AS Mulai Berlakukan Kebijakan Tolak Mahasiswa Asing Terkait Kuliah Daring
Kebijakan Pemerintah AS menolak keberadaan mahasiswa asing yang kuliah di universitas dengan perkuliahan daring secara penuh mulai diberlakukan. Salah satu korbannya, mahasiswa Universitas DePaul asal Korea Selatan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Mahasiswa-mahasiswi asing sudah mulai ditolak masuk ke Amerika Serikat seiring pemberlakuan kebijakan pemerintahan Donald Trump yang melarang mereka berada di AS jika universitas-universitas tempat mereka belajar menggelar perkuliahan daring secara penuh. Hal itu terungkap dari dokumen gugatan yang diajukan ke pengadilan di AS, Senin (13/7/2020) waktu setempat atau Selasa dini hari WIB.
Melalui dokumen bertajuk ”kawan pengadilan”, puluhan universitas dan perguruan tinggi di AS mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendukung langkah Universitas Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) menuntut pembatalan aturan imigrasi AS pada 6 Juli lalu. Aturan itu menyebutkan, pelajar atau mahasiswa asing pemegang visa F-1 dan M-1 yang berstatus aktif dan saat ini tinggal di AS serta hanya mengikuti kelas daring diminta meninggalkan AS atau pindah ke sekolah atau kampus yang memiliki program pembelajaran di dalam kelas.
Pemerintah AS tidak akan menerbitkan visa dan tidak akan memberikan izin masuk ke AS bagi pelajar atau mahasiswa yang hanya mengikuti kelas daring pada semester musim gugur (September-Desember) 2020. Kebijakan ini dikecualikan bagi pelajar atau mahasiswa asing yang mengambil program pengajaran di dalam kelas atau program campuran antara daring dan belajar di kelas (sistem hibrida) dengan persyaratan tertentu.
Dalam ringkasan gugatan puluhan universitas dan perguruan tinggi di AS, kemarin, diungkapkan bahwa otoritas imigrasi AS ”telah menolak kembalinya mahasiswa-mahasiswa (asing) dari masuk kembali ke negara itu”. Disebutkan, seorang mahasiswa Universitas DePaul asal Korea Selatan ditolak masuk ke AS saat mendarat di Bandar Udara Internasional San Francisco, AS.
Universitas DePaul tidak bersedia memberikan kesempatan wawancara kepada mahasiswa tersebut. Juru bicara Badan Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan AS juga tidak memberikan pernyataan saat dikonfirmasi mengenai hal itu.
Beberapa waktu lalu, manajemen Universitas Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintahan Trump terkait perkuliahan di masa pandemi. Gugatan tersebut kini mendapat dukungan luas dari puluhan kampus di Amerika Serikat. Sebanyak 60 universitas di AS juga menolak aturan pemerintahan Trump tersebut.
Mereka mengajukan amicus brief, dokumen pendukung yang diajukan oleh para pihak berkepentingan, yang mendukung argumentasi penolakan atas kebijakan pemerintah AS itu. Dokumen pendukung itu diajukan oleh sekitar 60 kampus pada Minggu (12/7), termasuk tujuh kampus yang masuk dalam kategori Ivy League atau kampus-kampus terkemuka, seperti Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, University of Pennsylvania, Princeton University, dan Yale University.
Picu kekacauan
Dalam pernyataan bersama, mengacu pada pedoman pemerintah federal yang menjadi dokumen pendukung tersebut, selama masa darurat pandemi siswa internasional dimungkinkan untuk menghadiri semua kursus secara daring atau online. ”Keadaan darurat masih berlanjut, masih terus berlangsung. Tetapi, kebijakan pemerintah tiba-tiba dan secara drastis berubah, membuat persiapan berantakan. Bahkan, kebijakan itu membuat kerusakan dan kekacauan yang signifikan,” tulis mereka di dalam pernyataannya.
Berdasarkan data Departemen Luar Negeri dan Institut Pendidikan Internasional, jumlah siswa asing di AS pada tahun 2018-2019 mencapai 1,1 juta orang atau setara 5,5 persen dari seluruh pendaftaran pendidikan tinggi di AS. Pandemi Covid-19 yang terus memburuk di AS membuat mereka lebih banyak berdiam diri di rumah atau kembali ke negara asal masing-masing.
Kebijakan itu juga bisa berdampak kepada mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di AS. Menurut laman educationdata.org, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di AS pada 2018-2019 sebanyak 8.356 orang. Negara penyumbang mahasiswa asing terbanyak di AS adalah China dengan 369.548 orang atau 43,77 persen dari seluruh mahasiswa asing di AS.
Alvinsyah A Pramono, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Indonesia (Permias) Nasional, yang kini tengah menempuh studi lanjutannya di AS, ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (13/7) malam, mengatakan bahwa mayoritas kampus yang menjadi tempat belajar siswa Indonesia menginginkan proses belajar hibrida atau campuran antara tatap muka secara langsung di dalam kelas dan separuh daring. Meski begitu, di dalam penerapannya, mereka terbentur dengan ketentuan ICE yang mematok bahwa pertemuan daring hanya bisa dilakukan maksimal satu kelas atau setara dengan tiga satuan kredit semester.
Kampus berkeberatan
Dengan ketentuan ini, artinya pertemuan di dalam kelas lebih banyak. ”Berapa pun jumlah SKS atau kelas yang diambil, pertemuan daringnya maksimal hanya satu kelas atau setara dengan tiga SKS. Selebihnya tatap muka,” kata Alvin.
Ketentuan itu membuat banyak kampus berkeberatan. Manajemen kampus, menurut Alvin, tidak mau karena mereka masih mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 yang memburuk di AS. Berdasarkan data worldometer.info, jumlah kasus Covid-19 pada Senin (13/7) mencapai 20.023 kasus baru dan 68 orang meninggal. AS kini menjadi pemuncak kasus Covid-19 di seluruh dunia dengan angka kasus hampir mencapai 3,5 juta orang.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari anggota mereka di seluruh AS, sejauh ini universitas yang menyelenggarakan pendidikan secara daring 100 persen pada musim gugur adalah Universitas Harvard, Universitas Vanderbilt (khususnya program Kesehatan Publik), dan San Joaquin Delta College. Sebanyak 76 kampus menyatakan ingin mengombinasikan antara pertemuan tatap muka dengan daring dan 32 lainnya masih belum memutuskan.
Menurut Alvin, beberapa kampus juga telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat apabila ingin membuka perkuliahan tatap muka. Universitas Rutgers, kampus tempat Alvin melanjutkan pendidikan tingkat S-2 di bidang kedokteran, menerapkan tiga tahapan, yaitu izin prinsip dari pimpinan kampus atau fakultas, kursus daring protokol kesehatan dan kampus, terakhir adalah tes reaksi rantai polimerase (PCR) gratis.
”Saya sudah lulus dua tahapan, tinggal satu tahap lagi. Sedang menunggu tabungnya dikirim. Hasilnya akan keluar satu atau dua hari,” kata Alvin.
Pendidikan awal musim gugur ini, menurut rencana, akan dimulai antara tanggal 24 Juli dan 7 September 2020. Alvin mengatakan, Permias terus berkoordinasi intensif dengan Kedutaan Besar RI di Washington DC untuk memastikan kebijakan itu tidak berdampak pada pelajar Indonesia di AS.
Alvin juga meminta mahasiswa asal Indonesia bersikap tenang dan tidak panik. Dia meminta mahasiswa Indonesia terus memantau kondisi persoalan keimigrasian dari sumber-sumber yang dapat dipercaya untuk mencegah kepanikan.
Permias juga meminta agar KBRI Washington berkoordinasi dengan Pemerintah AS, khususnya Departemen Pendidikan, Homeland Security, dan bahkan ICE untuk memastikan kebijakan itu apakah akan diterapkan atau sebaliknya.
”Untuk memperoleh informasi lebih lanjut sekaligus mencari solusi atas dampak pemberlakuan kebijakan baru tersebut, KBRI dan seluruh KJRI se-AS melakukan komunikasi dan koordinasi berkelanjutan dengan pihak kampus/sekolah tempat belajar para mahasiswa Indonesia di AS,” ujar Popy Rufaidah, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Washington DC, melalui keterangan pers yang diterima Kompas, Senin (13/7) malam. (REUTERS/SAM)