Undang-undang baru di Turki dikritik oleh para pembela HAM sebagai upaya untuk meningkatkan sensor di dunia daring. Undang-undang ini menargetkan jejaring sosial dengan lebih dari satu juta kunjungan langsung per hari.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
ANKARA, RABU -- Parlemen Turki, Rabu (29/7/2020), mengesahkan rancangan undang-undang kontroversial yang memberikan pemerintah kontrol lebih besar terhadap media sosial. Di bawah undang-undang (UU) baru itu, perusahaan pengelola media sosial, seperti Facebook dan Twitter, harus memastikan mereka memiliki perwakilan lokal di Turki dan patuh pada perintah pengadilan yang memutuskan penghapusan konten tertentu atau siap didenda berat.
UU baru itu dikritik oleh para pembela hak asasi manusia (HAM) sebagai upaya Turki meningkatkan sensor di dunia daring. UU ini menargetkan jejaring sosial dengan lebih dari satu juta kunjungan langsung per hari. Melalui UU itu, server dengan data pengguna Turki harus disimpan secara lokal. Jika perusahaan menolak patuh, mereka akan dikenakan denda dan pembatasan lebar pita (bandwidth) yang membuat platform mereka tidak dapat digunakan.
Rancangan UU itu diajukan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa dan mitra nasionalisnya, Partai Gerakan Rakyat (MHP). Dua partai ini menguasai kursi mayoritas di parlemen. Proses pengesahan RUU itu diwarnai perdebatan, Selasa (28/7), dan berlangsung hingga keesokan harinya. RUU itu akhirnya disahkan tepat sebelum reses parlemen selama musim panas hingga Oktober mendatang.
Kelompok-kelompok pegiat HAM dan oposisi khawatir, UU itu akan mengakibatkan situasi yang mengikis kebebasan berekspresi di Turki. Kebebasan berekspresi itu sudah berkurang sebelumnya dengan proses pidana yang dihadapi ribuan warga di negara tersebut. Mereka dianggap menghina Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melalui medsos.
Mereka berpendapat, peningkatan kontrol medsos juga akan membatasi akses Turki dan warganya secara umum pada sumber informasi independen atau berita penting di negara itu. Kekhawatiran ini beralasan. Perusahaan-perusahaan media di Turki dimiliki pengusaha yang dekat dengan pemerintah, dan sebagian dimiliki atau dikendalikan negara.
"Kenapa sekarang?" tanya Yaman Akdeniz, profesor di Universitas Bilgi Istanbul yang juga pakar hak siber. "Sementara platform media cetak dan siaran sudah di bawah kendali pemerintah, jaringan medsos relatif bebas. Medsos telah menjadi salah satu dari sedikit ruang untuk kebebasan berekspresi dan efektif di Turki.”
Human Rights Watch (HRW) menyatakan keprihatinan dan menilai UU itu akan memungkinkan kontrol medsos oleh pemerintah yang bisa memaksakan penghapusan konten sesuka hati. UU itu juga memungkinkan pemerintah menarget pengguna medsos dengan sewenang-wenang.
"Medsos adalah garis hidup bagi banyak orang yang menggunakannya untuk mengakses berita, jadi UU itu menandakan era gelap baru sensor daring,” kata Tom Porteous, wakil direktur program di HRW dalam pernyataan sebelum RUU itu disahkan.
Banyak pengguna internet di Turki kini menggalang dukungan penolakan atas rencana pengesahan RUU itu secara daring lewat tagar "jangan sentuh medsos saya". Ibrahim Kalin, jubir Erdogan, kepada televisi CNN-Turk, Selasa, menepis kekhawatiran warga dan para pegiat HAM.
"Tidak ada halangan bagi pengguna medsos untuk secara bebas mengekspresikan pendapat mereka," ujar Kalin. "Inilah aturannya: apa pun yang merupakan kejahatan di dunia nyata juga merupakan kejahatan di dunia maya, pasti ada batas untuk sebuah kritik."
Sinyalemen Erdogan
Erdogan pada awal bulan ini telah mengeluarkan sinyalemen untuk memperketat kontrol pemerintah atas medos. Ia mengatakan, pengguna "berhati gelap" telah menghina Menteri Keuangan Berat Albayrak dan istrinya, Esra--putri Erdogan--setelah kelahiran anak keempat mereka.
Pada bulan lalu, Erdogan mengalami sendiri “menghadapi” serbuan komentar negatif dari pengguna medsos. Hal itu terjadi ketika ia menggelar konferensi video dengan kaum muda di Turki.
Erdogan Turki kemudian mematikan komentar, tetapi ada 388.000 klik pada tombol jempol ke bawah alias "thumbs down", dibandingkan dengan 114.000 pada tombol ke atas atau "thumbs up". Erdogan sendiri bukan penggemar medsos meskipun memiliki banyak pengikut di berbagai platform medsos, termasuk Twitter.
Dia pernah membandingkan platform media layaknya sebuah "pisau pembunuh". Ia sebelumnya juga pernah berjanji untuk "membasmi" Twitter. Pada masa pemerintahan sebelumnya, ia pernah memblokir Twitter dan YouTube pada 2014. Langkah itu diambil setelah ada unggahan rekaman audio yang melibatkan Erdogan--saat itu menjabat perdana menteri--dan lingkaran dalamnya dalam dugaan skandal korupsi.
Keengganan Erdogan pada dunia medsos juga berawal dari protes anti-pemerintah pada 2013, yang sering dimobilisasi lewat unggahan di medsos, khususnya Twitter dan Facebook. Pengadilan Turki pada Januari lalu mencabut larangan ensiklopedi Wikipedia daring setelah hampir tiga tahun. Menurut "laporan transparansi" terbaru Twitter untuk paruh pertama tahun 2019, Turki berada peringkat pertama dalam kategori pihak yang meminta penghapusan konten dalam platform medsos itu, dengan lebih dari 6.000 permintaan. (AFP/REUTERS)