Konten TikTok Dinilai Melanggar Norma, 5 Perempuan Mesir Dipenjara 2 Tahun
Beberapa tahun terakhir ini Mesir mengendalikan ketat internet. Mesir telah menindak penyanyi dan penari perempuan karena mengunggah konten daring yang dinilai terlalu bersemangat atau mengarah ke gerakan tak senonoh.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
KAIRO, SELASA — Pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman masing-masing dua tahun penjara bagi lima perempuan pemengaruh (influencer) di media sosial. Kelima perempuan itu dinyatakan bersalah karena melanggar nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Haneen Hossam, Mowada al-Adham, dan tiga perempuan lain itu dihukum karena mengunggah rekaman video melalui aplikasi berbagi video, TikTok.
Selain penjara dua tahun, pengadilan juga menetapkan denda masing-masing 18.750 dollar AS atau sekitar Rp 272 juta, Senin (27/7/2020).
Hossam (20), mahasiswi Cairo University yang memiliki 1,3 juta pengikut, ditahan sejak April lalu setelah mengunggah potongan video selama 3 menit. Di dalam video itu, ia mengajak anak-anak perempuan mencari uang dengan bekerja kepadanya. Hossam juga mendorong remaja perempuan untuk bertemu dan berteman dengan laki-laki melalui sebuah aplikasi video.
Adapun Adham, yang memiliki pengikut sedikitnya 2 juta, ditahan pada Mei lalu setelah mengunggah video satir di TikTok dan media sosial Instagram. Ia juga dituding menyebarkan foto-foto dan video tidak pantas di media sosial. Sementara tiga perempuan lainnya juga divonis bersalah karena membantu Hossam dan Adham.
Kasus kelima perempuan ini menyoroti kesenjangan sosial yang terjadi di negara yang masih konservatif memandang kebebasan individu dan norma sosial. Pengacara hak asasi manusia, Tarek al-Awadi, sebelum pembacaan vonis menilai bahwa penangkapan kelima pemengaruhini menunjukkan betapa masyarakat dihadapkan pada masalah pesatnya teknologi komunikasi modern. Di Mesir, penggunaan internet sudah mencapai 40 persen dari populasi anak muda di negara itu atau sekitar 100 juta orang.
”Vonis itu tetap mengagetkan meski sudah kita duga akan terjadi. Kita akan lihat nanti saat proses banding. Terlepas dari isi videonya, tetap hal itu tidak bisa jadi alasan hukuman penjara,” kata Intissar al-Saeed, pengacara hak-hak perempuan.
Tarian seronok
Selama beberapa tahun terakhir, Mesir telah menindak penyanyi dan penari perempuan karena mengunggah konten daring yang dinilai terlalu bersemangat atau mengarah ke gerakan tidak senonoh. Seperti yang dialami penari perut Sama al-Masry, ia divonis tiga tahun penjara, bulan lalu. Ia dinyatakan bersalah karena menghasut orang untuk berpesta pora di media sosial dengan konten yang mengarah ke seksual.
Pada tahun 2018, ada penyanyi perempuan yang ditahan karena memancing perbuatan tidak senonoh. Ia ditahan setelah ada video klip daring yang mempertontonkan gerakan-gerakan tarian sensualnya yang sempat viral. Pada tahun sebelumnya, ada juga perempuan penyanyi pop yang dipenjara dua tahun karena dakwaan yang sama, yaitu mengunggah konten video yang provokatif.
”Tuduhan menyebarkan keinginan untuk pesta pora atau melanggar nilai-nilai keluarga itu sangat tidak jelas dan definisinya luas,” kata Saeed.
Beberapa tahun terakhir ini Mesir juga mengendalikan internet dengan ketat. Melalui undang-undang yang ada, pihak berwewenang dapat memblokir situs web yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Ada juga ketentuan khusus untuk memantau akun-akun media sosial pribadi yang memiliki lebih dari 5.000 pengikut.
Kebebasan terbelenggu
Para aktivis hak asasi manusia dan pengguna media sosial bulan ini mulai berkampanye menuntut otoritas Mesir membebaskan kelima perempuan itu. Mereka menyatakan kasus tersebut melanggar hak untuk berpendapat dan berekspresi. Namun, banyak anggota parlemen Mesir justru menuntut pemerintah mencabut aplikasi TikTok di Mesir karena hanya mempertontonkan kebobrokan moral.
Kepala Pusat Hak-hak Perempuan Mesir Nehad Abu El Komsan keberatan dengan kalimat ”melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip keluarga”, tetapi ia mengakui perdagangan manusia dan ekploitasi perempuan untuk kepentingan mencari uang itu juga ”kejahatan mengerikan”. ”Kita harus membedakan kebebasan berekspresi dengan memanfaatkan perempuan untuk mendapatkan uang,” ujarnya. (REUTERS/AFP)