Kekerasan berdarah kembali terjadi di Afghanistan dalam 24 jam terakhir yang mengakibatkan puluhan orang tewas. Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan-serangan itu. Perdamaian pun hanya di atas kertas semata.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, SELASA — Situasi keamanan semakin tidak menentu di Afghanistan setelah dalam tiga hari terakhir setidaknya terjadi tiga kali kekerasan bersenjata di negara itu yang mengakibatkan korban tewas dan puluhan orang lainnya terluka. Nota kesepahaman damai yang diteken di Doha, Qatar, 29 Februari lalu, hanya perjanjian di atas kertas tanpa implementasi apa pun.
Kekerasan bersenjata terbaru terjadi Senin (13/7/2020) ketika sebuah bom bunuh diri diledakkan di Kantor Direktorat Keamanan Nasional (NDS), semacam badan intelijen negara, yang terletak di kota Aybak, Provinsi Samangan. Sebelas orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka ketika sebuah bom yang diangkut menggunakan sebuah truk diledakkan di kantor tersebut.
Bersamaan dengan ledakan bom di pintu gerbang kantor, sekelompok orang bersenjata menyerbu kantor tersebut setelah serangan bom merusak gerbang utama perkantoran NDS. Baku tembak terjadi selama hampir empat jam dan tiga pelaku tewas.
Abdul Latif Ibrahimi, Gubernur Provinsi Samangan, mengatakan, 11 orang tewas dan 63 orang lainnya terluka dalam kekerasan bersenjata itu. Mayoritas korban luka adalah warga sipil.
Zabihullah Mujahid, juru bicara Kelompok Taliban, menyatakan bahwa kelompok mereka bertanggung jawab atas serangan itu. Melalui akun Twitter-nya, Mujahid mengklaim, serangan itu menewaskan 47 anggota intelijen Afghanistan yang tengah berada di lokasi kejadian dan 72 orang terluka. Dia juga menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu menggunakan lebih dari satu kendaraan.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengutuk serangan tersebut sebagai sebuah tindakan terorisme dan mendesak Taliban untuk menghentikan kekerasan. ”Menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mendapatkan konsesi dalam perundingan adalah jalan dan pendekatan yang buruk yang diambil oleh Taliban,” kata Ghani dalam pernyataannya.
Kekerasan yang dilakukan Taliban dan anggotanya dalam 24 jam setidaknya dilakukan di tiga tempat lainnya. Dikutip dari kantor berita Al Jazeera, tiga serangan yang terjadi dalam 24 jam terakhir terjadi di Provinsi Badakhstan, Kunduz, dan Parwan. Serangan di tiga tempat tersebut mengakibatkan sedikitnya 25 petugas keamanan tewas.
Namun, menurut data lembaga Reduce in Violence Afghanistan, yang mendata kekerasan bersenjata seusai penandatanganan kesepakatan damai Doha, jumlah korban tewas selama 24 jam terakhir mencapai 97 orang. Dua orang di antara korban tewas selama 24 jam terakhir adalah warga sipil.
Tindakan balasan
Kekerasan demi kekerasan terjadi dalam setidaknya sepekan terakhir setelah terjadi ketidaksepakatan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban dalam hal pembebasan anggota Taliban yang ditahan pemerintah. Hal ini yang diduga membuat Taliban berang.
Sesuai dengan kesepakatan damai antara Pemerintah Amerika Serikat dan Taliban, Pemerintah Afghanistan akan membebaskan 5.000 tahanan anggota Taliban dengan beberapa persyaratan, termasuk para anggota yang dibebaskan tidak akan ikut kembali berperang bersama Taliban. Hingga 10 Juli lalu, pemerintah mencatat telah membebaskan 4.000 anggota Taliban yang ditahan. Sementara Taliban setidaknya telah membebaskan dua pertiga pasukan keamanan Afghanistan yang ditahan, dari sekitar 1.000 orang yang ditahan oleh mereka.
Namun, terdapat ketidaksepakatan tentang upaya pembebasan sekitar 600 anggota Taliban. Pemerintah Afghanistan berkeras bahwa ratusan tahanan yang masuk dalam daftar keinginan Taliban untuk dibebaskan termasuk golongan yang berbahaya dan masih harus menjalani hukuman yang lebih panjang. Banyak di antara mereka adalah pelaku rajam, pelaku kekerasan seksual, perampokan, hingga merupakan pejuang asing atau foreign fighters.
Anggota Dewan Keamanan Nasional Afghanistan, Javid Faisal, meminta agar Taliban mengusulkan nama-nama lain. Taliban menolaknya dan menuding Pemerintah Afghanistan memfabrikasi tuduhan terhadap anggotanya.
Mujahid, dalam serangkaian pernyataanya melalui akun Twitter miliknya, menyatakan, kekerasan bersenjata terjadi karena mereka tidak memiliki pilihan lain untuk mengatasi kebuntuan komunikasi. ”Kalau Anda tidak menginginkan perang, mengapa menciptakan hambatan agar pembicaraan intra-Afghanistan bisa berlangsung,” tulis Mujahid.
John R Allen, mantan Komandan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional NATO-AS (USFOR-A), dikutip dari laman lembaga kebijakan Brookings, mengatakan, ada ketimpangan di dalam substansi isi kesepakatan damai antara AS dan Taliban, yang tidak melibatkan Pemerintah Afghanistan.
”Mengapa Pemerintah AS menyetujui sebuah perjanjian di mana Taliban tidak boleh melakukan serangan pada militer AS dan sekutunya, tapi boleh menyerang pasukan Pemerintah Afghanistan?” kata Allen. Di dalam serangan-serangan itu, korban warga sipil terus berjatuhan.
Dia menilai, dengan kekerasan yang terus terjadi, ini adalah sebuah bentuk perilaku—tidak bisa dipercaya—dari kelompok Taliban dan para anggotanya.
Michael E O’Hanlon, analis dari lembaga kajian Brookings, juga menilai, tidak seharusnya AS dan pasukan koalisi meninggalkan Afghanistan dalam kondisi seperti sekarang ini. ”Setidaknya mereka tetap tinggal selama beberapa tahun lagi di Afghanistan sampai beberapa substansi kesepatakan damai terlaksana di lapangan,” kata O’Hanlon. (Reuters/AP)