Biden Diperkirakan Lebih Berpeluang, Indonesia Jangan Terlambat Antisipasi
Belum ada petahana menang di pilpres AS apabila tingkat penerimaan kinerjanya di bawah 45 persen. Tingkat penerimaan kinerja Trump di kisaran 40 persen.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia disarankan segera menjalin hubungan dengan tim yang mengurus kebijakan luar negeri calon presiden Amerika Serikat Joe Biden. Indonesia juga perlu menambah diplomat untuk berhubungan dengan Kongres AS.
”Jangan menunggu Biden menang. Dari sekarang harus sudah dipikirkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat di masa Biden,” kata Dino Patti Djalal, Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), dalam diskusi bertema ”Dampak Pemilu Amerika Serikat terhadap Hubungan RI-AS” yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri dan FPCI, Selasa (28/7/2020), di Jakarta.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Kepala Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Shafiah Muhibat, Perwakilan Dewan Pengusaha AS-ASEAN wilayah Indonesia Landry Subianto, Direktur Amerika I pada Kemenlu Zelda Wulan Kartika, dan Kepala Pusat Penanganan Isu Strategis Kementerian Perdagangan Luther Palimbong hadir sebagai pembicara.
Dino dan Landry meyakini Biden akan memenangi pemilu AS 2020. Sebab, menurut Landry, belum ada petahana menang di pilpres AS dalam seabad terakhir apabila tingkat penerimaan atas kinerjanya di bawah 45 persen. Dalam beberapa waktu terakhir, tingkat penerimaan pemilih pada kinerja Presiden AS Donald Trump bertahan di kisaran 40 persen.
Tingkat penerimaan terhadap kinerja Trump merosot, antara lain, karena pengangguran melonjak di tengah pandemi Covid-19. Belum pernah ada presiden AS bisa terpilih lagi jika pengangguran melebihi 7 persen seperti sekarang. ”Perlu mengantisipasi Biden terpilih,” ujar Dino.
Sejumlah jajak pendapat menunjukkan rentang keunggulan Biden di atas 10 persen. Selain itu, peluang keterpilihan Biden stabil di kisaran 50 persen. Berbeda dengan Hillary Clinton, calon presiden AS pada pemilu tahun 2016, yang peluangnya di kisaran 40 persen. Pada Pemilu 2016, Clinton memang selalu unggul dalam berbagai jajak pendapat. Walakin, hasil pemilu menunjukkan Trump menang.
Hubungan berbeda
Dino mengatakan, hubungan Indonesia-AS selama beberapa tahun terakhir berbeda. Sebab, Trump menyokong pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel ke Jerusalem dan menetapkan seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Padahal, Indonesia berpendapat Jerusalem harus dibagi antara Palestina dan Israel. Bagi Indonesia, isu Palestina amat sensitif. Selain itu, Trump juga dinilai tidak menganggap penting ASEAN, termasuk Indonesia. ”Siapa presidennya (di AS) amat penting,” kata Dino.
Hubungan AS-Indonesia bisa berbeda jika Biden memengani pemilu. Karena itu, penting untuk segera menjalin hubungan dengan tim Biden.
Tidak kalah penting untuk meningkatkan jumlah diplomat Indonesia yang berhubungan dengan Kongres AS. Kedutaan Besar RI di Washington hanya punya rata-rata dua diplomat untuk urusan itu. ”Taiwan punya 14, Jepang 7,” kata Dino yang pernah jadi Duta Besar RI untuk AS itu.
Landry mengatakan, kebijakan luar negeri AS tidak hanya dibentuk oleh presiden. Parlemen juga terlibat dan beberapa kali membuat kebijakan yang tidak menguntungkan Indonesia. Karena itu, penting bagi Indonesia untuk lebih meningkatkan hubungan dengan parlemen AS.
Tak berubah jauh
Landry dan Shafiah sepakat, Biden tidak akan berubah terlalu jauh dibandingkan dengan Trump apabila terkait perekonomian AS. Sebab, Biden mengindikasikan akan tetap mengutamakan peningkatan aktivitas perekonomian AS dibandingkan dengan mendorong aktivitas perekonomian yang bergantung pada rantai pasok internasional.
Biden mengindikasikan akan tetap bersikap keras kepada China terkait dugaan pencurian hak kekayaan intelektual dan pemasaran produk lebih murah di luar negeri (dumping). Selama ini, kedua isu juga menjadi fokus Trump.
AS, jika Biden menang, pun tidak serta-merta akan kembali ke kerangka Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Trump memutuskan AS keluar dari TPP yang dibentuk di masa pemerintahan Barack Obama itu. Landry dan Shafiah menilai AS di bawah Biden akan tetap mendorong forum-forum bilateral untuk sementara waktu.
Kontak pengusaha
Dino juga menekankan pentingnya menjalin hubungan dengan pebisnis AS. Meski Trump dan Biden mendorong pengusaha AS keluar dari China, sebagian pengusaha AS berpendapat berbeda. ”Setiap CEO punya pikiran sendiri,” ujarnya.
Siswo mengatakan, memang ada kecenderungan semakin banyak perusahaan AS mau pindah dari China ke Asia Tenggara. Pada 2018, sebanyak 18 persen pengusaha AS di China mau pindah ke Asia Tenggara. Pada 2019, jumlah peminatnya naik menjadi 25 persen. Mereka mau pindah bukan karena desakan Trump, melainkan karena mempertimbangkan tren penurunan ekspor China dan kenaikan upah buruh di sana. Asia Tenggara dilirik karena faktor pasar dan tenaga kerja.
Pertimbangan pasar membuat Indonesia unggul dibandingkan dengan negara mana pun di kawasan. Sebab, pengusaha ingin pabriknya sedekat mungkin dengan pasar. Hal itu konsekuensi dari perubahan tatanan global di tengah pandemi.
BPPK, lanjut Siswo, juga menemukan bahwa produk kulit, busana dan alas kaki, serta kayu Indonesia berdaya saing paling tinggi untuk masuk ke pasar AS. Di tengah persaingan AS-China, Washington cenderung berusaha mengalihkan sumber pasokannya ke negara lain. Pada tiga komoditas itu, Indonesia paling berpeluang besar dibandingkan negara lain. ”Bukan cuma Indonesia yang mengincar pasar AS,” kata Siswo.