Kesehatan Mental Pekerja Migran di Singapura Terganggu
Ribuan pekerja migran berupah rendah di Singapura terpaksa tinggal di dalam asrama saja akibat kebijakan karantina demi mencegah penyebaran Covid-19. Kondisi kesehatan mental mereka dikhawatirkan mulai terganggu.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
SINGAPURA, RABU — Kondisi kesehatan mental para pekerja migran di Singapura dikhawatirkan memburuk akibat terkungkung selama berbulan-bulan di asrama yang sempit. Hal itu terjadi karena pemerintah memberlakukan karantina ketat setelah asrama pekerja migran menjadi kluster utama penyebaran Covid-19.
Ribuan pekerja migran berupah rendah di Singapura terpaksa tinggal di dalam asrama saja akibat kebijakan karantina demi mencegah penyebaran Covid-19. Kondisi kesehatan mental mereka dikhawatirkan mulai terganggu, seperti dilaporkan Reuters, Rabu (5/8/2020).
Kekhawatiran itu muncul terutama setelah ada kasus laki-laki pekerja migran berusia 36 tahun di Singapura yang melukai diri sendiri. Ia digambarkan dalam kondisi terkulai di anak tangga dengan baju berdarah.
Pemerintah Singapura, sejak April lalu, mengisolasi kompleks perumahan atau apartemen yang mayoritas dihuni oleh para pekerja migran dari wilayah Asia Selatan. Mereka terpaksa tinggal di dalam kamar tidur yang sempit dan diisi oleh banyak orang. Singapura beralasan cara ini untuk mencegah lonjakan kasus penularan di kalangan pekerja.
Sampai sekarang saja masih ada sejumlah asrama yang tetap dikarantina. Bahkan, para pekerja migran yang sudah dinyatakan bebas virus pun belum boleh bebas bepergian ke mana saja.
Pergerakan mereka tetap dibatasi sehingga mereka kesulitan untuk bekerja. Padahal, keluarga mereka di kampung halaman menunggu kucuran nafkah dari mereka untuk hidup sehari-hari.
Kondisi yang tidak menentu seperti ini, kata kelompok-kelompok pejuang HAM, mengganggu mental para pekerja. Apalagi dengan adanya laporan terbaru yang menyebutkan para pekerja migran ditahan dengan landasan hukum undang-undang kesehatan mental. Ini karena sebelumnya beredar video yang menunjukkan mereka duduk-duduk di atap rumah dan jendela yang tinggi.
”Kami mendapat laporan kondisi stres ekstrem yang muncul karena tidak bisa mengirim nafkah ke keluarga, tidak bisa bayar utang ke bank dan pihak lain, serta tidak bisa membiayai pengobatan untuk anak dan orangtua,” kata Presiden Kelompok HAM, Transient Workers Count Too (TWC2) Deborah Fordyce.
Fordyce menambahkan, kini pekerja migran banyak yang merasa penderitaan mental mereka menjadi masalah yang lebih serius ketimbang Covid-19.
Pusat penularan
Alasan Pemerintah Singapura tetap mengarantina para pekerja migran itu karena dari total sekitar 53.000 kasus positif Covid-19 di Singapura, mayoritas muncul di asrama-asrama sekitar 300.000 pekerja migran dari Bangladesh, India, dan China. Jumlah kematian di Singapura akibat Covid-19 tercatat 27 orang.
Pemerintah pernah berjanji akan mencabut aturan karantina di semua asrama pada bulan ini. Namun, ada beberapa asrama yang masih harus dikarantina karena dijadikan sebagai zona khusus karantina.
Pencabutan karantina ini juga dilakukan atas dasar 89 persen pekerja migran sudah bebas dari virus atau sembuh dari Covid-19.
Kementerian Tenaga Kerja Singapura yang mengawasi kebijakan karantina itu mengakui mengetahui kasus pekerja migran yang melukai diri sendiri itu. Kini, pekerja migran itu dalam kondisi aman dan stabil.
Dari hasil pemeriksaan, tidak ditemukan ada indikasi pekerja migran itu sedang kesusahan atau tidak digaji. Para pekerja migran diminta untuk tidak gegabah dan terburu-buru meminta bantuan organisasi-organisasi non-pemerintah.
”Kementerian Tenaga Kerja bekerja sama dengan sejumlah LSM untuk menangani kesehatan mental para pekerja migran dengan menyediakan layanan konseling,” sebut pernyataan tertulis dari kementerian itu. (REUTERS)