Perang Kata-kata dan Adu Retorika AS Vs China Panaskan Medsos di Asia Tenggara
Asia Tenggara sebagai tempat adu opini sekaligus gelanggang "pertempuran" antara AS dan China. "Pertempuran" itu akan menjadi pertarungan yang panjang.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Ketegangan terbaru antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan tergambar dan ”meletus” dalam perang kata-kata di media sosial. Adu kuat-kuatan opini itu diperkirakan akan berlangsung lama dan dilihat sebagai perubahan dalam strategi Amerika Serikat di tengah-tengah meningkatnya persaingan dua negara adidaya itu di kawasan Asia Tenggara.
Washington pekan lalu menegaskan posisinya dengan secara eksplisit menolak klaim maritim China di Laut China Selatan (LCS). Tidak berhenti di situ, otoritas kedutaan besar AS di wilayah tersebut pun bergerak simultan. Pernyataan dan berbagai opini yang mengkritik tindakan-tindakan Beijing dilontarkan melalui media sosial (medsos).
Beijing langsung menanggapinya. Lewat tanggapan berapi-api, China menuduh Washington telah ”mencemarkan nama baik China dengan kata-kata yang tidak benar sehingga menyesatkan publik” di wilayah tersebut.
”Kami sekarang menjadi medan pertempuran (AS-China),” ujar Renato de Castro, analis di Institut Albert Del Rosario untuk Hubungan Strategis dan Internasional di Filipina. Ia menggambarkan Asia Tenggara sebagai tempat adu opini sekaligus gelanggang ”pertempuran” AS dan China. ”Hal itu akan menjadi pertarungan yang panjang.”
Sepekan lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo secara terang-terangan menyebut klaim Beijing terhadap sekitar 90 persen dari wilayah LCS adalah sebuah tindakan melanggar hukum. Ia menuduh Beijing berambisi membangun atau mewujudkan kerajaan maritim lewat langkah dan tindakannya di LCS.
Kedutaan-kedutaan besar AS di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Kamboja menindaklanjuti dengan unggahan komentar di Facebook dan media-media lokal. Washington mengatakan bahwa tindakan Beijing itu cenderung mirip dengan pola untuk memengaruhi kedaulatan negara lain.
Saling tuduh
Kantor Kedutaan Besar AS untuk Thailand, misalnya, menuduh bendungan China sengaja menahan air dari Sungai Mekong di wilayah itu selama musim kemarau lalu. Sementara Kedubes AS di Yangon menarik garis paralel antara LCS dan cara-cara yang dinilai digunakan China untuk ikut campur di Myanmar. AS menyebutkan investasi China bisa menjadi perangkap utang, mengungkap praktik-praktik perdagangan perempuan ke China sebagai pengantin, dan masuknya obat-obatan ke negara itu.
Dalam serangan balik cepat, Kedubes China untuk Thailand menuduh Washington ”berusaha menabur perselisihan antara China dan negara-negara pesisir lainnya”. Dalam sebuah unggahan di Facebook, China dua kali menyebut AS ”kotor”. Masih melalui media sosial yang sama, Kedubes China di Myanmar juga mengatakan bahwa agen-agen AS di luar negeri melakukan ”hal-hal yang menjijikkan” untuk menahan China. China juga menuduh AS dan menunjukkan wajah ”mementingkan diri sendiri, munafik, menghina, dan jelek”.
Pernyataan itu pun sontak menarik ribuan komentar para pengguna medsos di negara-negara itu. Perebutan pengaruh melalui opini itu terus berkecamuk. Banyak di antara pengguna medsos yang menyerang posisi China. Namun, tidak sedikit yang mempertanyakan motif kedua negara.
”Terima kasih AS telah melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum,” demikian komentar Chelley Ocampo, pengguna medsos, dalam kolom komentar sebuah unggahan di akun Facebook Kedubes AS di Filipina. Sementara salah satu pengguna Facebook di Malaysia berkomentar dengan pesan mengusir perwakilan AS di negara itu dalam kolom komentar akun Kedubes AS di negara itu. ”Apakah Anda mengatakan, Anda setuju dengan taktik intimidasi Pemerintah China di LCS?” balas pihak Kedubes AS melalui kanal yang sama.
Wang Wenbin, juru bicara Kemenlu China, mengatakan pada sebuah konferensi pers di Beijing bahwa AS adalah pihak yang pertama menerbitkan komentar menyerang dan mengecam keras China. Para diplomat China pun mengeluarkan klarifikasi dan bantahan sebagai tanggapan. Di sisi lain, sejauh ini tidak ada komentar atau tanggapan dari Kemenlu AS atas hal itu.
Strategi diplomasi
Para analis menilai perang kata-kata menandai taktik baru yang diusung dalam diplomasi AS di Asia Tenggara. Lewat strategi itu, Washington ingin mendekatkan dinamika LCS dengan apa yang mungkin saja dirasakan masyarakat setempat. Tujuannya adalah menggambarkan Beijing sebagai ancaman nyata atas kedaulatan negara-negara di Asia Tenggara. Hal itu dikatakan Sebastian Strangio, penulis buku tentang pengaruh China di tingkat regional yang akan segera diterbitkan.
Dari sisi China, menurut Strangio, Beijing tetap konsisten dengan strateginya, yakni menunjukkan dan memperkuat sentimen nasionalisme China. Hal itu tergambar dalam tanggapan para diplomat maupun pernyataan-pernyataan resmi Beijing dalam hal-hal yang dituduhkan oleh pihak lain, termasuk mengenai polemik terkait asal virus korona tipe baru penyebab Covid-19 dan penanganan pandemi di China.
Ketegangan di LCS semakin meningkat baru-baru ini. Angkatan Laut AS maupun China mengadakan latihan simultan di LCS. Kawasan perairan itu diklaim China di atas wilayah sejumlah negara, termasuk Filipina dan Vietnam, berdasarkan sejarah. Dinamika itu diperkirakan akan terus berlanjut.
”China tidak mampu membiarkan AS untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar dalam mengubah opini di kawasan,” kata Collin Koh Swee Lean, peneliti pada Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
”Setidaknya beberapa pemerintah Asia Tenggara mungkin secara diam-diam, jika tidak secara terbuka, menyambut pernyataan Pompeo terbaru dan, dengan demikian, mungkin berani untuk menentang gerakan (China) di perairan yang disengketakan.” (REUTERS)