Turki adalah negara sekuler. AKP dan Recep Tayyip Erdogan bolak-balik menegaskan komitmen pada sekularisme yang diterapkan di Turki setelah keruntuhan kekhalifahan Utsmani
Oleh
kris mada
·4 menit baca
AFP/OZAN KOSE
Seorang perempuan berpose di depan Hagia Sophia pada 11 Juli 2020 di Istanbul, Turki.
JAKARTA, KOMPAS — Turki akan mempertahankan sekularisme yang diwariskan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan presiden pertama negara itu. Meskipun demikian, partai berkuasa Turki juga memainkan isu partisan untuk mempertahankan kendali atas negara itu.
Pengamat Timur Tengah, Zuhairi Misrawi, mengatakan, para elite Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa terus menegaskan komitmen pada sekularisme warisan Ataturk. Bahkan, selepas perubahan kembali Hagia Sophia menjadi masjid, para elite AKP memperkuat lagi komitmen mereka pada sekularisme.
”Hagia Sophia adalah simbol kemalisme,” ujarnya saat bedah buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti karya wartawan senior Trias Kuncahyono, Senin (3/8/2020), di Jakarta. Bedah buku itu diselenggarakan oleh Penerbit Buku Kompas.
Kemalis yang dimaksud Zuhairi adalah orang-orang Turki yang menyokong ide Turki sebagai negara sekuler seperti dideklarasikan Bapak Bangsa Mustafa Kemal Ataturk. Hingga saat ini, para kemalis berperan penting dalam politik Turki.
Adapun komitmen pada sekularisme, antara lain, disampaikan Omer Celik, juru bicara AKP dan mantan Menteri Kebudayaan pada era pemerintahan Recep Tayyip Erdogan. Melalui Twitter, Celik menegaskan, Turki adalah negara sekuler.
Zuhairi mengatakan, ada wacana agar Turki meneruskan perubahan status Hagia Sophia ke wacana pembangkitan khilafah. Walakin, ide itu sulit mendapat dukungan di Turki. ”Dalam jajak pendapat beberapa waktu lalu, 43 persen (responden di Turki) menolak khilafah. Hanya 8 persen mendukungnya,” ujarnya.
MURAT CETINMUHURDAR/HANDOUT VIA REUTERS
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melambaikan tangan kepada orang-orang di sekitarnya saat ia meninggalkan Hagia Sophia atau Ayasofya-i Kebir Camii di Istanbul, Turki, 19 Juli 2020.
Trias mengatakan, AKP akan meneruskan ide-ide Partai Kesejahteraan, pendahulu AKP. Karena itu, AKP akan terus bermain di isu kenegaraan dan keagamaan. ”Bila membutuhkan isu persatuan, akan masuk ke isu negara. Jika untuk dukungan pemilih, akan masuk ke isu agama,” ujarnya.
Perubahan status Hagia Sophia, kata Trias, adalah bagian dari upaya Erdogan dan AKP untuk menarik para pemilih konservatif. Pemilih dengan karakter itu terutama berada di daerah pedalaman. Sementara kemalis terutama berada di daerah metropolis dan pesisir.
Menjelang pemilu
Peta politik Turki dalam beberapa tahun terakhir kurang menguntungkan bagi AKP dan Erdogan untuk mempertahankan kekuasaan di negara itu. Padahal, Turki akan menggelar pemilu nasional pada 2023.
Dalam pemilu lokal 2018-2019, AKP kalah di banyak tempat. Bahkan, AKP kalah dalam pemilihan Wali Kota Istanbul. Padahal, kota itu salah satu barometer politik Turki dan menjadi titik awal karier politik Erdogan.
Selain itu, AKP juga terpecah. Mantan AKP, Ahmed Davutoglu, keluar dari partai itu dan kini mendirikan Partai Masa Depan. Sementara Ali Babacan, salah satu pendiri dan mantan pengurus pusat AKP, mendirikan Partai Demokrasi dan Kemajuan (DEVA). Mantan Presiden Turki, Abdullah Gul, juga kini berseberangan dengan AKP dan Erdogan. Gul kini lebih dekat ke Babacan.
Masalah lain bagi pemerintahan Erdogan adalah perekonomian yang kurang baik. Pengangguran dan inflasi naik, nilai tukar lira tertekan, dan kini ada tekanan akibat pandemi Covid-19. Davutoglu bolak-balik secara terbuka mengkritik langkah Erdogan mengelola perekonomian Turki.
ARSIP KOMPAS
Zuhairi Misrawi
Zuhairi mengatakan, Erdogan mencoba menarik dukungan dari semua pihak untuk mempertahankan dominasi AKP. Pernyataan soal sekularisme adalah manuver menarik dukungan kelompok kemalis dan nasionalis. Sementara kebijakan soal Hagia Sophia untuk menarik kalangan konservatif.
”Pemilu 2023 bisa menjadi pertaruhan bagi AKP dan Erdogan untuk mempertahankan kekuasaan,” ujarnya.
Trias mengatakan, AKP telah menyingkirkan pesaing-pesaing penting seperti kelompok loyalis Fetullah Gullen. ”Pada masa awal berkuasa, Erdogan naik dengan dukungan kelompok Gullen. Kini, setelah kuat, kelompok Gullen disingkirkan,” ujarnya.
Loyalis Gullen tersebar di berbagai penjuru Turki. Polisi, tentara, dan ASN Turki banyak menjadi pengikut Gullen, tokoh Turki yang kini tinggal di Amerika Serikat.
Trias menyebutkan, sebagian dari para loyalis itu terlibat dalam upaya kudeta pada 2016. Selepas upaya itu, ratusan ribu orang ditangkap atau setidaknya diawasi. Insiden itu terutama terjadi karena sebagian tentara Turki melihat kecenderungan AKP untuk menjauhi sekularisme. Padahal, tentara Turki ditempatkan sebagai penjaga sekularisme.
Mancanegara
Trias mengatakan, kelincahan Erdogan bukan hanya di dalam negeri. Di kawasan pun Erdogan pandai bermanuver seperti ditunjukkannya dalam isu Libya, Suriah, dan Eropa. ”Erdogan punya banyak kartu truf untuk dimainkan dengan semua pihak,” ujarnya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Trias Kuncahyono, Penulis dan Wartawan Senior
Erdogan bermain mata dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam isu Libya dan Suriah. Rusia membutuhkan kerja sama dengan Turki karena alasan akses di Laut Tengah. ”Ini bagian dari politik air hangat di masa lalu,” ujarnya.
Politik Air Hangat adalah kebijakan Uni Soviet, negara yang kini diteruskan Rusia, untuk mencari pangkalan di Laut Tengah dan wilayah selatan Uni Soviet. Kini, satu-satunya pangkalan yang tersisa dari kebijakan itu adalah Suriah. Rusia membutuhkan tambahan pelabuhan dan disebut-sebut kini mengincar Libya.
Di Libya dan Suriah, Ankara dan Moskwa menyokong pihak berbeda. Di Suriah, Ankara menyokong pemberontak dan Moskwa mendukung pemerintahan yang sah. Di Libya, posisinya berbalik.
Bagi Erdogan, kedekatan dengan Rusia bisa menjadi alat tawar kepada Eropa dan AS yang memandang Moskwa sebagai salah satu pesaing strategis. Erdogan juga memanfaatkan isu pengungsi sebagai alat tawar dengan Eropa. Kini, Turki menjadi palang pintu untuk mencegah arus pengungsi Afrika dan Timur Tengah mengalir ke Eropa. (RAZ)