Semangat Perlawanan di Thailand Belum Padam, PM Prayuth Dituntut Mundur
Banyak pengkritik pemerintah Thailand menilai, pemerintahan Prayuth saat ini menyalahgunakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai keinginan mereka sendiri dan untuk membungkam suara rakyat.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BANGKOK, JUMAT — Untuk menjaga api semangat perlawanan terhadap pemerintah, para aktivis pro-demokrasi di Thailand berunjuk rasa di luar kantor Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dan pangkalan militer di Bangkok. Beberapa aksi unjuk rasa terjadi di Bangkok dan kota-kota lain untuk menjaga momentum demonstrasi anti-pemerintah. Unjuk rasa lanjutan direncanakan akan kembali digelar, Sabtu besok.
Demonstrasi tersebut diperkirakan akan sebesar unjuk rasa yang berlangsung pekan lalu di Bangkok dengan diikuti sekitar 2.000 aktivis. Berbagai media di Thailand menyebutkan, kepolisian tengah mempertimbangkan akan menuntut penyelenggara aksi protes, Sabtu lalu, dengan kasus pelanggaran status darurat.
Unjuk rasa gerakan anti-pemerintah kembali bergelora setelah terpaksa ditunda sementara karena alasan pandemi Covid-19. Pemberlakuan status darurat oleh pemerintah pun membatasi ruang gerak mereka.
Tuntutan para aktivis tetap sama, yakni menuntut konstitusi baru dan penghapusan undang-undang yang represif. Salah satu kelompok perwakilan mahasiswa bernama ”Jaringan Kehidupan Baru” mengkritik ketidakmampuan pemerintah mengelola perekonomian dengan baik semasa pandemi.
Salah satu anggota kelompok siswa itu, Pumiwat Rangkasiwit, menuntut PM Prayuth mundur jika tak mampu menangani situasi ini. Pumiwat juga mengaku akan mogok makan demi tuntutan reformasi. Sejak tahun 1990-an, mogok makan seperti itu sering dilakukan aktivis-aktivis gerakan pro-demokrasi di Thailand.
”Kalau pemerintah tidak mau ada gejolak seperti sekarang dan tidak mau ada aksi protes di jalanan, bubarkan saja parlemen dan biarkan rakyat yang membuat keputusan lagi,” kata Parit Chiwarak, aktivis mahasiswa dari Thammasat University, Bangkok.
Suara rakyat
PM Prayuth, yang semula panglima militer, mulai berkuasa pada 2014 setelah melancarkan kudeta tak berdarah. Ia lalu menjadi PM lagi tahun lalu setelah partai pro-militer membentuk pemerintahan koalisi pascapemilu. Banyak pengkritik pemerintah menilai pemerintahan Prayuth menyalahgunakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan untuk membungkam suara rakyat.
Rezim militer Prayuth mengesahkan UU yang memberikan sekutu-sekutunya keuntungan pada pemilu tahun lalu. Pada Februari lalu, pengadilan juga memerintahkan pembubaran partai politik oposisi yang populer setelah kampanye kebijakan pro-demokrasi mendapatkan dukungan dari generasi muda Thailand. Peristiwa itu yang kemudian memicu gelora semangat protes mahasiswa.
Posisi militer diistimewakan dalam politik Thailand terutama karena kemampuannya selama ini untuk melakukan kudeta. Militer kemudian mengklaim menjadi pelindung konstitusi monarki yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa digugat.
Perpanjang status darurat
Pemerintah Thailand, Rabu, memutuskan akan memperpanjang status darurat sampai akhir Agustus mendatang. Alasannya, untuk mencegah penyebaran wabah korona. Padahal, sudah hampir dua bulan tidak ada kasus penularan lokal. Banyak warga mulai mempertanyakan urgensi status darurat. Status darurat pertama diberlakukan akhir Maret lalu. Adapun status darurat yang baru ini nanti masih harus disetujui oleh kabinet, pekan depan.
”Status darurat masih dibutuhkan karena kita mulai membuka diri untuk sektor pariwisata dan pertemuan bisnis demi memulihkan perekonomian. Lagipula ini juga atas permintaan para dokter,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Somsak Roongsita.
Perpanjangan status darurat itu dilakukan setelah ada aksi protes melawan pemerintah. Namun, Somsak menegaskan status darurat itu hanya akan digunakan untuk kepentingan pandemi dan bukan aksi protes.
Thailand akan memperbolehkan pebisnis, pekerja migran, pembuat film, dan wisatawan medis untuk masuk Thailand. Juru bicara Pusat Administrasi Situasi Covid-19, Taweesin Wisanuyothin, mengatakan hingga 110.000 pekerja migran dari Laos, Myanmar, dan Kamboja secara bertahap akan diperbolehkan masuk dan akan menjalani tes terlebih dahulu.
Khusus untuk pekerja film dan pebisnis harus memiliki sertifikat bebas virus, tiga hari sebelum bepergian dan memiliki asuransi kesehatan. Sementara wisatawan medis harus tinggal di rumah sakit selama dua pekan sebelum bepergian ke tempat lain di Thailand. Semua warga asing harus menjalani karantina selama 14 hari. (AP)