Kisah Ibadah Haji, dari Dinasti Ottoman hingga Dinasti Al-Saud
Penyelenggaraan ibadah haji saat dunia dilanda wabah sudah terjadi sejak Dinasti Ottoman. Saat ini, Arab Saudi tetap menggelar ibadah haji secara terbatas meskipun dunia dilanda pandemi Covid-19.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo – Mesir
·6 menit baca
Prosesi pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 ini sedang berjalan lancar. Para jemaah haji yang hanya berjumlah sekitar 1000 orang, Jumat (31/7/2020) ini, bertolak dari Muzdalifah menuju Mina. Hal itu dilakukan setelah pada Kamis kemarin para jemaah haji melakukan wukuf di padang Arafah, lalu setelah matahari terbenam menuju Muzdalifah untuk menginap.
Terlaksananya prosesi ibadah haji tersebut membuktikan tekad kuat dan kemampuan pemerintah Arab Saudi melaksanakan ibadah haji ditengah pandemi Covid-19 saat ini. Ini tentu menjadi misi utama Raja Salman dan keluarga besar Al Saud yang berkuasa di Arab Saudi agar ibadah haji tetap terlaksana dalam keadaaan sesulit apa pun, pada masa mereka berkuasa sejak tahun 1932.
Tentu hal itu tidak mudah dan butuh keberanian mengeluarkan keputusan politik menyelenggarakan ibadah haji disaat maraknya pandemi Covid-19 itu. Menurut Worldometers, jumlah positif Covid-19 di Arab Saudi hingga Rabu (29/7/2020) mencapai 270.831 orang, 2.789 orang di antaranya meninggal, dan 225.624 orang dinyatakan sembuh, dan 42.418 disebut masih dalam perawatan.
Jemaah haji pun harus menjalani protokol kesehatan yang sangat ketat agar tercegah kemungkinan terburuk akibat Covid-19 itu. Di antara protokol kesehatan itu adalah hanya ada 10 jemaah haji setiap 50 meter persegi serta antara satu dan lain jemaah harus berjarak minimal 1,5 meter ketika berada di padang Arafah dan Musdalifah.
Ketika melempar jumrah, hanya ada 50 jemaah haji pada setiap lantai dan harus berjarak 1,5-2 meter antara satu dan lain jemaah haji. Saat tawaf di Masjidil Haram, jemaah harus berjarak minimal 1,5 meter antara satu dan lain jemaah haji. Ketika berada di Masjidil Haram, jemaah haji dilarang menyentuh dinding kabah, dilarang menyentuh dan mencium hajar Aswad, dan jemaah haji harus membawa sajadah sendiri. Setelah menunaikan ibadah haji, para jemaah haji harus menjalani karantina selama 14 hari di rumah masing-masing.
Dalam sejarah Islam, bukan pertama kali pelaksanaan ibadah haji dilakukan saat maraknya wabah seperti pandemi Covid-19 saat ini. Jauh sebelum saat ini, ibadah haji sudah sering dilaksanakan saat musim wabah. Seperti diketahui, masyarakat Muslim dalam sepanjang sejarahnya sudah sering menghadapi musibah berbagai wabah, seperti kolera ataupun malaria.
Hal itu tentu sangat memengaruhi aktivitas kehidupan masyarakat Muslim, termasuk dalam menjalankan ritual keagamaannya, seperti ibadah puasa, shalat Jumat, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, serta ibadah haji.
Ada tiga musim wabah yang sangat memengaruhi kehidupan masyarakat Muslim. Pertama, wabah yang muncul sejak pertama sejarah Islam hingga lahirnya dinasti Abbasid tahun 750 M. Pada era itu, wabah yang terkenal muncul pada era Khalifah Umawi keenam, Walid bin Abdul Malik pada tahun 705-715 M.
Kedua, wabah hitam atau dikenal juga dengan sebutan maut hitam (black death) yang muncul pada tahun 1347 M dan berlanjut sampai abad ke 19. Wabah hitam itu pertama kali melanda Eropa, dan juga menjalar ke Timur Tengah. Puncak penyebaran wabah hitam di Timur Tengah, persisnya di Mesir dan Suriah, terjadi pada bulan Ramadhan atau bulan November-Desember 1348 yang membawa korban puluhan ribu tewas.
Ketiga, wabah yang muncul di Hong Kong tahun 1894 M, tetapi kemudian menjalar ke negara-negara di Timur Tengah. Pada abad ke-19, juga sering terjadi penyebaran kolera yang membawa kematian cukup luas di masyarakat Muslim.
Era Dinasti Ottoman
Pada tahun 1517 M, dinasti Ottoman yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji saat itu mendirikan lembaga yang memudahkan perjalanan haji dengan aman dari luar wilayah Islam. Dinasti Ottoman berinisiatif mendirikan lembaga haji tersebut karena saat itu perjalanan menuju Mekkah sangat sulit dan lama, hingga memerlukan beberapa bulan untuk bisa sampai ke Kota Mekkah. Bahkan sering terjadi, calon jemaah haji dalam perjalanan menuju Mekkah atau ketika sampai di kota Mekkah mengalami berbagai macam musibah, seperti terkena wabah atau kekurangan bahan makanan, atau kadang kecurian.
Misi lembaga haji yang didirikan dinasti Ottoman tersebut adalah berupaya menjamin jemaah haji mendapatkan makanan dan air yang layak, serta menjaga kebersihan kota Mekkah. Pada abad ke-19, perjalanan haji lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah melalui kapal laut dan kereta api, khususnya setelah pembukaan Terusan Suez tahun 1869 M.
Hal itu mengantarkan naiknya jumlah jemaah haji per tahunnya. Pada tahun 1813 M, jumlah jemaah haji hanya 112.000 orang dan kemudian naik menjadi 300.000 jemaah haji pada tahun 1910. Naiknya jumlah jemaah haji yang cukup signifikan itu membuat para jemaah haji berjubel di kapal-kapal laut dan kereta api, hingga sangat rawan terserang penyakit.
Antara tahun 1831 dan 1914, banyak peristiwa jemaah haji meninggal akibat kolera. Pada 1893, jemaah haji yang meninggal akibat kolera berjumlah sekitar 30.000-50.000 orang. Oleh karena itu, Dinasti Ottoman pada akhir abad ke-19 berusaha keras membendung penyebaran kolera pada saat perjalanan jemaah haji atau ketika pelaksanaan ibadah haji di Mekkah.
Pada tahun 1866, Dinasti Ottoman mendirikan tempat pusat karantina kesehatan di pintu masuk Laut Merah sebelum memasuki wilayah Hejaz (wilayah Arab Saudi sekarang) untuk jemaah haji yang datang dari Mesir, Afrika utara, dan Turki. Pada tahun 1882, Dinasti Ottoman juga mendirikan pusat karantina kesehatan di Pulau Kamaran-Yaman, yang terletak di Laut Merah untuk jemaah haji yang datang dari Asia Tenggara, Afrika Timur, Yaman, dan negara-negara Arab Teluk yang menggunakan kapal laut.
Calon jemaah haji yang kurang memenuhi syarat kesehatan harus menjalani karantina selama 15 hari di Pulau Kamaran dan pintu masuk Laut Merah sebelum diizinkan meneruskan perjalanan haji menuju Mekkah. Sering terjadi ribuan calon jemaah haji meninggal saat menjalani karantina kesehatan itu atau saat menjalankan ibadah haji di Mekkah.
Pada tahun 1902, sempat terjadi dialog antara Dinasti Ottoman dan kolonial Inggris yang saat itu masih menjajah banyak negara Islam di Asia, Afrika, dan Arab tentang nasib pelaksanaan ibadah haji saat maraknya wabah kala itu. Dinasti Ottoman sempat mengusulkan pembatalan ibadah haji saat itu, tetapi kolonial Inggris mendesak Dinasti Ottoman tidak membatalkan ibadah haji.
Kolonial Inggris menekan Dinasti Ottoman agar memperbaiki kualitas pelayanan pusat karantina agar kesehatan calon jemaah haji bisa lebih baik saat menjalani karantina kesehatan. Setelah itu, mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Akhirnya, Dinasti Ottoman tetap menyelenggarakan ibadah haji sesuai dengan rekomendasi pemerintah kolonial Inggris meskipun saat itu tersebar wabah.
Era Dinasti Al-Saud
Pada era dinasti Al-Saud, Pemerintah Arab Saudi pernah melarang warga India dan Pakistan melaksanakan ibadah haji pada tahun 1957 karena kawasan Asia Selatan saat itu terkena sebaran wabah kolera yang sangat parah. Arab Saudi khawatir, jika warga India dan Pakistan diizinkan berangkat haji saat itu, mereka bisa membawa wabah kolera dan menularkan kepada jemaah haji dari negara lain. Namun, Arab Saudi saat itu tidak menghentikan penyelenggaraan ibadah haji dan warga negara selain dari kawasan Asia Selatan tetap diizinkan berangkat haji seperti biasa.
Arab Saudi tetap menyelenggaraan ibadah haji pula saat musim wabah flu babi atau virus H1N1 tahun 2009-2010. Virus H1N1 saat itu sempat menyebar di beberapa negara Arab dan Islam, termasuk di Arab Saudi sendiri.
Arab Saudi juga tetap menyelenggarakan ibadah haji saat menyebar virus MERS-CoV pada tahun 2012 di kawasan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Kini, Arab Saudi tetap menggelar ibadah haji pula saat pandemi Covid-19.