Ditinggalkan Lima Menteri, Prayuth Bakal Rombak Kabinet
Pengunduran diri lima menteri di Thailand terjadi hanya dalam kurun waktu lima hari. Kondisi itu membuat Prayuth mulai bersiap menata lagi kabinetnya di tengah menguatnya oposisi publik.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BANGKOK, SENIN — Pemerintahan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha telah kehilangan empat menteri. Pemimpin Partai Chart Pattana, Tewan Liptapanlop, menteri di kantor Prayuth, pun dipastikan bakal menjadi menteri kelima karena resmi meninggalkan kabinet, Selasa (21/7/2020).
Pengunduran diri lima menteri itu terjadi hanya dalam kurun waktu lima hari. Kondisi tersebut membuat Prayuth mulai bersiap menata lagi kabinetnya di tengah menguatnya oposisi publik Thailand.
Ketua Komite Penasihat Partai Chart Pattana, Suwat Liptapanlop, menjelaskan, pengunduran diri Tewan merupakan bentuk pengorbanan partai agar Thailand bisa melesat maju. ”Tidak ada konflik dan ini tak akan memengaruhi stabilitas pemerintah karena Chart Pattana tetap bertahan di koalisi,” kata Suwat, seperti dilaporkan Bangkok Post, Senin.
Sebagai anggota koalisi, Chart Pattana mempunyai kuota satu posisi menteri. Tewan mengaku tidak dipaksa mundur. Ia menyusul pengunduran diri Somkid Jatusripital (dari posisi Wakil PM), Uttama Savanayana (Menteri Keuangan), Sontirat Sontijirawong (Menteri Energi), dan Suvit Maesincee (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, Riset, dan Inovasi).
Juru bicara Chart Pattana, Yaowapa Boorapolchai, menjelaskan, kepemimpinan partai memutuskan Tewan akan meninggalkan posisinya demi membuka jalan rencana perombakan kabinet. Chart Pattana merupakan salah satu partai dari 20 partai koalisi pemerintahan Prayuth.
Kontraksi ekonomi
Pengunduran diri kelima menteri itu terjadi saat pemerintah menghadapi proyeksi kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Selain itu, sebelum lima menteri mundur, partai berkuasa, Palang Pracharath, juga mengubah kepemimpinan internal untuk memperkuat kelompok militer dan sekutu-sekutunya dengan mengorbankan eksekutif partai.
Palang Pracharath selama ini dianggap sebagai perwakilan para pemimpin pemerintahan militer yang berkuasa pada 2014-2019 setelah menggulingkan pemerintah melalui kudeta.
Pada waktu itu, Prayuth memimpin kudeta dan menjabat sebagai PM dalam rezim militer. Prayuth kembali menjadi PM setelah Pemilu 2019 dan memimpin pemerintahan koalisi.
Terkait dengan rencana perombakan kabinet, Prayuth pernah mengatakan akan dilakukan bulan depan atau selambatnya September. ”Kami harus merombak kabinet agar tidak ada kesenjangan. Itu harus dilakukan sesegera mungkin,” ujarnya.
Pariwisata berantakan
Para menteri yang mengundurkan diri menimbulkan pertanyaan besar karena terjadi tepat ketika Thailand, seperti negara lain di dunia, tengah berusaha memulihkan perekonomian. Seperti Menkeu Uttama Savanayana yang mundur saat pemerintah menggelontorkan bantuan miliaran dollar AS untuk mendukung sektor pariwisata yang berantakan gara-gara pandemi.
”Ini saat yang tepat untuk mundur. Ini keputusan saya sendiri dan tanpa paksaan dari siapa pun. Ini saya lakukan untuk mengurangi tekanan politik yang bisa saja ditujukan pada pemerintahan PM Prayuth,” kata Uttama yang untuk sementara posisinya digantikan oleh Wakil Menkeu Santi Promphat.
Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional di Badan Perencanaan Ekonomi Thailand memproyeksikan pada tahun ini akan terjadi 5 persen kontraksi perekonomian. Badan itu juga memperkirakan akan ada lebih dari 8 juta warga yang kehilangan pekerjaan karena mayoritas bergelut di sektor pariwisata.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah sudah menganggarkan bantuan hampir 60 miliar dollar AS untuk mendorong konsumsi domestik. Harapannya, bantuan itu akan bisa menggantikan kerugian akibat minimnya ekspor dan kunjungan wisatawan.
Bubarkan parlemen
Tekanan politik terhadap pemerintahan Prayuth semakin keras dengan ribuan warga, mayoritas pelajar dan mahasiswa, yang berunjuk rasa menuntut PM mundur, pembubaran parlemen, dan amendemen konstitusi. Protes terhadap Prayuth menguat dalam beberapa bulan terakhir. Para pengunjuk rasa menuntut pemerintahan yang demokratis.
Padahal, di Thailand, rakyat tidak boleh menggugat atau mempertanyakan monarki. Contohnya, menghina raja bisa dihukum hingga 15 tahun penjara.
Keberadaan Raja Vajiralongkorn pun dipertanyakan karena lebih sering berada di Jerman. Pada bulan lalu, Prayuth memperingatkan aktivis politik untuk tidak mempertaruhkan masa depannya dengan mengkritik monarki.