Pemberlakuan UU Keamanan Nasional China di Hong Kong berbuntut panjang. Negara-negara Barat masih menilai hal itu merusak kebebasan dan otonomi Hong Kong. Sanksi pun dijatuhkan untuk menekan para pejabat China.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
LONDON, SENIN — Hubungan Inggris dan China kembali ”meruncing” buntut dari pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional China di Hong Kong. Kedua negara itu saling melontarkan ancaman.
Surat kabar The Times dan Daily Telegraph, Senin (20/7/2020), misalnya, melaporkan, Inggris akan menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab akan mengumumkan penundaan perjanjian ini di parlemen. Namun, Kementerian Luar Negeri Inggris tidak menanggapi informasi ini.
Raab mengatakan, dirinya tidak akan menambah sanksi baru pada apa yang sudah dijatuhkan kepada China. Namun, ia juga menolak jika Inggris disebut terlalu lemah menghadapi China dengan cara ini.
Awal Juli ini Inggris menerapkan rezim sanksi baru yang menargetkan individu yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Sejumlah anggota parlemen dari Partai Konservatif Perdana Menteri Boris Johson berpendapat sanksi tersebut harus dipakai untuk menarget para pejabat China.
Inggris menilai, UU Keamanan Nasional China yang diberlakukan di Hong Kong melanggar perjanjian yang dibuat sebelum Hong Kong diserahkan kepada China tahun 1997. China dinilai telah merusak kebebasan yang menjadikan Hong Kong menjadi salah satu pusat keuangan internasional.
Para pejabat Hong Kong dan China menyatakan bahwa UU tersebut penting untuk memperkuat keamanan nasional yang terancam oleh protes baru-baru ini. Berulang kali China menyampaikan kepada Barat untuk tidak turut campur dalam urusan Hong Kong.
Isu HAM
Terkait China, bukan hanya isu Hong Kong yang menyebabkan Inggris gundah. Pada Minggu (19/7/2020), Raab menuduh China telah melakukan apa yang disebut sebagai ”pelanggaran HAM berat yang mengerikan” terhadap etnis dan agama minoritas di Uighur, Provinsi Xinjiang.
Kelompok pembela HAM dan para pakar memperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta warga etnis Uighur dan etnis minoritas berbahasa Turki lainnya yang dikumpulkan di sejumlah kamp. Raab menyebutkan bahwa hal tersebut memerlukan perhatian internasional. ”Jelas bahwa ini adalah pelanggaran HAM berat, mengerikan, sangat, sangat meresahkan,” kata Raab kepada BBC.
”Kami menghendaki hubungan positif (dengan China), tetapi kami tidak bisa membiarkan tindakan seperti itu,” ujar Raab.
London juga kecewa terhadap apa yang terjadi di Hong Kong dan menilai bahwa China tidak jujur dalam pandemi Covid-19. Pekan lalu, Perdana Menteri Boris Johnson memerintahkan agar semua peralatan dari Huawei Technologies untuk sepenuhnya dihapus dari jaringan 5G Inggris pada akhir 2027.
Menanggapi sikap Inggris terbaru, China menuduh Inggris sebagai kaki tangan Amerika Serikat.
Hari Minggu kemarin, Duta Besar China untuk Inggris memberikan peringatan akan membalas jika London berusaha menjatuhkan sanksi kepada para pejabatnya. Respons ini dilontarkan menyusul usulan sejumlah anggota parlemen Inggris dari Partai Konservatif menghendaki pemberian sanksi pada para pejabat China.
”Jika Pemerintah Inggris bertindak sejauh itu dengan menjatuhkan sanksi kepada siapa pun di China, China jelas akan membalasnya,” kata Duta Besar China untuk Inggris Liu Xiaoming dalam acara Andrew Marr Show di BBC.
”Anda telah melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat—mereka menjatuhkan sanksi terhadap pejabat China—kami balas dengan menjatuhkan sanksi pada senator mereka, pejabat mereka. Saya tidak ingin hal seperti itu terjadi di sini.... dalam hubungan China-Inggris.” (REUTERS/AFP)