Filipina Jadi Negara di Asia yang Paling Mematikan untuk Pejuang dan Aktivis Lingkungan
Filipina menjadi negara paling mematikan bagi pejuang HAM dan lingkungan di Asia. Kematian para pejuang HAM dan lingkungan ini terkait dengan perlawanan atas industri minyak, tambang, dan gas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MANILA, RABU — Filipina menjadi negara paling mematikan bagi para pejuang hak asasi manusia dan pegiat lingkungan di Asia selama tahun 2019 setelah sepanjang tahun itu 43 pejuang dan pegiat lingkungan tewas. Angka itu naik dari sebelumnya 30 orang pada 2018.
Separuh dari angka kematian para aktivis yang tercatat terjadi setelah Rodrigo Duterte menjabat presiden tahun 2016, memiliki kaitan dengan militer atau kelompok paramiliter. Pemimpin adat, petani, atau bahkan pegawai pemerintah yang bekerja dalam bidang lingkungan hidup adalah orang-orang yang tercatat sebagai korban pembunuhan itu.
Laporan tahunan Global Witness yang baru dirilis pada Rabu (29/7/2020) menyebutkan, separuh dari korban tewas terkait dengan perusahaan agroindustri atau agrobisnis dan 16 pembunuhan terkait dengan bisnis pertambangan, sebuah angka yang menurut data lembaga tersebut sebagai angka kematian tertinggi di dunia.
Rachex Cox, juru kampanye lembaga tersebut, mengatakan, tiga sektor yang dianggap menjadi pendorong terbesar serangan atas para pejuang dan aktivis lingkungan adalah sektor minyak, pertambangan dan gas. Selain itu, industri yang mendorong deforestasi dan peningkatan emisi karbon juga dinilai mendorong serangan yang terus-menerus terhadap para pegiat dan aktivis lingkungan.
”Banyak pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia terburuk di dunia didorong oleh eksploitasi sumber daya alam dan korupsi dalam sistem politik dan ekonomi global. Korban adalah orang-orang yang membela tanah dan lingkungan mereka dari orang-orang dalam industri ini,” kata Cox.
Laporan tersebut mencatat separuh korban tewas tinggal di Mindanao, tempat tentara terus mempertahankan kehadirannya di wilayah itu untuk berperang melawan kelompok komunis dan gerilyawan Muslim. Sampai akhir tahun lalu, pemerintah menetapkan status darurat militer di Mindanao.
Di dalam laporan tersebut juga mencatat beberapa pejuang HAM dan aktivis lingkungan terbunuh di Negros, sebuah pulau penghasil gula di wilayah Filipina tengah. Kawasan yang dikenal juga sebagai basis militer Filipina, para pegiat HAM dan aktivis lingkungan telah lama berkampanye untuk mereformasi ketimpangan kepemilikan tanah untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Kaylo Bontolan, seorang pemimpin suku Manobo di Mindanao adalah salah satu korban tewas di dalam konflik lingkungan. Dia terbunuh dalam serangan udara oleh militer Filipina pada April 2019 ketika baru pulang dari kegiatan pendokumentasian kekerasan terhadap warga sukunya.
”Seperti Datu Kaylo, banyak dari mereka yang terbunuh adalah penduduk asli yang menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan tanah leluhur mereka,” kata laporan itu.
Pemerintahan Duterte mengakui adanya ancaman lingkungan yang meningkat di negara tersebut. Namun, menurut laporan tersebut, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi ancaman itu tidak mencerminkan pengakuan mereka atas kondisi tersebut. ”Kenyataannya adalah ’bisnis seperti biasa’,” tulis laporan itu.
Laporan tersebut juga menyoroti praktik penandaan terhadap para aktivis HAM dan pegiat lingkungan oleh pemerintah melalui UU Antiteror yang baru diberlakukan oleh Duterte. UU tersebut membuat pemerintah tanpa memiliki parameter yang jelas menuding para aktivis sebagai pemberontak atau simpatisan kelompok komunis.
Dikutip dari laman Philstar, organisasi lingkungan dan pertambangan, di antaranya PNE Kalikasan, Save Our School Network, dan Alyansa Tigil Mina mendesak Pemerintah Filipina untuk melakukan penyelidikan independen atas serangan yang terjadi terhadap kelompok masyarakat adat. Pemerintah juga didesak untuk memindahkan unit militer dari tanah masyarakat adat serta membubarkan kelompok paramiliter. (AFP)