Penutupan konsulat AS di Chengdu memperburuk hubungan AS-China. Selain memiliki nilai ekonomi yang cukup strategis, bagi AS, Chengdu sebelumnya menjadi pintu bagi AS untuk mengawasi kebijakan China atas Tibet.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
CHENGDU, MINGGU — Hubungan antara Amerika Serikat dan China semakin memburuk dalam dua pekan terakhir. Tindakan Pemerintah Amerika Serikat yang memerintahkan penutupan konsulat China di Houston, Texas, dengan tuduhan spionase dan pencurian hak atas kekayaan intelektual AS dibalas dengan perintah penutupan konsulat AS di Chengdu, Provinsi Sichuan, China.
Pemerintah China memberikan batas waktu kepada seluruh staf konsulat Amerika Serikat di Chengdu untuk angkat kaki hingga Senin (27/7/2020) pukul 10.00. Namun, Minggu (26/7/2020) petang, pengosongan kantor konsulat AS di kantor konsulat yang menjadi satu-satuya perwakilan negara adidaya itu di wilayah barat daya China.
Berbeda dengan penutupan konsulat China di Houston, yang diwarnai dengan aksi demonstrasi, penutupan konsulat AS di Chengdu menjadi tontonan warga setempat. Kantor konsulat yang sudah ditempati sejak tahun 1993 mendadak menjadi tempat wisata bagi warga setempat. Perasaan warga bercampur menyaksikan penutupan konsulat, ada yang mendukung tetapi ada juga yang berharap hubungan kedua negara membaik.
Yang, warga Chengdu berusia 63 tahun, mengatakan, tindakan yang diambil Beijing adalah balasan atas tindakan AS sebelumnya. Meski begitu, dia menyayangkan adanya penutupan konsulat yang dilakukan kedua negara.
Warga Chengdu lainnya, Jiang (29), mengatakan, tindakan penutupan itu sudah sepantasnya. ”Aku menyetujuinya. AS menutup konsulat kami. Aku pikir, kami harus menutup konsulat mereka juga,” katanya.
Zhang Chuan, seorang mahasiswa, menyatakan, dia mengkhawatirkan lanjutan dari aksi reaksi yang akan diambil kedua pemerintahan. ”Yang paling aku khawatirkan adalah Pemerintah AS tidak akan berhenti sampai di sini. Situasi akan terus memburuk,” katanya.
Seorang bapak mengajak anaknya untuk berfoto-foto di depan kantor konsulat, yang mendapat pengawalan ketat kepolisian. Bapak yang enggan disebut namanya ini berharap tindakan kedua pemerintahan tidak berujung pada perang. Dia berharap penutupan konsulat ini adalah tindakan terakhir kedua pemerintah di tengah penanganan pandemi Covid-19 yang masih terus memburuk di dunia.
Posisi strategis dan perbedaan pendekatan
Jeff Moon, mantan Konsul Jenderal AS di Chengdu 2003-2006, dikutip dari laman CNN, mengatakan, pemilihan penutupan Chengdu dibandingkan konsulat lainnya, seperti Wuhan, menunjukkan keinginan Beijing untuk terus meningkatkan konflik daripada menunda atau bahkan menghentikannya.
Chengdu, menurut Moon, memiliki arti yang strategis bagi Washington karena konsulat itu menjadi satu-satunya konsulat AS di wilayah barat China, sebuah tempat bagi operasi perusahaan-perusahaan besar AS yang membantu pengembangan besar-besaran kawasan barat China oleh pemerintahan Beijing.
Tidak hanya memiliki posisi yang cukup strategis dari sisi ekonomi, tetapi wilayah pengawasan konsulat yang luas hingga mencakup wilayah Tibet menjadi penting bagi politik dan kebijakan luar negeri AS. Jeff Green, analis China di Universitas Georgetown dan Natasha Kassam, analis China dari Lowy Institute, mengatakan, penutupan konsulat AS di Chengdu menarik perhatian karena kerja pengawasan kondisi internal China menjadi terganggu.
Kassam mengatakan, penutupan konsulat AS di Chengdu membuat para pejabat AS kehilangan kemampuan untuk memonitor situasi yang terjadi di wilayah barat China. Salah satunya adalah Tibet di mana AS mendukung kemerdekaan Tibet dari China.
Dalam sejarahnya, konsulat AS di Chengdu menjadi saksi sejarah peristiwa politik di China. Tahun 2012, gedung konsulat AS itu menjadi lokasi pelarian mantan kepala polisi Chongqing, Wang Lijun. Di gedung itu, dia mengungkapkan skandal politik yang melibatkan tokoh Partai Komunis China sekaligus Wali Kota Chongqing, Bo Xilai. Lijun ditangkap oleh aparat keamanan China dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Penutupan kantor konsuler AS di China juga memperlihatkan pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh Pemerintah AS. Bila empat dekade lalu Presiden AS Richard Nixon dan Henry Kissinger, menlu saat itu, berupaya untuk membuka keterisolasian China dari dunia luar serta membuka hubungan diplomatik, Presiden Donald Trump dan Mike Pompeo, menlu sekarang, bersikap lebih konfrontatif.
Pompeo secara terang-terangan menyerang Pemerintah China dengan sebutan yang ”keras” untuk sebuah pesan diplomatik, sebuah tiran baru, dengan kebijakan-kebijakannya selama beberapa bulan terakhir, khususnya terkait dengan China dan konflik di Laut China Selatan. Dia juga menilai China telah ”melukai” pemerintahan Barat yang dulu pernah membantunya dari keterpurukan ekonomi di era 1970-an.
”Ketika kita berhubungan dengan Partai Komunis China, saya kira kita harus melandasi kebijakan hubungan itu dengan ketidakpercayaan dan verifikasi,” kata Pompeo. Dengan fondasi itulah, nantinya hubungan kedua negara akan dijalankan.
Moon menilai, hal itu tidak akan mudah mengingat selama hampir 40 tahun terakhir China menjadi kolega AS di berbagai bidang, termasuk perdagangan. ”Tiga tahun terakhir kita (AS-China) merontokkan semua perangkat lunak yang bisa digunakan untuk mempererat kerja sama. Kini, dengan penutupan konsulat, perangkat kerasnya juga hilang,” kata Moon dikutip dari laman CNN.
Guy Saint-Jaques, mantan Duta Besar Kanada untuk China, dikutip dari laman CNN, menyatakan, tidak akan mudah bagi Washington untuk melepaskan diri dari China. Efek ekonomi dan geopolitik upaya decoupling itu, menurut dia, akan sangat masif.
China, menurut dia, adalah partner ekonomi besar bagi AS dengan nilai sekitar 600 miliar dolar AS, baik impor maupun ekspor. Pasar China menjadi pasar terbesar ketiga ekspor AS.
”Ketika Anda melakukan banyak kerja sama ekonomi, Anda harus berupaya menghindari masalah dan berupaya agar masalah itu tidak menjadi besar sehingga tidak bisa diselesaikan,” katanya.
Henry Farrell dan Abraham Newman sependapat dengan Saint-Jaques. Hubungan ekonomi yang sudah berjalan lebih dari empat dekade antara kedua negara dan kolega-koleganya telah menciptakan situasi ekonomi global yang kompleks dan rumit, saling ketergantungan satu sama lain. Banyak hal mendasar yang harus kembali dibangun oleh AS dan China bila mereka ingin memisahkan diri satu sama lain, terutama kalau konflik ini terus memburuk. ”Menciptakan rantai pasokan global yang baru yang bisa meminimalisasi risiko sistemik, tidak akan mudah,” tulis mereka di laman Foreign Affairs.
Keduanya menilai, di tengah semakin panasnya persaingan kedua negara, kedua pemerintahan juga harus bisa mengelola persaingan itu seperti ketika AS bersaing dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin, melalui melalui keahlian, manajemen risiko, dan upaya cermat untuk menjalin saling pengertian. (REUTERS)