KTT Uni Eropa Terancam Tidak Menghasilkan Kesepakatan
Pertemuan 27 pemimpin negara Eropa belum memperlihatkan tanda-tanda kesepakatan. Masih terdapat perbedaan yang besar di antara mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BRUSSELS, SABTU — Peringatan Kanselir Jerman Angela Merkel menjelang pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa yang menyebutkan adanya perbedaan pendapat yang sangat lebar di antara negara-negara anggota menjadi kenyataan. Setelah dua sesi penuh dan pembicaraan maraton selama hampir 13 jam, sejak Jumat (17/7) pagi, pertemuan tatap muka pertama kalinya sejak pandemi Covid-19 ini tidak membawa hasil yang memuaskan.
Di luar pertemuan resmi, tuan rumah KTT dan Presiden Dewan Eropa Charles Michel berusaha melobi para pemimpin negara anggota untuk memperkecil perbedaan pendapat, khususnya tentang siapa yang harus menyediakan dana pemulihan, siapa yang berhak mendapatkannya, serta persyaratan apa yang harus disepakati antara kedua pihak.
Di ruang terbuka, lantai paling atas (roof top) gedung Dewan Eropa, Michel melakukan pembicaraan dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, dan PM Hongaria Viktor Orban. Pembicaraan bubar tepat sebelum tengah malam.
Perdana Menteri Ceko Andrej Babis mengakui ada beberapa masalah utama yang membuat perundingan belum menemukan hasil yang memuaskan. Bahkan, menurut dia, perbedaan semakin besar di antara para pemimpin negara UE. ”Saya tidak memiliki kesan bahwa kita semakin dekat dengan kesepakatan,” kata Babis.
Macron menggarisbawahi masalah tantangan ini. ”Ini adalah proyek kita, Eropa, yang dipertaruhkan,” kata Macron.
Tantangan yang dihadapi 27 pemimpin Uni Eropa sangat besar. Selama tujuh tahun terakhir, mereka berusaha mencapai kata sepakat tentang besaran anggaran bagi UE untuk tahun 2021-2027 yang diperkirakan menghabiskan dana sekitar 1 triliun euro. Ketika Covid-19 menghantam China, menyebar ke seluruh dunia, dan ditetapkan sebagai pandemi global, kelompok negara Eropa ini mengalami resesi terburuk dalam sejarahnya.
Kini, untuk memulihkan ekonomi, selain berjuang untuk anggaran tujuh tahun mendatang, para pemimpin UE juga dihadapkan pada rencana penambahan anggaran untuk dana pemulihan Covid-19 di kawasan. Belum ada kesepakatan negara mana yang harus membayar paling banyak membantu negara-negara lain dan negara mana yang diprioritaskan untuk menerima bantuan untuk membalikkan kondisi ekonomi mereka yang hancur.
Ketidaksepakatan tidak hanya menyangkut hal di atas. Dikutip dari laman kantor berita BBC, beberapa negara wilayah utara UE, seperti Belanda, Austria, Denmark, dan Swedia, tidak sepakat dengan pemikiran Jerman dan Perancis tentang struktur dana pemilihan yang akan dianggarkan, yaitu 500 miliar euro dalam bentuk hibah dan 250 miliar sisanya dalam bentuk pinjaman. Apalagi dana pemulihan itu akan digelontorkan di pasar keuangan, yang mendapat tentangan dari beberapa negara anggota.
Merkel sepakat dengan struktur tersebut untuk menghindari negara-negara anggota yang membebani yang sudah memiliki utang tinggi.
PM Rutte, dikutip dari BBC, memimpin negara-negara yang menginginkan kontrol yang kuat tentang bagaimana negara peminjam akan membelanjakan dana pemulihan yang dipinjamkan kepadanya. Termasuk di dalamnya reformasi mengenai tata cara pengelolaan dana pensiun, kesejahteraan di negara peminjam.
Belanda juga ingin negara peminjam memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk memodernisasi infrastruktur hingga investasi yang ramah lingkungan (green investment). ”Saya akan menyetujui apabila reformasi dipatuhi,” katanya, dalam sebuah wawancara dengan lembaga penyiaran publik Belanda, NOS (Nederlandse Omroep Stichting).
Ada keinginan untuk mengaitkan bantuan pemulihan itu dengan penghormatan hak-hak dasar demokrasi terhadap warga di sejumlah negara Eropa. Namun, rencana itu mendapat tentangan dari Hongaria dan Polandia, yang berkeberatan dengan syarat seperti itu.
Hongaria mengancam akan menggagalkan wacana itu. ”Kami bisa memveto itu karena butuh keputusan bulat. Hongaria bisa mengatakan tidak,” kata Orban, pekan lalu. (AP)