Guncangan, apa pun bentuknya, akan terus menghantam kota Beirut dan negeri Lebanon selama infrastruktur politik, budaya, dan ekonomi yang mendorong meletupnya kekerasan masih berdiri kokoh di negeri itu.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
Ledakan dahsyat di kota Beirut, Lebanon, Selasa (4/8/2020), hanyalah bagian dari rangkaian guncangan besar yang selalu menghantam kota berpenduduk sekitar 2,2 juta jiwa itu, dan negeri kecil berpopulasi hampir 7 juta jiwa bernama Lebanon.
Ledakan dahsyat di kota Beirut tersebut membawa korban sedikitnya 100 orang tewas dan lebih dari 4.000 orang luka-luka. Peristiwa ini menambah panjang catatan rangkaian sejarah kekerasan di negara itu.
Sejarah kekerasan di Lebanon terbentang panjang, di antaranya perang saudara 15 tahun (1975-1990), pendudukan Israel 1982, perang Israel-Hezbollah tahun 1996 dan 2006, serta tewasnya mantan Perdana Menteri Rafik Hariri tahun 2005 akibat serangan bom.
Ledakan dahsyat di kota Beirut pada Selasa petang itu disebut banyak kalangan sebagai yang terdahsyat sejak Lebanon meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis pada 1943. Namun, insiden hari Selasa itu bukanlah hari terakhir tentang kisah perjalanan episode hari-hari berdarah di negara yang dulu pernah dijuluki sebagai ”Swiss di Timur” tersebut.
Guncangan, apa pun bentuknya, akan terus menghantam kota Beirut dan negeri Lebanon selama infrastruktur politik, budaya, dan ekonomi yang mendorong meletupnya kekerasan masih berdiri kokoh di negeri itu. Infrastruktur tiga pilar itu di Lebanon saat ini dinilai sangat tak ideal karena hanya menyuburkan oligarki politik dan monopoli ekonomi.
Lebih ironis lagi, negeri yang sangat indah hingga ibu kotanya, Beirut, disebut dengan ”Paris-nya Timur Tengah” itu menjadi ajang pertarungan kekuatan regional, terutama antara Iran dan Arab Saudi. Lebanon pun kini seperti susah bernapas, selalu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara kubu Iran dan kubu Arab Saudi.
Ini seperti buah simalakama bagi Lebanon. Negeri yang mungkin masih memiliki idealisme untuk ingin berdaulat penuh, tetapi terbentur pada realitas sebagai negara yang miskin kekayaan alam.
Basis ekonomi Lebanon menjadi sangat bergantung pada investasi asing, industri perbankan, dan remitansi diaspora Lebanon yang mencapai 8,2 miliar dollar AS per tahun. Struktur basis ekonomi itu memaksa Lebanon memiliki tradisi bersandar kepada negara kaya regional ataupun internasional.
Perang saudara di Suriah yang berlarut-larut dan kemudian pandemi Covid-19 makin membuat ekonomi Lebanon semakin terpuruk. Perundingan Lebanon dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapat pinjaman 10 miliar dollar AS dalam menyelamatkan ekonomi negara itu masih mengalami jalan buntu.
Hal tersebut yang mengantarkan Lebanon saat ini harus memikul berbagai predikat negatif, seperti negara gagal, negara bangkrut, dan ”negara terjajah”. Realitas itu pula yang membawa Lebanon turut dihantam gerakan musim semi Arab gelombang kedua sejak 17 Oktober 2019.
Mungkin, perjalanan sejarah modern Lebanon turut membentuk negara itu jadi negara bernasib buruk seperti kini. Lebanon sebenarnya cuma secara formalitas disebut meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis pada 1943. Perancis masih mengontrol Lebanon sejak era pascakemerdekaan tahun 1943 hingga 1970 atau sepanjang 1943-1990.
Lebanon lalu berada di bawah pengaruh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari 1970 hingga 1982. Bahkan, separuh negeri Lebanon sempat diduduki Israel beberapa bulan pada 1982. Lebanon lalu berada di bawah kontrol Suriah pada kurun 1983-2005. Sejak 2005 sampai sekarang, Lebanon menjadi ajang pertarungan Iran dan Arab Saudi.
PM Lebanon Hassan Diab, yang baru menjabat pada Januari lalu, segera menyadari kompleksitas peta politik dan ekonomi di Lebanon. Kompleksitas ini bisa jadi sebagai faktor utama terjadi ledakan dahsyat kota Beirut pada Selasa petang lalu.
Keberanian politik
Diab, melalui siaran televisi Lebanon, Selasa malam, menegaskan bahwa Lebanon dilanda musibah. Apa yang terjadi hari itu, kata Diab, tidak berlalu tanpa pertanggungjawaban. ”Pihak yang bertanggung jawab atas bencana ini akan membayar harga. Saya tidak mendahului hasil penyelidikan atas ledakan kota Beirut ini,” lanjut Diab.
Pernyataan yang sangat berani jika melihat posisi Diab di peta perpolitikan di Lebanon. Diab bukan siapa-siapa di Lebanon di tengah kungkungan sistem politik oligarki. Ia hanya teknokrat tanpa sandaran kekuatan politik yang ditunjuk sebagai PM, Januari lalu.
Sikap berani Diab itu memang seperti didukung hasil sidang Dewan Tinggi Pertahanan Lebanon yang dipimpin Presiden Lebanon Michel Aoun, Selasa malam lalu. Sidang tersebut memutuskan pembentukan komite penyelidik atas ledakan dahsyat di kota Beirut. Hasil penyelidikan komite penyidik itu harus disampaikan ke publik selambatnya dalam kurun lima hari ke depan.
Di Lebanon, lawan dan kawan politik sudah sangat transparan. Sekecil apa pun kasus yang ada, sangat mudah menemukan benang penyambung antara kekuatan politik tertentu dan kasus itu. Apalagi, peristiwa sebesar ledakan dahsyat kota Beirut ini.
Namun, masalah besar tersisa di Lebanon adalah keberanian politik menyampaikan keputusan secara apa adanya, terkait peristiwa apa pun di negara itu. Termasuk, keberanian komite penyelidik menyampaikan hasil penyelidikannya secara apa adanya.