Aktivis Perempuan Tolak Rencana Turki-Polandia Keluar dari ”Konvensi Istanbul”
Dua pemerintahan berhaluan populis, Turki dan Polandia, berencana keluar dari ”Konvensi Istanbul” 2011. Rencana ini mendapat penolakan keras dari aktivis perempuan. Konvensi itu untuk melindungi perempuan dari kekerasan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
ANKARA, SENIN — Perlindungan terhadap perempuan Turki dari kekerasan terancam setelah Pemerintah Turki berencana menarik diri dari konvensi Eropa bertajuk ”Konvensi Istanbul” tentang perlindungan terhadap perempuan. Kekhawatiran ini ditunjukkan dalam unjuk rasa puluhan perempuan yang turun ke jalan di sejumlah daerah di Turki. Aksi serupa terjadi di Polandia yang juga berencana menarik diri dari konvensi tersebut.
Puluhan perempuan yang tergabung dalam Platform Perempuan Ankara itu berkumpul di taman dengan penjagaan polisi yang ketat, Minggu (26/7/2020). ”Jika konvensi ini tidak ada, semua perempuan harus berjuang sendirian. Negara akan mengabaikan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka untuk melindungi perempuan,” kata Cansu Ertas dari Platform Perempuan Ankara.
Unjuk rasa ini juga bagian dari meluasnya kemarahan perempuan Turki akan banyaknya kasus pembunuhan terhadap perempuan, termasuk kasus pembunuhan mahasiswi, Pinar Gultekin, bulan ini.
Unjuk rasa ini berawal dari kabar yang menyebutkan Turki akan menarik diri dari Konvensi Istanbul yang telah diratifikasi Turki pada 2012. Konvensi ini merupakan instrumen pertama di dunia yang mencegah dan melawan kekerasan terhadap perempuan, mulai dari pemerkosaan dalam pernikahan hingga sunat perempuan.
Sinyal menarik diri
Wakil Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki, Numan Kurtulmus, awal bulan ini, menilai penandatanganan konvensi itu langkah yang keliru. Ia juga mengindikasikan Turki akan menarik diri dari konvensi tersebut.
Bagi para aktivis hak-hak perempuan, Turki memang telah meratifikasi konvensi itu dan membuat aturan perundang-undangan nomor 6284 untuk melindungi perempuan. Namun, aturan itu masih belum dilaksanakan dengan baik sehingga membuat perempuan tetap rentan terhadap kekerasan yang sering dilakukan oleh pasangan, suami, atau saudara mereka.
Pembunuhan mahasiswi Gultekin yang dilakukan oleh bekas pacarnya menjadi pembicaraan publik seantero Turki seiring dengan tuntutan perempuan untuk mendapat perlindungan yang lebih kuat dari pemerintah.
Kelompok pejuang hak perempuan ”We Will Stop Femicides Platform” menyebutkan, 146 perempuan dibunuh oleh laki-laki pada pertengahan pertama 2020. Pada tahun lalu, 474 perempuan tewas dibunuh. Sementara pada 2018 terdapat 440 perempuan tewas terbunuh.
Langkah Polandia
Aksi protes di Turki ini terjadi setelah, pada akhir pekan lalu, pernyataan dari Polandia juga menegaskan akan mempersiapkan proses penarikan diri dari konvensi itu, Senin. Kubu sayap kanan di kabinet menilai konvensi tersebut justru melanggar hak orang tua karena konvensi itu meminta sekolah-sekolah mengajarkan anak tentang jender.
Menteri Kehakiman Polandia Zbigniew Ziobro, Sabtu lalu, menilai konvensi itu bermuatan unsur-unsur ideologis yang akan merusak masyarakat. Partai Hukum dan Keadilan, partai berkuasa di Polandia, bersama koalisinya bersatu dengan Gereja Katolik dan mengampanyekan agenda sosial konservatif. Menentang hak-hak komunitas homoseksual merupakan salah satu masalah utama yang dikampanyekan Presiden Turki Andrzej Duda pada pemilu bulan ini.
Ribuan orang, mayoritas perempuan, Jumat lalu, berunjuk rasa di Warsawa dan kota-kota lain di Polandia untuk menentang rencana penarikan diri dari konvensi tersebut. ”Tujuannya (penarikan diri dari konvensi itu adalah) untuk melegalisasi kekerasan dalam rumah tangga,” kata Marta Lempart, salah seorang anggota kelompok perempuan Polandia.
Pemerintahan liberal Polandia meratifikasi konvensi itu pada 2015. Namun, pemerintah yang baru kini menilai konvensi itu justru tidak menghormati agama dan mengajarkan kebijakan-kebijakan sosial yang liberal di sekolah. Selain itu, pemerintah juga menilai konvensi itu bertentangan dengan konstitusi Polandia dan tradisi keluarga Katolik Roma.
Kekerasan meningkat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kekerasan domestik atau rumah tangga meningkat di Eropa pada tahun ini, terutama pada masa pemberlakuan kebijakan karantina untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Konvensi Dewan Eropa tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga itu didasarkan pada pemikiran bahwa perempuan menjadi sasaran kekerasan hanya karena mereka perempuan. Komvensi itu memastikan laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan mewajibkan otoritas negara untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, melindungi para korban, dan menuntut para pelaku kekerasan.
Salah satu ketentuan yang dipertanyakan oleh Polandia adalah ”budaya, adat, agama, tradisi, atau yang disebut sebagai ’kehormatan’, tidak dapat membenarkan kekerasan”. (REUTERS/AFP)