Persaingan Pemilu Turki Tahun 2023 Dimulai dari Hagia Sophia
Pemilu presiden dan parlemen Turki baru akan digelar tiga tahun lagi. Menyadari partainya dalam posisi terlemah saat ini, Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukan manuver mengantisipasi persaingan itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Sikap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang segera mendukung dan mengesahkan keputusan pengadilan Turki, Jumat (10/7/2020), untuk mengubah status salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO, Hagia Sophia, dari museum menjadi masjid, terus menjadi polemik di kancah internasional ataupun domestik Turki. Keputusan pengadilan Turki itu otomatis menganulir keputusan Presiden pertama Turki modern Mustafa Kemal Ataturk, tahun 1934, yang mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum.
Hagia Sophia mulai dibangun pada tahun 537 M saat era dinasti Bizantium sebagai Gereja Katedral Katolik Timur (Ortodoks). Bangunan itu kemudian dijadikan masjid setelah Turki menaklukkan Konstantinopel pada 1453 M. Kemudian, Kemal Ataturk mengubah status Hagia Sophia dari masjid ke museum pada tahun 1934. Erdogan mengubah status bangunan bersejarah itu dari museum kembali menjadi masjid pada 10 Juli lalu.
Perspektif internasional dan domestik Turki tampak berbeda dalam memberi respons atas perubahan status Hagia Sophia tersebut. Perspektif internasional atas isu tersebut lebih banyak menitikberatkan nilai historis Hagia Sophia. Namun, perspektif domestik Turki lebih mengaitkan perubahan status Hagia Sophia itu sebagai bagian utama dari pertarungan politik untuk perebutan suara menuju pemilu presiden dan pemilu parlemen tahun 2023.
Manuver Erdogan
Perspektif domestik Turki itu muncul setelah disadari adanya manuver politik yang cerdik dari Erdogan yang kini menjadi pendukung kuat perubahan status Hagia Sophia. Padahal, pada tahun 2013 Erdogan masih menolak keras wacana perubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Perubahan sikap Erdogan tersebut diinterpretasikan oleh kubu oposisi sebagai upaya meraih simpati massa Islam konservatif untuk menghadapi pemilu 2023. Seperti diketahui, berkisar 60 hingga 70 persen massa Islam konservatif yang berbasis di pedesaan merupakan pemilih terbesar di Turki. Merekalah yang selalu memenangkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan sejak pemilu 2002 hingga pemilu 2018.
Posisi politik Erdogan serta AKP sudah bisa disebut dalam posisi terlemah saat ini. Posisi ini sudah disadari betul oleh Erdogan dan para elite AKP. Mereka mulai memiliki persepsi bahwa tanpa upaya khusus, tidak ada jaminan bagi Erdogan maupun AKP bisa menang kembali pada pemilu 2023.
Kecemasan terbesar Erdogan dan para elite AKP dalam menghadapi pemilu 2023 adalah keterpecahan di dalam tubuh AKP akhir-akhir ini. Keterpecahan tersebut telah melahirkan dua partai baru di Turki, yaitu Partai Masa Depan (Gelecek Partisi) yang didirikan dan dipimpin oleh Ahmet Davutoglu serta Partai Kemajuan dan Demokrasi (DEVA) yang didirikan Ali Babacan.
Davutoglu dan Babacan adalah mantan elite AKP. Davutoglu pernah menjabat menteri luar negeri (menlu) periode 2009-2014 dan perdana menteri (PM) periode 2014-2016 dalam pemerintahan AKP. Ia dikenal sebagai arsitek kebijakan luar negeri pemerintahan AKP. Adapun Babacan adalah menteri keuangan periode 2002-2007. Ia dikenal sebagai arsitek kemajuan perekonomian Turki pada awal pemerintahan AKP.
Tentu saja DEVA, Gelecek Partisi, dan AKP memiliki basis massa yang sama karena partai-partai itu dibangun oleh tokoh-tokoh yang berasal dari basis massa dengan latar belakang kultur dan ideologi yang sama pula. Karena itu, besar kemungkinan dalam pemilu 2023 perolehan suara AKP akan tergerus karena harus berbagi perolehan suara dengan DEVA dan Gelecek Partisi.
Pada pemilu parlemen bulan Juni 2018, perolehan suara AKP sudah mengalami penurunan, yakni hanya mendapat 295 kursi atau 42,56 persen berbanding 317 kursi atau 49,50 persen yang diraih AKP pada pemilu parlemen, November 2015. Kemerosotan perolehan suara AKP pada pemilu 2018 diasumsikan lantaran terpuruknya perekonomian Turki saat itu, yang ditandai oleh tergerusnya nilai mata uang lira hingga 20 persen. Saat itu, 1 dollar AS setara dengan 4,6 atau 4,7 lira.
Saat ini, perekonomian Turki semakin terpuruk akibat pandemi Covid-19. Nilai tukar 1 dollar AS setara dengan 6,86 lira. Bahkan, pada bulan Maret dan April lalu nilai tular 1 dollar AS sempat menyentuh 7 lira. Para pengamat ekonomi Turki saat itu sempat meramalkan, nilai tukar 1 dollar AS bisa mencapai 8 lira. Aksi Qatar bergegas menyelamatkan ekonomi Turki dengan memberi pinjaman dana segar 10 miliar dollar AS ke bank sentral Turki, mengantarkan nilai lira langsung menguat menjadi 1 dollar AS setara dengan 6,86 lira.
Selain Covid-19 yang memukul ekonomi Turki itu, kini ditambah lagi kehadiran dua partai politik baru yang lahir dari rahim AKP, yaitu DEVA dan Gelecek Partisi. Ditambah pula, posisi partai oposisi utama, Partai Rakyat Republik (CHP), yang semakin moncer dengan ditandai berhasil memenangi pilkada bulan Maret 2019 di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, dan Adana.
Generasi milenial
Faktor tambahan lagi adalah generasi milenial Turki akan menjadi pemilih pertama kali pada pemilu 2023. Generasi milenial di negara itu dikenal sangat rasional dan sangat sensitif terhadap isu ekonomi. Mereka berada dalam usia produktif dan butuh pekerjaan. Di tengah keterpurukan ekonomi Turki saat ini bisa jadi pilihan generasi milenial Turki bukan pada AKP, tetapi CHP atau DEVA atau Gelecek Partisi.
Sejumlah pengamat politik Turki meramalkan, perolehan suara AKP pada pemilu 2023 paling tinggi sekitar 30 persen hingga 35 persen. Artinya, jika prediksi itu menjadi kenyataan, AKP harus berkoalisi dengan oposisi untuk membentuk pemerintahan. Dan jika hal itu terjadi, pemilu 2023 akan menjadi awal hilangnya kekuasaan mutlak bagi AKP yang mereka cengkeram sejak pemilu parlemen 2002.
Erdogan dan para elite AKP kini tentu sudah memiliki kalkulasi kemungkinan terburuk pada pemilu 2023 dengan adanya perubahan konfigurasi peta politik di Turki melalui kehadiran DEVA dan Gelecek Partisi, semakin kuatnya CHP, dan kehadiran pemilih baru dari generasi milenial. Sebaliknya, kubu oposisi yang kini berintikan dari DEVA, Gelecek Partisi, dan CHP, memiliki kalkulasi pula menghadapi pemilu 2023. Jika tiga partai oposisi tersebut bersatu dengan membangun koalisi, tidak mustahil mereka bisa menang atas AKP.
Tentu saja kini Erdogan dan para elite AKP butuh kebijakan populis untuk menghadapi pemilu 2023. Isu Hagia Sophia menjadi pilihan yang tepat saat ini untuk dijadikan salah satu kebijakan populis tersebut.
Kubu oposisi pun tidak mau ketinggalan kereta. Mereka juga beramai-ramai mendukung perubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Seorang tokoh partai oposisi CHP, Muharrem Ince, mengatakan bahwa Hagia Sophia berada di wilayah negara Turki, dan keputusan mengubah dari museum menjadi masjid adalah keputusan kedaulatan Turki.
Ketua Gelecek Partisi Ahmet Davutoglu menyebutkan bahwa perubahan status Hagia Sophia adalah impian sekian puluh tahun yang menjadi kenyataan. Ia mengatakan, sikap rasional dan bertanggung jawab dari Pemerintah Turki maupun kubu oposisi atas peristiwa besar itu patut mendapat apresiasi. Hal senada disampaikan oleh Ketua DEVA Ali Babacan, yang juga menyatakan dukungannya atas perubahan status Hagia Sophia tersebut.