Sedemikian krusial keberadaan vaksin tersebut—ada yang menyebut sebagai ”game changer”—dalam menghentikan badai pandemi saat ini, misi penemuannya tak ubahnya seperti pencarian cawan suci (holy grail).
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
REUTERS/DADO RUVIC/FILE PHOTO
Botol kecil diberi label stiker ”Vaksin” di dekat jarum suntik dan tulisan ”Virus Korona Covid-19” dalam foto ilustrasi yang dibuat pada 10 April 2020.
Kabar penuh harapan itu datang dari Kota Bandung, Jawa Barat. Jika tak ada aral atau perubahan, bulan depan atau Agustus 1.620 sukarelawan berusia 18 tahun ke atas akan dilibatkan dalam uji klinis vaksin Covid-19 kerja sama Bio Farma dan perusahaan farmasi China, Sinovac Biotech. Uji klinis itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang akan ikut disorot dalam upaya perburuan global terhadap vaksin Covid-19.
Sedemikian krusial keberadaan vaksin tersebut—ada yang menyebut sebagai game changer—dalam menghentikan badai pandemi saat ini, misi penemuannya tak ubahnya seperti pencarian cawan suci (holy grail). Saat ini dilaporkan lebih dari 100 calon vaksin Covid-19 tengah dikembangan atau dalam tahap uji klinis. Hingga pekan lalu, 23 calon vaksin—delapan di antaranya berasal dari China—sudah memasuki uji klinis. Tiga dari delapan calon vaksin asal China telah memasuki uji klinis fase ketiga, salah satunya adalah vaksin Sinovac yang akan diuji di Kota Bandung itu.
Selain di Indonesia, Sinovac juga akan menggelar uji klinis tahap ketiga di Brasil, Turki, Bangladesh, dan Chile. Uji tahap pertama dan kedua telah dilaksanakan di China. Kabarnya, hasil uji klinis tahap pertama dan kedua itu memberi efek bagus bagi kekebalan tubuh.
Di luar Sinovac, uji klinis tahap ketiga dalam penemuan vaksin Covid-19 juga dilakukan Grup Farmasi Nasional China (Shinopharm), tim peneliti Universitas Oxford dan perusahaan farmasi AstraZeneca (Inggris), serta perusahaan Moderna (AS).
Persaingan untuk menjadi yang terdepan dalam perburuan vaksin tersebut cukup sengit. Pekan lalu, seperti dilaporkan kantor berita Associated Press, Shinoparm menguji calon vaksin yang dikembangkan dengan menyuntikkannya pada karyawan hingga pimpinan perusahaan, meski saat itu belum ada izin uji klinis dari Pemerintah China.
Beberapa negara kaya juga berlomba-lomba menggelontorkan dana miliaran dollar AS untuk membiayai pengembangan vaksin. AS, misalnya, mendanai uji vaksin perusahaan Novavax Inc 1,6 miliar dollar AS (Rp 23,6 triliun). Sementara Inggris memasok 1,2 miliar dollar AS (Rp 17,7 triliun) pada AstraZeneca.
Tidak sulit untuk memahami, pengucuran dana besar-besaran itu sebagai bagian dari upaya negara-negara itu mengamankan pasokan vaksin bagi warga mereka masing-masing. Semacam ”beli di muka” atau ”beli ijon”. Sebagai imbal balik pasokan dana 1,6 miliar dollar AS, ”Negeri Paman Sam” bakal mendapat prioritas jatah 100 juta dosis dari Novavax.
AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS
Dr Nita Patel, Direktur Penemuan Antibodi dan Pengembangan Vaksin, mengangkat calon vaksin Covid-19 di Laboratorium Novavax di Gaithersburg, Maryland, AS, 20 Maret 2020.
Uni Eropa tak mau ketinggalan dalam pacuan mengamankan pasokan vaksin bagi warga Eropa. Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen, pertengahan Juni lalu, mengungkapkan rencana UE mengalokasikan dana 3,02 miliar dollar AS (Rp 44,6 triliun) untuk beli vaksin di muka.
Di luar mereka, negara-negara lain juga melakukan praktik yang hampir sama. Dampak pandemi Covid-19, selain korban positif yang telah menembus angka 14 juta jiwa dan korban meninggal lebih dari 600.000 orang, begitu meluluhlantakkan semua sendi kehidupan global, termasuk pukulan hebat pada ekonomi. Semua yakin, vaksin adalah kuncinya. Dalam situasi itu, pacuan dalam perebutan calon vaksin—yang belum jadi—tak terhindarkan. Fenomena ini kerap disebut sebagai ”nasionalisme vaksin”".
Bagaimana dengan Indonesia, apakah nanti bakal kebagian jatah vaksin? Kalau pun dapat, kapan dan berapa banyak? Pertanyaan-pertanyaan itu cukup menggelisahkan. Dalam diplomasi di berbagai forum internasional, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi cukup lantang berada di barisan negara yang menyerukan perlunya kesetaraan akses terhadap vaksin. Jajarannya di Kementerian Luar Negeri juga dikerahkan all out untuk membantu kelancaran upaya Indonesia memperoleh akses itu.
Tidak seperti negara-negara kaya di Barat, Indonesia mungkin tidak mempunyai kemewahan dana tak terbatas untuk membeli vaksin ”secara ijon”. Karena itu, sangat penting mengupayakan sendiri ketersediaan vaksin tersebut. Dalam konteks inilah, mengapa uji klinis di Kota Bandung bulan depan sangat berarti.