Ketegangan AS-China Dikhawatirkan Jadi Perang Dingin 2.0
Ketegangan Amerika Serikat dan China menjadi perhatian negara-negara di dunia. Muncul kekhawatiran ketegangan itu terus terjadi sehingga mengganggu upaya-upaya global dalam memulihkan perekonomian global.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Ketegangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan China menjadi perhatian negara-negara di dunia. Muncul kekhawatiran ketegangan itu terus terjadi sehingga menganggu upaya-upaya global dalam memulihkan perekonomian di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas ujungnya. Seorang pejabat Jerman bahkan memperingatkan kemungkinan hubungan Washington-Beijing menjadi Perang Dingin 2.0.
Perdagangan global sudah tertekan selama sekurangnya dua tahun terakhir akibat perang dagang AS-China. Alih-alih mereda, perang dagang itu justru menjalar ke polemik-polemik lain. Sebut saja dinamika terkait status dan aksi massa di Hong Kong; warga Muslim di Uighur, China; hingga tuduhan mata-mata dan kontrol atas kawasan Laut China Selatan. Dinamika terbaru terlihat dengan aksi penutupan konsulat jenderal kedua negara.
Polemik AS-China telah membelah sikap negara-negara. Mereka cenderung bingung untuk bersikap dengan mengutamakan kepentingan masing-masing. Kondisi ini dikhawatirkan memecah konsentrasi sekaligus semangat persatuan global, sesuatu yang justru diharapkan diperkuat di tengah krisis global akibat pandemi Covid-19.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, pihaknya ingin menjaga perdagangan dan kerja sama dalam mengatasi pemanasan global. Namun, ia menilai Undang-Undang Keamanan Nasional yang memperketat kendali Beijing atas Hong Kong sebagai sebuah masalah sulit. Ia secara gamblang mengatakan, dinamika terkait UU itu adalah sebuah perkembangan mengkhawatirkan.
Jerman sebagai negara dengan ekonomi terbesar Eropa belum mengambil posisi final pada raksasa teknologi China, Huawei. Tekanan AS muncul untuk mengecualikan peralatannya dari jaringan telekomunikasi generasi selanjutnya. Inggris telah mengambil keputusan atas hal itu dengan rencananya tidak menggunakan peralatan Huawei mulai 2027 mendatang. Adapun Jerman berupaya melihat persoalan itu dengan hati-hati. ”China adalah mitra penting bagi kami, tetapi juga pesaing,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas seusai berkomunikasi secara virtual dengan Menlu China Wang Yi, Jumat (24/7/2020) pekan lalu.
Peter Beyer, koordinator Pemerintah Jerman untuk kerja sama trans-Atlantik, menyatakan kekhawatirannya atas dinamika hubungan AS-China dalam sebuah wawancara dengan kelompok surat kabar RedaktionsNetzwerk Deutschland. Ia menilai, perang dingin kedua siap-siap terjadi. ”Kita bakal mengalami awal Perang Dingin 2.0,” kata Beyer. Dia mengkritik kedua belah pihak, tetapi mengatakan, ”AS adalah mitra kami yang paling penting di luar Uni Eropa (UE) dan itulah yang akan tetap terjadi.”
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai mitra. Namun, Perancis juga berupaya menghindari membuat Beijing gusar. Ambivalensi Trump terhadap sekutu-sekutu AS dan pelanggaran norma-norma diplomatik telah membuat Perancis khawatir.
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai mitra. Namun, Perancis juga berupaya menghindari membuat Beijing gusar. Ambivalensi Trump terhadap sekutu-sekutu AS dan pelanggaran norma-norma diplomatik telah membuat Perancis khawatir. ”Ketegangan China-AS tidak menguntungkan Perancis,” kata Valerie Niquet dari Foundation for Strategic Research, sebuah lembaga think tank. ”Kami memiliki preferensi yang sama dengan AS terhadap China. Kami mengadopsi posisi yang lebih kurang sama, tetapi hal itu tidak memberi kami elemen positif apa pun.”
Di kawasan Asia, Korea Selatan terjepit di antara AS sebagai sekutu militer utamanya dan China sebagai mitra dagang terbesarnya. Pada 2016, Beijing menghancurkan bisnis operator supermarket Lotte di China setelah konglomerat Korsel menjual sebidang tanah di Korsel kepada pemerintahnya untuk dijadikan tempat membangun sistem antirudal. Washington tidak senang dengan keinginan Seoul mengurangi sanksi terhadap Korut sekaligus tidak nyaman dengan penggunaan teknologi Huawei. Trump juga mengeluhkan biaya penempatan 28.500 tentara AS di Korsel untuk melindungi negara itu dari ancaman Korut. Perjanjian pembagian biaya berakhir pada 2019 tanpa pengganti.
Sementara di India, Perdana Menteri Narendra Modi telah mencoba merangkul Presiden China Xi Jinping dan Presiden Trump. Namun, pandemi Covid-19 serta bentrokan antara militer China dan India di perbatasan yang menewaskan sedikitnya 20 tentara India telah memicu sentimen anti-China. Para pengunjuk rasa di India menyerukan boikot barang-barang China dan membakar bendera China. Mereka memuji larangan pemerintah setempat terhadap aplikasi berbagi video populer China, Tiktok, dan beberapa aplikasi China lain.
Washington menginginkan hubungan yang lebih kuat dengan India. Pemerintah AS mendukung langkah kontroversialnya setahun lalu untuk memecah satu-satunya wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim, Jammu dan Kashmir, yang bergolak menjadi dua wilayah yang dikontrol pemerintah federal. Bulan ini, Kepala Staf Gedung Putih Mark Meadows mengatakan, AS akan menentang China dalam sengketa perbatasan China-India. ”Untuk India, sangat tepat bahwa AS memberikan lebih banyak tekanan kepada China. Dan jika itu dapat membuat (China) berperilaku, hal itu akan disambut lingkungan sekitar,” kata Jayadeva Ranade, presiden think tank Center for China Analysis and Strategy, di New Delhi.
Melihat situasi dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing juga ditunjukkan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bagi Asia Tenggara, baik AS maupun China adalah mitra dagang yang penting. ”Sebuah kekuatan besar, ketika mereka meningkatkan persaingan mereka, akan membujuk kita ke pihak mereka,” kata Harry Roque, juru bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte. ”Kami akan memajukan kepentingan nasional kami.” Dinamika Laut China Selatan adalah hal yang paling sensitif di Asia Tenggara. Trump secara terbuka menolak sebagian besar klaim Beijing atas salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia itu.
Filipina dan Vietnam, di antara kritik yang paling vokal tentang sikap tegas China, dapat mengambil manfaat dari sikap itu. Namun, keduanya tetap akan bergerak dengan hati-hati. Hal itu dikatakan Greg Poling dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Washington. ”Mereka tidak akan mengikat leher mereka sampai mereka melihat tindak lanjut nyata dari Washington,” kata Poling mengandaikan sikap kedua negara itu. (AP/AFP)