Warga Filipina Takut Kekerasan Polisi Berulang dalam Penanganan Korona
Senator oposisi dan kelompok pegiat hak asasi manusia menyebut kampanye penanganan pandemi Covid-19 di Filipina meniru gaya kampanye perang melawan narkoba yang menelan ribuan orang korban tewas.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
MANILA, JUMAT — Mayoritas warga di kawasan Navotas, Filipina, yang terdampak hebat oleh pandemi, takut terhadap perlakuan kasar polisi. Ketakutan itu muncul setelah Pemerintah Filipina mengizinkan polisi mendatangi rumah-rumah pasien Covid-19 dengan gejala ringan atau tanpa gejala dan membawa mereka ke pusat isolasi.
Sejumlah warga menyebut rencana pemerintah tersebut dengan sebutan ”Tokhang 2”. Mereka menilai rencana itu sebagai kelanjutan dari kampanye antinarkotika yang dipimpin polisi, dan identik dengan ribuan kasus pembunuhan.
”Kami takut didatangi dari rumah ke rumah. Kami tidak tahu apa yang akan dilakukan polisi dan tentara pada kami,” kata Crisanto dela Cruz (46), pengemudi becak di Navotas. ”Pada saat yang sama, kami takut terinfeksi karena selalu berada di luar rumah.”
Sejak 1 Juni lalu, infeksi Covid-19 telah bertambah tiga kali lipat di Filipina. Menteri Dalam Negeri Eduardo Ano, Selasa (14/7/2020), mengumumkan pekan ini bahwa petugas kesehatan dengan bantuan otoritas lokal dan polisi akan memindahkan warga positif Covid-19 dari rumahnya ke pusat isolasi. Untuk itu, tokoh masyarakat di setiap permukiman didorong melaporkan orang-orang yang potensial tertular dan menghindari petugas.
Kebijakan keras tersebut diberlakukan setelah dalam sepekan terakhir Filipina mencatat lonjakan kasus Covid-19, termasuk tertinggi di Asia Tenggara selain Indonesia. Lonjakan ini terjadi setelah kebijakan karantina wilayah diperlonggar pada 1 Juni untuk menggerakkan barang dan orang serta perekonomian negara.
”Kami tidak ingin pasien positif tinggal di rumah, dikarantina (sendiri). Terutama jika rumah mereka tidak memiliki kapasitas (yang memadai). Jadi, yang akan kami lakukan adalah pergi ke rumah-rumah dan kami akan membawa pasien positif ke fasilitas isolasi kami,” kata Ano.
Dengan kebijakan itu, Ano mendesak warga melaporkan kasus-kasus yang terjadi di lingkungan mereka dan mengingatkan dampak hukumnya apabila pasien positif di kawasan itu menolak bekerja sama dengan aparat.
Hindari tindakan fasis
Akan tetapi, senator oposisi dan kelompok pegiat hak asasi manusia menyebut kampanye ini meniru gaya kampanye perang melawan narkoba. Senator Franklin Drilon mengatakan, polisi telah menegakkan karantina wilayah dengan agresif sehingga tidak perlu melakukan ”tindakan fasis untuk menuntut kepatuhan warga”.
Juru bicara Presiden Rodrigo Duterte, Harry Roque, menekankan bahwa kunjungan ke rumah-rumah akan dipimpin oleh petugas kesehatan setempat. Dalam pernyataannya, Harry menyampaikan ”kehadiran polisi hanya untuk memberikan dukungan atau bantuan dalam membawa pasien”.
Akan tetapi, Harry juga menambahkan bahwa siapapun yang menyebarkan virus korona akan dipaksa dibawa ”jika perlu”. ”Kami masih bisa memaksa mereka, tetapi saya pikir hal itu akan membuat mereka diperlakukan seperti pelaku kejahatan,” katanya kepada CNN Filipina.
Para pengkritik kebijakan pemerintah menyebutkan bahwa ada pendekatan yang lebih baik dalam merespons pandemi, yaitu meningkatkan penelusuran kontak dan tes. Sebab, sejauh ini hanya 0,9 penduduk Filipina yang telah menjalani tes Covid-19.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, sedikitnya 8.663 orang dan kemungkinan jumlahnya lebih banyak dari itu terbunuh di Filipina setelah Duterte melancarkan perang terhadap narkoba tahun 2016. Selama pembunuhan itu terjadi, polisi ”nyaris kebal hukum” dan terjadi penghasutan untuk melakukan kekerasan oleh pejabat tinggi.
Mayoritas pembunuhan selama perang melawan narkoba itu terjadi di daerah miskin, seperti Navotas. Polisi menyatakan bahwa tindakan mereka dalam kampanye antinarkoba sesuai dengan aturan. Adapun kematian terjadi akibat baku tembak dengan pengedar yang menolak menyerahkan diri.
Hampir 36 persen dari 63.000 kasus Covid-19 dan 23 persen dari 1.660 total kasus meninggal akibat Covid-19 terjadi di Filipina dalam dua minggu terakhir. Di kawasan Asia Tenggara, laju kematian paling cepat terjadi di Indonesia