Pemerintah Jepang Kecualikan Tokyo dalam Skema Kebijakan Subsidi Perjalanan
Guna membangkitkan lagi pariwisata yang terpukul akibat pandemi Covid-19, Pemerintah Jepang menyiapkan subsidi perjalanan senilai 16 miliar dollar AS (Rp 235 triliun) untuk biaya yang dikeluarkan warga saat berwisata.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
TOKYO, JUMAT — Pemerintah Jepang mengecualikan Tokyo dari program subsidi bepergian guna memulihkan kembali sektor pariwisata mengingat jumlah kasus positif Covid-19 di ibu kota Jepang itu masih tinggi. Subsidi bepergian itu merupakan salah satu program pemulihan pariwisata domestik guna membangkitkan kembali sektor pariwisata Jepang yang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Kampanye pariwisata bertajuk ”Go To” senilai 16 miliar dollar AS tersebut digaungkan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe guna mempromosikan bisnis perjalanan ke seluruh wilayah Jepang. Namun, dalam pertemuan, Kamis (16/7/2020), akhirnya diputuskan bahwa Tokyo untuk sementara tidak akan dimasukkan dalam program kampanye tersebut.
”Apa ada jaminan perjalanan seperti ini tidak akan menyebarkan korona? Apakah adil jika tidak memasukkan Tokyo dalam kampanye ini, padahal mereka juga membayar pajak?” tanya Ren Ho, anggota parlemen dari oposisi, Jumat (17/7/2020), dalam akun Twitter-nya.
Menteri Pariwisata Jepang Kazuyoshi Akaba menyesalkan keputusan untuk tidak melibatkan Tokyo dalam kampanye ini. Ini berarti, warga Tokyo tidak akan menerima subsidi 50 persen dari pemerintah untuk biaya perjalanan domestik. Subsidi itu akan mulai diberikan 22 Juli. Dengan keputusan tersebut, subsidi juga tidak akan diberikan kepada siapa pun yang bepergian ke Tokyo.
Menurut Kementerian Pariwisata Jepang, seperti dilansir kantor berita Kyodo, melalui program subsidi perjalanan tersebut, Pemerintah Jepang akan memberikan subsidi hingga separuh biaya pengeluaran yang dihabiskan untuk mengadakan perjalanan, termasuk biaya akomodasi dan ongkos perjalanan. Dari seluruh biaya perjalanan itu, pemerintah akan memberikan diskon 35 persen.
Subsidi 15 persen lainnya akan diberikan dalam bentuk kupon, yang akan dikeluarkan pada September mendatang, mencakup biaya makan, belanja, dan aktivitas-aktivitas perjalanan lainnya yang ditawarkan di tempat tujuan wisata.
Kasus Covid-19 tinggi
Kelompok penentang usulan itu juga menilai kampanye pariwisata itu mestinya dibatalkan mengingat risiko infeksi korona masih besar. ”Premis kampanye perjalanan itu adalah pandemi berhasil dikendalikan. Namun, kenyataannya (pandemi) belum (bisa dikendalikan) dan pemerintahan Abe tetap memaksakan rencananya,” kata Tomoaki Iwai, Guru Besar Ilmu Politik di Nihon University.
”Mereka keliru, dan rakyat jadi kehilangan kepercayaan karena mereka merasa pemerintah membuat kebijakan keliru,” lanjut Iwai.
Guru Besar Emeritus di Chuo University, Steven Reed, mengatakan bahwa tidak mengikutsertakan Tokyo dalam kampanye itu jelas kekeliruan dan menunjukkan ketidakmampuan Abe dalam memimpin pemerintahan. ”Ia sudah berubah, tidak seperti biasanya,” ujarnya.
Menteri Pemulihan Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura pekan lalu menyatakan bahwa Jepang berhasil menangani korona tanpa perlu karantina. Dalam tulisan opininya di koran Wall Street Journal, Nishimura menjelaskan bahwa kunci keberhasilan Jepang terletak pada upaya melacak jejak kontak kasus positif Covid-19.
Juru bicara Pemerintah Jepang, Yoshihide Suga, mengatakan, Tokyo masih bisa diikutsertakan dalam program ini jika kasus korona berkurang.
Dimulai 22 Juli
Kampanye Pemerintah Jepang untuk memulihkan sektor pariwisata domestik pascapandemi Covid-19 menuai protes dan kecaman. Menurut rencana, kampanye akan mulai dilakukan 22 Juli mendatang. Banyak pihak, terutama masyarakat perdesaan, khawatir bahwa langkah itu masih terlalu dini. Mereka menilai, membuka jalur transportasi dari Tokyo masih berisiko terkait munculnya kasus-kasus baru Covid-19 di ibu kota Jepang tersebut.
Tim panel yang terdiri dari para ahli bertemu Nishimura untuk membicarakan kampanye ”Go To”, Kamis. Nishimura membutuhkan pendapat tim panel itu terkait teknis pelaksanaannya, antara lain cara mengatur kerumunan orang dan pemasangan ventilasi di transportasi umum. Sehari sebelumnya, Gubernur Tokyo Yuriko Koike juga mempertanyakan waktu dan metode kampanye itu.
Namun, sejumlah anggota parlemen dari kubu oposisi menentang kampanye ini karena khawatir dengan pandemi Covid-19 yang masih mengancam. Mereka mengacu pada data bahwa jumlah kasus Covid-19 di Tokyo masih tinggi, yakni sekitar 100-200 kasus per hari. Jika warga diperbolehkan bepergian ke luar daerah, menurut mereka, hal itu bisa jadi malah menyebarkan virus ke berbagai daerah yang tak terlalu parah terdampak Covid-19.
”Mestinya (kebijakan itu) bisa ditunda dulu. Tidak ada alasan (kebijakan) ini harus segera dilakukan. Jika terpaksa, batasi saja ke daerah-daerah tertentu. Jangan ke semua daerah,” kata Gubernur Okayama, Ryuta Ibaragi.
Di Okayama, ”hanya” ditemukan 29 kasus positif Covid-19 dari 23.000 total kasus di seluruh wilayah Jepang.
Meski ditemukan kasus-kasus baru di Tokyo, tidak ada ledakan kasus di Jepang. Namun, pemerintah Tokyo masih menetapkan kondisi darurat karena jumlah kasus per hari dinilai masih tinggi. ”Melihat situasi saat ini, saya berharap pemerintah mempertimbangkan kembali rencana ini,” kata Koike. (REUTERS)