Para pengelola pendidikan di banyak negara berpikir keras, bagaimana membuka lagi sekolah tanpa memicu penularan Covid-19. Seperti bidang-bidang lain, pendidikan saat pandemi tak akan sama dengan sebelumnya.
Oleh
LUKI AULIA
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda di berbagai negara membuat bukan hanya dunia medis yang kelabakan, tetapi juga dunia pendidikan. Pembuat kebijakan pendidikan, sekolah, guru, dan orangtua sama-sama merasakan dilema: tetap memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring atau membuka kembali sekolah. Pilihannya sulit karena kesehatan dan keselamatan anak menjadi taruhan.
Meski sulit, Wali Kota New York City, Amerika Serikat, Bill de Blasio, akhirnya memilih akan tetap membuka sekolah kembali, September mendatang, dengan sistem pembelajaran campuran (hibrida) antara belajar di sekolah dan belajar di rumah. Rencananya, sekitar 1,1 juta anak sekolah negeri akan belajar di sekolah selama dua hari dan tiga hari belajar di rumah.
Pengaturan ini dirancang untuk membatasi jumlah siswa dan guru berada di sekolah pada saat bersamaan agar tidak tertular Covid-19. Hanya skema itu yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti sekarang. "Kita berharap dan berdoa agar segera ada vaksin dan obat (penyakit ini)," kata De Blasio, Rabu (8/7/2020).
Ia memaparkan rencana itu setelah Presiden AS Donald Trump mengkritik rekomendasi Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) yang menyebutkan biaya untuk membuka sekolah kembali itu terlalu mahal dan tidak praktis. Trump menuding Partai Demokrat—rival dalam pemilu Presiden AS, November mendatang—sengaja menghendaki sekolah tutup terus karena kepentingan politik.
Untuk memaksa sekolah buka kembali, Trump mengancam akan menghentikan pembiayaan sekolah dari anggaran federal bagi sekolah yang tidak mau buka kembali. "Sekolah harus buka lagi saat musim gugur!!" cuit Trump dengan tulisan semua huruf kapital di akun Twitter-nya.
Protokol kesehatan
Untuk memastikan keselamatan anak, ketika akan masuk sekolah, seluruh siswa harus dites Covid-19. Siswa juga akan dibagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Meja dan kursi belajar mereka diatur berjarak masing-masing dua meter. Jika sekiranya akan sulit menjaga jarak fisik siswa, setiap meja akan dipasang pembatas transparan.
"Ini bukan lagi perkara sekolah harus buka lagi atau tidak, tetapi hanya masalah pengaturannya harus bagaimana," kata Betsy DeVos, Menteri Pendidikan AS.
Sebelum membuka sekolah lagi, New York akan memastikan seluruh gedung sekolah rutin disemprot disinfektan. Semua siswa juga harus mengenakan masker atau penutup wajah transparan serta menjaga jarak fisik ketika berada di dalam gedung. Namun, jika orangtua masih mengkhawatirkan keselamatan anaknya, siswa tetap diperbolehkan belajar di rumah melalui kelas-kelas daring.
Presiden Federasi Guru Bersatu, Michael Mulgrew, yang mewakili 133.000 guru dan karyawan di sekolah, mengatakan bahwa guru pada umumnya mendukung rencana itu meski belum terlalu jelas detailnya. Sampai kini belum jelas cara mengetes siswa dan staf. Selain itu, belum ada juga pelacakan kontak siswa jika nanti ditemukan kasus Covid-19. "Harus dipastikan betul setiap orang dan bangunan itu aman," ujar Mulgrew.
Perkara ini harus segera dicarikan solusinya mengingat hampir semua negara bagian di AS kini tengah merancang rencana membuka kembali sekolah setelah tutup sejak Maret lalu. Gubernur New York Andrew Cuomo mengatakan, keputusan untuk memberlakukan rencana pembukaan kembali sekolah itu akan diumumkan, Agustus mendatang.
Keputusan membuka kembali sekolah itu tidak akan mudah bagi negara bagian yang masih tinggi jumlah kasus Covid-19. Kasus positif Covid-19 di Arizona, misalnya, mencapai 26 persen dari total pengetesan, pekan lalu; 19 persen di Florida, dan 17 persen di South Carolina. Adapun kasus positif di New York sekitar 1 persen dari pengetesan.
Dimulai siswa SMA
Sementara AS masih menyusun rencana, siswa di Korea Selatan sudah masuk sekolah untuk pertama kalinya, Rabu lalu, tetapi baru siswa SMA. Semua siswa harus mengenakan masker. Sebelum mereka masuk ke kelas, guru harus mengukur suhu tubuh siswa dan meminta siswa membersihkan tangan dengan cairan pembersih.
"Ini fase terpenting karena siswa tetap harus belajar di sekolah sekaligus mencegah korona," kata Cho Hee-yeon, pengawas di Kantor Pendidikan Metropolitan Seoul, Korsel.
Namun, masih saja ada siswa yang lupa menjaga jarak fisik dengan temannya. Guru harus selalu mengingatkan mereka. Setiap hari ada tim pembersih sekolah yang bolak-balik menyemprotkan disinfektan ke gedung sekolah.
Sesuai protokol kesehatan di sekolah, setiap siswa dan guru wajib mengenakan masker kecuali saat makan siang. Mereka juga harus membersihkan meja dan kursi masing-masing yang berjarak 1 meter dari meja kursi sebelahnya. Jendela sekolah yang biasanya selalu ditutup, kini harus dibuka agar sirkulasi udara lancar.
Pemerintah Korsel memutuskan membuka sekolah secara bertahap dengan dimulai dari tingkat SMA. Berbeda dengan AS, Korsel sudah melacak jejak kondisi kesehatan guru dan siswa dengan memakai sistem pemeriksaan mandiri secara daring. Jika suhu tubuh seseorang mencapai 37,5 derajat Celcius, ia akan diminta untuk tetap tinggal di rumah.
Apabila ada siswa diketahui positif Covid-19, sekolah akan ditutup lagi dan kembali ke sistem pembelajaran jarak jauh dengan kelas daring sampai situasi aman kembali. Sampai sejauh ini, jumlah kasus di Korsel mencapai 11.110 kasus dengan 263 orang meninggal.
Kesehatan mental
Seperti Korsel, pemerintah China juga baru memperbolehkan siswa SMA kembali bersekolah sejak April lalu. Untuk memastikan virus tak menyebar, makan siang siswa tidak lagi disajikan di kantin sekolah, tetapi dibawa ke ruang kelas masing-masing. Semua siswa diimbau meminimalisasi interaksi dengan orang lain dan diminta konsentrasi makan saja.
"Membuka kembali sekolah itu tindakan yang bertanggungjawab bukan hanya untuk pendidikan anak, tetapi juga untuk kesehatan fisik dan mental anak," kata Feng Zhigang, kepala sekolah.
Lagi pula, lanjut Feng, jika berada di rumah terus, anak akan kekurangan kegiatan sosial yang dibutuhkan selama masa pertumbuhannya. Jika anak belajar daring terus, dikhawatirkan akan muncul banyak persoalan di masa depan.
Dengan pertimbangan yang sama, pemerintah New South Wales, Australia, juga membuka kembali sekolah. Untuk memastikan keselamatan siswa, setiap sekolah disediakan ribuan liter sabun cair dan cairan pembersih tangan. Jumlah siswa di dalam kelas juga dikurangi, begitu pula dengan kegiatan sekolah.
"Saya tahu banyak keluarga yang lega luar biasa. Pemerintah juga lega karena pendidikan sangat penting bagi siswa, terutama dengan sistem pembelajaran tatap muka," kata Gladys Berejiklian, Menteri Besar New South Wales.
Keluarga lega karena tak semua orangtua bisa mendampingi anaknya belajar daring. Apalagi, bagi keluarga miskin, desakan agar anak kembali sekolah makin tinggi. Untuk mengakomodasi tuntutan itu, situs majalah Science, 7 Juli 2020, menyebut banyak negara mulai dari Afrika Selatan sampai Finlandia dan Israel yang menggunakan strategi sama seperti di New York.
Di Thailand, sekolah-sekolah telah dibuka kembali sejak 1 Juli lalu. Sebelum masuk sekolah lagi, para siswa diperintahkan menjalani karantina mandiri selama 15 hari sebelumnya. Di ruang kelas, kertas karton bekas perangkat pemilu digunakan sebagai pembatas untuk memastikan jaga jarak.
Upaya pencegahan penyebaran korona di sekolah ini sangat penting. Tanpa hal itu, sekolah dikhawatirkan bisa menjadi tempat berjangkitnya wabah korona. Hanya saja, sampai sekarang belum ada hasil penelitian yang bisa memastikan anak-anak lebih beresiko terinfeksi Covid-19. Terlepas dari itu semua, segala tindakan pencegahan wajib dilakukan agar semua anak bisa kembali bersekolah dan mendapatkan pendidikan tanpa kecuali. (REUTERS/AFP/AP)