Lebanon, Tanah Indah Bangsa Fenisia yang Terkoyak Perang dan Konflik Sektarian
Di masa damai, Lebanon menjadi pusat layanan keuangan, wisata, dan pendidikan di Timur Tengah. Namun, dalam 45 tahun terakhir, Lebanon dilanda perang dan aneka kekerasan bersenjata.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Selasa (4/8/2020) petang, ledakan hebat mengguncang Beirut, Lebanon. Hingga Rabu siang WIB, menurut Sekretaris Jenderal Palang Merah Lebanon George Kettaneh, korban tewas akibat ledakan itu telah mencapai 100 orang dan korban luka-luka lebih dari 4.000 orang.
Sejumlah warga setempat dan saksi mata menuturkan, ledakan dahsyat tersebut membangkitkan kembali memori lama saat kota Beirut dan Lebanon menjadi langganan ledakan atau serangan bom selama 15 tahun perang saudara (1975-1990) dan tahun-tahun setelahnya. Dari 77 tahun usia Lebanon, sedikitnya 40 tahun dihabiskan dalam rangkaian perang, konflik, dan krisis.
Konflik Lebanon, antara lain, menghasilkan pengeboman pada 14 Februari 2005 dan menewaskan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri. Pekan ini, seharusnya pengadilan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap lebih banyak soal pengeboman itu. Hariri tewas dalam perjalanan pulang ke rumahnya selepas bertemu Nejib Friji, pejabat PBB di Lebanon.
Hariri dan Friji membahas, antara lain, soal pengaruh Suriah di Lebanon dan Hezbollah, kelompok politik penting di Lebanon yang mempunyai dana dan persenjataan kuat hasil sokongan Iran. Dalam buku Lebanon, A Country in Fragment karya Andrew Arsan disebutkan bahwa Hariri dan Friji juga secara khusus membahas Rustum Ghazaleh, kepala unit intelijen Suriah di Lebanon.
Sebelum Ghazaleh, jabatan itu diduduki Ghazi Kanaan sejak 1982 sampai 2002. Mereka, sebagaimana dilaporkan New York Times, masuk daftar tokoh Suriah yang asetnya dibekukan Amerika Serikat karena diduga terkait pembunuhan Hariri.
Selain mereka, PBB juga mengumumkan pencarian sejumlah kader Hezbollah yang diduga terkait dengan pembunuhan Hariri. Hezbollah bolak-balik menyangkal tudingan terlibat dalam pembunuhan Hariri dan menuding Israel mendalangi pembunuhan itu.
Pengaruh asing
Kanaan dan Ghazaleh adalah sebagian dari aneka lambang dominasi Suriah di Lebanon. Suriah secara resmi mulai masuk Lebanon atas permintaan Presiden Lebanon Ellias Sarkis pada 1976. Sarkis meminta tolong Damaskus untuk mengatasi perang saudara pertama atau perang 1975-1980 yang dipicu konflik sektarian.
Di tengah perang itu, Israel menyerbu Lebanon dan menduduki wilayah di selatan Sungai Litani pada 1978. Pendudukan Israel membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutus Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL). Sampai sekarang, karena Lebanon tidak kunjung stabil, UNIFIL terus bertugas di negara itu. Indonesia bolak-balik mengirim pasukan untuk bergabung dalam operasi PBB di Lebanon.
Pada 1982, Israel kembali menyerbu Lebanon dan kala itu menduduki kawasan Beirut selatan. Pendudukan Israel menjadi alasan tambahan bagi Suriah untuk mempertahankan pasukan di Lebanon. Pendudukan itu juga menyulut lagi perang saudara yang mulai mereda di Lebanon.
Israel juga bolak-balik mengebom dan melanggar wilayah udara Lebanon di tengah perang saudara Suriah sejak 2011 dan perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sejak 2015. Jet-jet dan helikopter Israel bolak-balik menyerang Suriah dari wilayah udara Lebanon.
Selain tiga negara itu, Arab Saudi antara lain lewat keluarga Hariri, yakni Rafik dan Saad, juga mempunyai pengaruh besar di Lebanon. Riyadh menjadi aktor utama yang mengupayakan perdamaian Lebanon lewat Perjanjian Taif.
Namun, manuver Riyadh bukan cuma meredakan ketegangan di Beirut. Manuver Riyadh pada 2017 memicu ketegangan di Lebanon. Kala itu, Arab Saudi dituding menahan PM Lebanon Saad Hariri yang diundang ke Riyadh untuk pembicaraan pribadi dengan keluarga kerajaan. Perancis, mantan penjajah Lebanon, turun tangan untuk menengahi ketegangan itu. Dari Riyadh, Saad terbang ke Paris dan tinggal di sana beberapa waktu dan akhirnya kembali ke Beirut.
Pengaruh Perancis di Lebanon amat kuat sehingga menghasilkan julukan ”Swiss di Timur” bagi Lebanon dan ”Paris di Timur” bagi Beirut. Selama menjajah Lebanon, Perancis mengembangkan layanan perbankan yang terus menjadi rujukan layanan keuangan Timur Tengah sampai 1975 atau sebelum pecah perang saudara pertama.
Perancis juga mengembangkan Beirut dan kota-kota lain di Lebanon dengan gaya Eropa. Beirut menjadi salah satu tujuan wisata utama di Timur Tengah sampai sebelum pecah perang saudara. Selain bangunan dan budayanya, Lebanon juga punya keindahan alam yang menarik untuk disambangi pelancong dari negara-negara lain. Seperti halnya negara lain di kawasan, budaya Lebanon sudah lama berkembang. Berbagai kajian menunjukkan Lebanon dulu menjadi rumah bangsa Fenisia yang mayoritas jadi pelaut dan pedagang.
Beirut juga menjadi salah satu rujukan pendidikan, antara lain, lewat American University of Beirut (AUB). Lulusan AUB tersebar di 19 dari 50 delegasi yang menandatangani Piagam Pendirian PBB. Banyak lulusan AUB menjadi pejabat dan tokoh penting di Timur Tengah. Sejumlah lembaga pendidikan lain di Lebanon juga kerap masuk sebagai universitas terbaik di kawasan.
Faksi-faksi
Semua itu berantakan gara-gara ketegangan sektarian terus meningkat dan akhirnya terjadi perang saudara pada 1975. Maronite, Druze, Syiah, Sunni, dan kelompok sekuler mempunyai milisi bersenjata. Baku tembak tidak hanya terjadi antara milisi Maronite dan Syiah atau Sunni. Sesama milisi Syiah, seperti Amal dan Hezbollah, pun bolak-balik baku tembak.
Hezbollah dibentuk oleh para mantan mahasiswa Lebanon yang pernah belajar di Irak. Sejak awal berdiri, kelompok mendapat sokongan penuh dari Garda Revolusi Iran (IRGC). Sebagian pendiri awal Hezbollah juga menjabat pengurus Gerakan Amal. Belakangan, Amal dan Hezbollah terpecah, lalu bolak-balik baku tembak. Meski sama-sama menjadi faksi politik Syiah di Lebanon, Amal memilih berdekatan dengan Suriah, sementara Hezbollah tetap merujuk ke Iran.
Sejak awal berdiri pada 1943, politik Lebanon sudah sektarian. Presiden dialokasikan untuk kelompok Kristen, PM bagi Sunni, dan ketua parlemen untuk Syiah. Lewat Perjanjian Taif pada 1989 dan mengakhiri perang saudara II, pembagian kekuasaan itu diteguhkan lagi.
Isu sektarian bisa dikelola dengan baik sampai 1975. Dalam periode 1943-1975, Lebanon relatif menikmati perdamaian meski di selatan ada tiga perang antara koalisi bangsa Arab dan Israel pada 1948, 1967, dan 1973. Perang-perang karena isu Palestina itu menimbulkan beban pada Lebanon. Sebagian pasukan dalam tiga perang itu melintasi atau bermarkas Lebanon. Beragam milisi, dan tentu saja pengungsi, Palestina juga bermarkas di Lebanon. (AFP/REUTERS)