Isu penjualan pesawat militer Osprey MV-22 Block C kepada Indonesia diduga tidak hanya terkait isu pemenuhan alutsista TNI atau perdagangan semata. Ada isu-isu strategis yang turut memengaruhinya.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Ruang diskusi peminat isu militer dan alutsista ramai. Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan Amerika Serikat (Defense Security Cooperation Agency/DSCA) dalam siaran persnya Senin (6/7/2020) atau Selasa (7/7/2020) menyebutkan bahwa Departemen Luar Negeri menyetujui penjualan delapan unit Osprey MV-22 Block C. Dalam tawaran senilai 2 miliar dollar AS itu, Washington juga menyertakan, antara lain, penjualan 20 FLIR AN/AAQ-27, 20 radar untuk mengenali lawan dan kawan (IFF) AN/APX-117, 20 sistem navigasi lintas udara taktis AN/ARN-153, dan sistem perencanaan misi gabungan (Kompas.id, Selasa, 7 Juli 2020). Merujuk pernyataan DSCA, penjualan itu merupakan tanggapan atas permintaan Indonesia.
Jika akhirnya Indonesia membeli Osprey MV-22, Indonesia adalah pengguna ketiga setelah AS dan Jepang, serta bakal menjadi pengguna pertama di kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi, bukan hanya itu yang membuat informasi tersebut menarik.
Selain belum pernah ada kabar bahwa Indonesia melirik Osprey MV-22 untuk mengisi perbendaharaan pesawat angkut, keberadaan Osprey dinilai akan mendongkrak kapabilitas militer Indonesia, baik dalam isu tanggap darurat maupun operasi amfibi. Mungkin saat ini Indonesia belum memiliki kapal perang yang memenuhi syarat untuk mengakomodasi Osprey.
Namun, dengan beragam perlengkapan dalam persetujuan penjualan sebagaimana disebut dalam laman resmi DSCA, Osprey terbaru yang ditawarkan itu tentu akan kompatibel dengan kapal-kapal perang atau kapal induk Amerika Serikat yang biasa beroperasi di kawasan Asia dan Pasifik. Nah, terkait isu itulah pengumuman persetujuan penjualan delapan unit Osprey MV-22 Block C kepada TNI AD menjadi kian menarik.
Apalagi, merujuk pada pernyataan Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Djoko Purwanto, Selasa (7/7/2020), Kementerian Pertahanan sejatinya belum memilih satu produk tertentu untuk mengisi skuadron pesawat angkut militer, (Kompas, Rabu 8/7/2020). Oleh karena itu, muncul pertanyaan apa sejatinya di balik isu persetujuan penjualan itu?
Saat dihubungi, Direktur Imparsial Al Araf, Sabtu (18/7/2020), mengatakan, besarnya anggaran militer Indonesia—lebih dari Rp 105 triliun—membuat Indonesia selalu dilirik dan diincar negara produsen seperti AS.
Namun, lanjutnya, Indonesia tidak tertarik pada Osprey. ”Indonesia sebenarnya meminta Apache dan Black Hawk. Osprey tidak masuk hitungan Pemerintah Indonesia. Osprey hanya akan menjadi beban jika kita beli karena perawatannya mahal, sementara kita butuh heli siap pakai dalam jumlah banyak,” kata Al Araf.
Isu kawasan
Di sisi lain, merujuk tulisan David Axe, kontributor Forbes untuk isu pertahanan dan kedirgantaraan, berjudul ”Indonesia Might Buy V-22s—The Reason Is China”, isu Osprey tampaknya tidak semata-mata terkait dengan pemenuhan alutsista. Ada isu kawasan terlibat di dalamnya.
Apabila dikaitkan dengan pernyataan DSCA bahwa penjualan Osprey ke Indonesia akan mendukung kebijakan luar negeri dan tujuan keamanan nasional AS, bisa jadi faktor China, sebagaimana disebut Axe dalam tulisannya, memang turut ”ambil peran” dalam persetujuan penjualan itu.
Apalagi dalam pernyataan DSCA tersebut disebutkan bahwa dukungan pada kebijakan luar negeri itu diwujudkan dengan meningkatkan keamanan mitra regional yang merupakan kekuatan penting bagi stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. ”Sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan dan mempertahankan kemampuan bela diri yang kuat dan efektif,” kata DSCA.
Tidak dapat dimungkiri, akhir-akhir ini ketegangan di antara kedua kekuatan utama dunia itu terus meningkat. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Senin (13/7/2020), mengatakan, klaim China atas sumber daya di sebagian besar kawasan Laut China Selatan adalah ilegal. ”Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kerajaan maritimnya,” kata Pompeo. ”AS mendukung sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam melindungi hak kedaulatan mereka atas sumber daya lepas pantai, konsisten dengan hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional,” kata Pompeo.
Sebaliknya, menanggapi tekanan itu—termasuk untuk isu lain, seperti isu hak asasi manusia di Xinjiang dan Laut China Selatan—Wakil Menteri Luar Negeri China Zheng Zeguang kepada Duta Besar AS di Beijing Terry Branstad mengatakan, AS telah mencampuri urusan dalam negeri China dan merugikan kepentingan China.
Dalam tarik-menarik dua kekuatan dunia itu, terutama di kawasan, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth, mengatakan, dari perspektif kepentingan AS, keberadaan Indonesia penting untuk membendung pengaruh China. Terkait isu alutsista Pentagon melihat Indonesia, yang secara geostrategi berada di persimpangan dua samudra, memerlukan dukungan sistem persenjataan yang baik.
Akan tetapi, menurut Adriana, yang perlu dikembangkan oleh Indonesia tidak semata-mata pada isu alutsista atau pertahanan semata. Di tengah pusaran kompetisi dua kekuatan unilateral yang sama-sama berambisi menguasai dunia itu, menurut Adriana, Indonesia perlu memainkan peran lebih optimal sebagai kekuatan menengah (middle power) di kawasan. ”Indonesia bisa menyuarakan nilai-nilai kebersamaan atau global solidarity karena unilateralisme tetap butuh kekuatan-kekuatan lain,” kata Adriana.
Indonesia, salah satunya melalui ASEAN, dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Apalagi, dalam jangka panjang diperlukan visi strategis, bukan sekadar memanfaatkan keadaan yang cenderung berubah sangat cepat.
Hal senada juga ditegaskan Al Araf. Dalam perspektif keamanan regional, bagi banyak pihak, termasuk AS, Indonesia adalah salah satu mitra yang dapat diandalkan. ”Semua pihak berkepentingan atas posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN sehingga dalam level kawasan peran indonesia dinilai signifikan oleh mereka. Apalagi Indonesia dan beberapa negara ASEAN memiliki kepentingan yang sama di Laut China Selatan sehingga negara sebesar AS tentu akan menghitung posisi strategis Indonesia di kawasan,” kata Al Araf. (AP/AFP/Reuters)