Bank-bank Internasional Kebingungan di Persimpangan Jalan
Bank-bank internasional di Hong Kong kebingungan dan merasa terjebak dalam perselisihan hukum Amerika Serikat dan China. Mereka seperti dipaksa harus segera mengambil keputusan dan pilihan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Bank-bank internasional yang membuka gerai usaha di Hong Kong kini kebingungan. Mereka merasa terjebak dalam perselisihan hukum antara Amerika Serikat dan China, terutama terkait masa depan kota itu. Para analis memperingatkan bahwa manajemen perseroan-perseroan itu seperti dipaksa untuk segera menentukan pilihan.
Para pengacara yang bekerja atau disewa jasanya oleh bank-bank di Hong Kong kini tengah sibuk. Klien mereka semakin khawatir dengan dua undang-undang yang mulai berlaku bulan lalu. Aturan-aturan itu secara radikal dapat mengubah cara berbisnis perusahaan-perusahaan di kota semi-otonom tersebut.
Aturan pertama adalah rancangan undang-undang AS yang dapat digunakan untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat China dan Hong Kong yang dinilai bertanggung jawab terhadap kondisi kebebasan politik di kota itu. Adapun aturan kedua adalah UU Keamanan Nasional yang diberlakukan Beijing di Hong Kong. Bank-bank kebingungan, aturan atau UU manakah yang akan diacu.
”Kami sangat khawatir,” kata seorang bankir di perusahaan bank besar di Hong Kong. Ia mengaku takut dengan rekam jejak Beijing dalam menghukum bisnis yang dinilai keluar dari jalurnya. UU Keamanan Nasional dinilai menjadi amunisi baru bagi China.
”Kebanyakan orang di Hong Kong, terutama di industri perbankan, khawatir UU Keamanan Nasional sangat kabur dan dapat dengan mudah ditafsirkan dengan agenda apa pun yang dimiliki pemerintah.”
Steve Tsang, Direktur Institut China di Universitas SOAS di London, mengatakan bahwa para pebisnis baru mulai mencerna kemungkinan kesulitan yang mereka hadapi. ”Ini masalah nyata dan tidak hanya berlaku untuk bank asing, tetapi juga untuk semua bank, perusahaan, dan LSM internasional di Hong Kong,” katanya kepada AFP. ”Jika mereka dianggap telah melanggar hukum keamanan nasional, mereka rentan dituntut oleh otoritas China.”
UU Keamanan Nasional terutama menargetkan upaya pemisahan diri dari China, tindakan subversif, aksi terorisme, dan tindakan kolusi dengan pihak asing. Undang-undang tersebut dinilai telah meredam kebebasan politik di Hong Kong, yang dijanjikan kebebasan dan otonominya di level tertentu hingga 2047 di bawah kesepakatan penyerahan Inggris kepada China pada tahun 1997.
China menyatakan akan memiliki yurisdiksi atas kasus-kasus serius. Beijing juga mengklaim hak menuntut siapa pun di dunia atas tindakan kejahatan terhadap keamanan nasional negaranya. Hal ini memicu kegelisahan di kalangan pebisnis internasional di Hong Kong.
Pernyataan otoritas Hong Kong bahwa UU baru itu diterapkan untuk memulihkan dan menjaga stabilitas Hong Kong serta tidak akan menghambat bisnis tidak serta-merta dipercaya.
”Hal itu tidak akan membawa perubahan pada dasar-dasar sistem moneter dan keuangan kita,” kata Eddie Yue, Kepala Eksekutif Otoritas Moneter Hong Kong, di blog resminya.
Surya Deva, pakar bisnis di City University of Hong Kong, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan semakin tidak percaya pada jaminan otoritas Hong Kong. ”Pemerintah Hong Kong menghadapi ’defisit kepercayaan’ yang belum pernah terjadi sebelumnya: hampir tidak ada yang percaya apa yang dikatakannya, bahkan jika itu benar,” katanya.
HSBC adalah salah satu bank yang terperangkap di tengah perseteruan AS-China atas Hong Kong. Pemberi pinjaman terbesar di Eropa itu membangun reputasinya sebagai saluran antara China dan seluruh dunia. Namun, politisi di AS dan Inggris telah menghukum bank itu karena HSBC dianggap mendukung UU Keamanan Nasional di Hong Kong. Di sisi lain, perseroan pun mendapatkan kritik dari Beijing.
Bulan lalu, media setempat menuduh HSBC membantu jaksa AS dalam kasus terkait pimpinan Huawei, Meng Wanzhou, yang kini diusut di Kanada. HSBC mengeluarkan bantahan di akun Weibo di China. Namun, otoritas setempat langsung menyensornya. Tsang menilai kesulitan yang dihadapi HSBC akan menyebar sebagai akibat dari pemberlakukan UU Keamanan Nasional.
”Saya tidak yakin salah satu dari mereka (bank) dapat yakin bahwa mereka tidak akan pernah terjebak dalam hal ini karena hubungan AS-China yang memburuk,” kata Tsang.
Seorang bankir mengatakan, perusahaannya tetap enggan meninggalkan Hong Kong. Untuk itu, mereka akan berupaya beradaptasi dalam kondisi-kondisi sesuai di lapangan.
Julian Ku, seorang profesor hukum konstitusional dan internasional di Universitas Hofstra, mengatakan bahwa sebuah kondisi khusus dapat memaksa mereka. ”Hasil yang paling mungkin, jika China serius menegakkan ketentuan mereka sendiri dengan UU Keamanan Nasional, bank harus memilih (ikut) AS atau China,” katanya. (AFP)