Asia Tenggara Pikul Dampak Terberat akibat Konflik AS-China
Ketegangan AS-China terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Negara-negara di Asia Tenggara harus mewaspadai hal itu. Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan paling terdampak akibat konflik tersebut.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perseteruan Amerika Serikat dengan China membuat Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak. Pembangunan Asia Tenggara bisa terganggu gara-gara perseteruan dua negara besar itu.
”Waktu Perang Dingin, lapangannya di Eropa. Sekarang, halaman belakang (perseteruan AS-China) di Asia Tenggara,” kata Shafiah Muhibat, Kepala Departemen Hubungan Internasional pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kamis (23/7/2020), di Jakarta.
Nur Rachmat Yuliantoro dari Universitas Gadjah Mada (UGM) berpendapat senada. ”Dalam konteks regional, Asia Tenggara akan menyaksikan bagaimana ekonomi dan keamanan kawasan, ataupun masing-masing negara di dalamnya, telah terdampak oleh perang dagang AS dengan China,” kata Kepala Departemen Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, itu.
Waktu Perang Dingin, lapangannya di Eropa. Sekarang, halaman belakang (perseteruan AS-China) di Asia Tenggara.
Ketegangan AS-China terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan terbarunya adalah Washington secara mendadak meminta Beijing menutup Konsulat Jenderal China di Houston, AS. Beijing diberi waktu tiga hari untuk menutup konsulat pertama China yang dibuka di AS selepas normalisasi hubungan AS-China itu.
Selain peran sejarahnya, konsulat itu penting karena menjadi penghubung utama China dengan eksportir-eksportir minyak AS yang berpusat di Texas. Washington menuding Konsulat China di Beijing menjadi pusat kegiatan mata-mata Beijing pada fasilitas penting AS, seperti fasilitas antariksa, kajian teknologi perminyakan dan gas bumi, serta pusat pendidikan dan penelitian militer di pesisir selatan.
Shafiah mengatakan, negara-negara Asia Tenggara dan kawasan lain membutuhkan stabilitas dan perdamaian agar bisa menggerakkan perekonomiannya. Ketegangan Beijing-Washington tidak menawarkan stabilitas dan perdamaian yang dibutuhkan kawasan.
Di kawasan, perseteruan AS-China antara lain berbuah militerisasi Asia Tenggara dan khususnya ketegangan di Laut China Selatan. AS dan sekutunya bersaing dengan China dalam menempatkan kapal perang dan jet tempur mereka di Laut China Selatan.
Gejala militerisasi kawasan juga mulai terlihat dengan persetujuan AS menjual produk persenjataan ke Asia Tenggara. ”Sepanjang (penjualan senjata ke Asia Tenggara) itu dipersepsikan AS bisa memperlemah China,” kata Teuku Rezasyah, pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Padjadjaran di Bandung.
Dampak ekonomi
Shafiah mengatakan, perseteruan Beijing-Washington telah menunjukkan gejala terus melebar ke berbagai sektor dan belum diketahui kelanjutannya. Persaingan AS-China telah berdampak signifikan pada multilateralisme. ”Negara-negara seperti Indonesia mengandalkan multilateralisme untuk mencapai kepentingannya,” ujarnya.
Multilateralisme memungkinkan negara-negara kekuatan menengah, seperti Indonesia, bisa berhadapan dengan negara-negara besar. Di sisi lain, AS-China cenderung mendorong pendekatan bilateral. Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump, AS semakin menunjukkan kecenderungan menjauhi multilateralisme dengan cara keluar dari sejumlah lembaga internasional.
Namun, perlu diingat, AS-China adalah mitra ekonomi penting bagi kawasan. Beijing-Washington termasuk dalam tujuan ekspor dan asal investasi utama Asia Tenggara. Rantai produksi Asia Tenggara juga bergantung pada banyak izin atas aneka hak paten AS dan bahan baku atau produk setengah jadi yang diimpor dari China.
AS dan Eropa sekalipun juga mengakui dominasi China sebagai sumber utama aneka bahan baku dan produk setengah jadi dalam aneka proses produksi. ”Asia Tenggara akan bermain aman,” kata Nur.
Meski akan terus melebar, Rezasyah dan Shafiah sepakat bahwa perseteruan AS-China tidak akan mengarah menjadi konflik senjata. Beijing-Washington masih menunjukkan gejala menghindari konflik militer meski sama-sama terus saling mengerahkan aset-aset perangnya di berbagai kawasan. ”Konflik masih akan terjadi dalam bentuk lain, seperti sanksi-sanksi ekonomi,” kata Shafiah.
Rezasyah menilai Beijing masih terus berusaha menahan diri dan tidak terprovokasi oleh AS. ”Beijing paham (pengerahan) angkatan perang AS dan sekutunya hanya simbolis,” ujarnya.
Nur dan Rezasyah sepakat, Trump salah satu faktor pemicu ketegangan AS-China beberapa waktu terakhir. ”China sadar jika ketegangan dengan AS saat ini situasional sifatnya dan akan berhenti menjelang Pilpres di AS bulan November tahun 2020,” kata Rezasyah.
Namun, Nur dan Shafiah sama-sama tidak yakin Trump memanfaatkan isu perseteruan AS-China untuk menaikkan peluang keterpilihannya di pemilu mendatang. Shafiah menyebut, amat jarang isu luar negeri bisa membawa dampak kepada pemilih. Di banyak negara, para pemilih lebih fokus pada isu-isu domestik, seperti kinerja ekonomi.
Beijing paham (pengerahan) angkatan perang AS dan sekutunya hanya simbolis.
”Trump telah menggunakan isu virus korona untuk menuduh China. Ini krisis keamanan dalam bentuk yang lain. Akan tetapi, situasi telah berbalik tidak menguntungkan dia saat China cukup berhasil mengendalikan virus, sementara AS semakin gawat,” tutur Nur.