Suu Kyi dan Presiden Win Myint Maju di Bawah Bayangan Militer
Pemimpin de facto Myamar, Aung San Suu Kyi, dipastikan akan ikut dalam pemilu pada November 2020. Pengaruh militer yang di bawah konstitusi negara telah membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan reformasi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NAYPYIDAW, RABU — Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint akan maju dalam pemilu pada 8 November 2020. Zaw Myint Maung, juru bicara Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai Suu Kyi, mengumumkan hal itu setelah pertemuan Komite Eksekutif Pusat NLD, Selasa (21/7/2020).
Menurut Mau, Suu Kyi akan mengumumkan detail rencananya itu pada hari ini, Rabu (22/7/2020). Berdasarkan klausul konstitusi Myanmar yang diberlakukan pemerintahan militer sebelumnya, Suu Kyi dilarang menjadi presiden.
Posisi penasihat negara yang dijabat Suu Kyi sekarang dibuat partainya sebagai jalan keluar sehingga ia memiliki kekuasaan eksekutif. Dia juga memegang jabatan Menteri Luar Negeri. Suu Kyi adalah pemimpin de facto Myanmar.
Suu Kyi membawa partainya meraih kemenangan besar pada Pemilu 2015. Kemenangan itu mengakhiri pemerintahan junta militer yang telah berlangsung lebih dari lima dekade dan puncak dari dari 25 tahun aktivisme demokrasi tanpa kekerasan oleh Suu Kyi. Pada 1991, ia mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Kegagalan Su Kyi mengakhiri kekerasan militer terhadap minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine saat ia berkuasa memicu kecaman dari banyak mantan penggemarnya di seluruh dunia. Pengaruh militer masih membayangi sepak terjang politik Suu Kyi, termasuk menuju Pemilu 2020.
Akibat kekerasan di Rakhine, sekitar 740.000 hingga 1 juta warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Nasib mereka hingga sekarang tetap tidak menentu. Pengadilan Internasional di Belanda juga telah menerima kasus genosida yang diajukan terhadap Myanmar.
Suu Kyi, sejauh ini, tetap menjadi politisi yang paling popular di Myanmar. Prasangka terhadap Rohingya menyebar luas di Myanmar.
Pengaruh militer yang berkelanjutan di bawah konstitusi Myanmar telah membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan reformasi besar. Konstitusi memberikan angkatan bersenjata seperempat dari kursi majelis rendah dan majelis tinggi di parlemen nasional. Ini memungkinkan mereka memveto setiap perubahan konstitusi.
Pada Maret 2020 lalu, misalnya, parlemen memveto usulan partainya Suu Kyi untuk melakukan amandemen konstitusi yang bertujuan mengurangi peran militer dalam politik secara bertahap selama 15 tahun dan mengapus bagian yang menyebut bahwa panglima pertahanan sebagai ”panglima tertinggi untuk semua angkatan bersenjata”.
Anggota parlemen juga menolak penghapusan kata ”disiplin” dari definisi sistem politik Myanmar, yang ”murni, sistem demokratis multipartai yang disiplin”. Namun, mereka menyetujui perubahan konstitusi yang memungkinkan pegawai negeri menjadi anggota partai politik.
Komisi Pemilihan Umum Myanmar awal Juli ini mengumumkan bahwa pemilu nasional, regional, dan negara bagian akan digelar pada 8 November 2020. Ada lebih dari 37 juta warga yang terdaftar sebagai pemilih tetap dan 97 partai peserta pemilu akan memperebutkan 1.171 kursi di parlemen nasional, negara bagian, dan regional.
Aliansi taktis partai Suu Kyi yang dibuat menjelang Pemilu 2015 sepertinya tidak bisa lagi diterapkan dalam pemilu tahun ini. Kegagalan pemerintahan Suu Kyi menjalankan rencana untuk memberikan otonomi kepada kelompok etnis minoritas membuat mereka terkucil secara politik.
Partai-partai politik kemungkinan akan mengoptimalkan mesin partainya masing-masing daripada berkoalisi dengan Suu Kyi. (AP/REUTERS)