Isu penanggulangan wabah menjadi agenda penting pemimpin negara. Kesadaran memperhatikan kesehatan serta pencegahan wabah kian penting karena pada masa sekarang dan mendatang pandemi lebih mudah terjadi.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Beratus-ratus tahun silam, Italia tak seperti sekarang. Saat itu berdiri banyak entitas politik independen atau ”negara kota”. Mereka memiliki dewan pemerintahan sendiri dan setiap entitas bebas menentukan kebijakan luar negeri serta perdagangan internasional.
Persaingan di antara mereka tak terelakkan. Salah satu tolok ukur keunggulan adalah kesejahteraan dan jumlah penduduk. Jika sebuah ”negara kota” memiliki banyak warga miskin, sakit-sakitan, dan wilayahnya dihuni sedikit penduduk, negara itu terbelakang. Kunci bagi negara kota untuk sejahtera adalah perdagangan. Maka, penguasa negara kota harus memajukan perdagangan dengan Asia dan Eropa utara jika ingin sejahtera dan wilayahnya dihuni banyak penduduk.
Jadi, bisa dibayangkan, di tengah suara burung laut bersahut-sahutan, kapal-kapal sarat muatan dari Asia bersandar di pelabuhan negara kota di Italia. Kelasi turun dari kapal, mengikat tali di dermaga, bersalaman dengan petugas pelabuhan, dan menjelaskan muatan kapal. Tak berapa lama, sejumlah pekerja mengangkut barang keluar dari kapal.
Seperti dialami negara-negara sekarang, negara kota di Italia saat itu menghadapi wabah. Kedatangan kapal dari Asia tak hanya membawa barang dan kemakmuran, tetapi juga penyakit, seperti pes. Keberhasilan mencegah dan mengatasi wabah akan mengantar negara kota memenangi persaingan di antara mereka. Kesuksesan mencegah penularan penyakit yang dibawa kapal barang membuat negara kota terhindar dari kerugian berupa penduduk sakit dan meninggal.
Mark Harrison, dalam Contagion: How Commerce Has Spread Disease, menyebutkan, prinsip kebaikan publik tumbuh subur di antara negara kota di Italia. Kebaikan bagi warga negara kota—sejahtera dan sehat—akhirnya menjadi tujuan politik penguasa. Hal semacam ini sulit ditemukan di wilayah yang memiliki feodalisme kuat atau di daerah-daerah yang masih mengandalkan hubungan tuan tanah-buruh tani.
Dengan memegang prinsip kebaikan bagi publik tersebut, isu penanggulangan wabah menjadi agenda penting penguasa negara kota. Penguasa dianggap gagal jika wilayahnya dilanda wabah, dihindari kapal dagang, dan banyak penduduknya yang meninggal. Mengingat ancaman wabah yang terus ada sejak abad ke-14, negara kota pun berlomba-lomba membuat aturan pencegahan wabah, termasuk regulasi karantina kapal dagang. Dewan Sanitasi Verona, misalnya, pada 1580 mengeluarkan 282 surat keputusan (dekrit) terkait wabah. Dari semua dekrit ini, sebanyak 99 surat mengatur karantina produk impor dari wilayah terkena wabah.
Pelabuhan-pelabuhan di Italia selatan, seperti Napoli dan Palermo, tak ketinggalan. Mereka mendirikan karantina (lazaretto) di Laut Tengah atau Mediterania. Dengan lazaretto, kapal-kapal yang berasal dari lokasi wabah atau diperkirakan membawa penyakit menular dikarantina sebelum berlabuh.
Tampak jelas, di tengah ambisi mengejar kemakmuran, penguasa negara kota tetap menyadari bahwa wabah mematikan senantiasa mengancam. Situasi ini juga dialami wali kota, gubernur, perdana menteri, dan presiden di seluruh dunia sekarang. Kemakmuran perlu dikejar, tetapi wabah selalu mengancam sehingga layanan kesehatan, sistem sanitasi, dan pencegahan penyakit menular harus diurus sebaik mungkin. Hiduplah makmur sekaligus sehat atau bebas dari wabah.
Kesadaran memperhatikan kesehatan serta pencegahan wabah kian penting karena pada masa sekarang dan mendatang pandemi lebih mudah terjadi. Hal ini sejalan dengan pernyataan ahli penyakit menular dan bekas administratur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jonathan M Mann, dalam pengantar buku The Coming Plague: Newly Emerging Disease in a World Out of Balance (Laurie Garrett, 1994). Menurut dia, sejarah manusia akan ditandai dengan kemunculan berulang penyakit baru, perpindahan penyakit dari satu daerah ke daerah lain, kemunculan penyakit akibat teknologi, dan penyakit dari hewan gara-gara gangguan terhadap habitat alami.