, Bafuliru, Bavira, dan Banyindu.
Laporan UNJHRO juga mencatat bahwa jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara sedikit menurun selama enam bulan pertama tahun 2020. Otoritas keamanan RDC yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap warga negara, menurut laporan itu, bertanggung jawab atas 43 persen dari pelanggaran hak asasi manusia yang didokumentasikan.
Pelanggaran itu bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga pembunuhan ekstrajudisial atau tanpa peradilan terlebih dahulu. Dalam catatan UNJHRO, pembunuhan ekstrajudisial yang dilakukan oleh aparat keamanan negara mencapai 225 orang, termasuk 33 perempuan dan 18 anak-anak di seluruh wilayah.
Pengungsi
Data dari badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, menyebutkan, konflik yang terjadi di RDC telah mengakibatkan hampir 1 juta warga negara itu meninggalkan rumah untuk mencari perlindungan dan kehidupan yang lebih baik.
Negara-negara yang menjadi tujuan para pengungsi dan pencari suaka di antaranya Uganda, Burundi, Rwanda, Tanzania, Afrika Selatan, dan Angola.
Jumlah pengungsi terbanyak, per 31 Mei 2020, berada di Uganda, berjumlah sekitar 415.000 orang. Menyusul Burundi, Rwanda, dan Tanzania.
Dikutip dari laman UNHCR, dalam tiga hari (1-3 Juli 2020), Uganda menerima tambahan sekitar 3.000 pengungsi RDC. Jumlah itu merupakan tambahan dari sekitar 45.000 warga RDC yang telah mengungsi pada pertengahan Mei 2020 setelah konflik bersenjata terjadi di Provinsi Ituri.
Charley Yaxley, juru bicara UNHCR, menyebutkan, penanganan para pengungsi menghadapi tantangan yang tidak mudah karena dalam operasinya, petugas lapangan hanya menerima sekitar 18 persen dari total dana yang dibutuhkan untuk mengelola ratusan ribu pengungsi, dari sekitar 357 juta dollar AS yang diajukan untuk tahun anggaran 2020. Dengan jumlah anggaran yang tidak mencukupi, ada kemungkinan jatah makan pengungsi akan dikurangi. (AP/AFP)