Kepemimpinan politik di Singapura seharusnya lebih dari sekadar satu keluarga atau satu orang. Bukti menunjukkan, politik dinasti menyebabkan pemerintahan yang buruk.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
Cara termudah memahami pemilu Singapura, Jumat (10/7/2020) ini, ialah membandingkannya dengan pemilu Indonesia era Orde Baru: pemenangnya sudah diketahui sebelum pemungutan suara dimulai.
Banyak telaah dan perdebatan hanya dengan satu keniscayaan: Partai Aksi Rakyat (PAP) akan kembali memenangi pemilu untuk ke-13 kalinya, belum pernah kalah sejak Singapura berdiri.
Di antara 11 partai peserta Pemilu 2020, hanya PAP yang mengisi semua 31 daerah pemilihan (dapil) dengan mengajukan 93 calon anggota legislatif (caleg) sesuai jumlah total kursi legislatif yang diperebutkan.
Sekretaris Jenderal PAP sekaligus Perdana Menteri (PM) Lee Hsien Loong, yang telah menjadi anggota parlemen sejak 1984, ikut diajukan. Pemilu 2020 akan menjadi pemilu ke-9 bagi anak tertua Lee Kuan Yew, PM pertama Singapura, itu.
Partai yang disebut sebagai calon oposisi terkuat, Partai Kemajuan Singapura (PSP), hanya mengajukan 24 caleg di 9 dapil. Lee Hsien Yang, anak bungsu Lee Kuan Yew, tidak mendaftar. Padahal, keanggotaannya diumumkan PSP beberapa hari menjelang tahapan pemilu dimulai.
Ia merujuk pada fakta ayah dan kakaknya yang bergantian memimpin PAP dan Singapura. ”Kepemimpinan politik di Singapura seharusnya lebih dari sekadar satu keluarga atau satu orang. Bukti menunjukkan politik dinasti menyebabkan pemerintahan yang buruk,” ujarnya.
Oposisi lain yang dinilai cukup kuat adalah Partai Pekerja yang menduduki 6 dari 89 kursi di parlemen Singapura 2015-2020. Sayangnya, Partai Pekerja hanya mengajukan 21 caleg di 6 dapil.
Padahal, partai itu mendaftarkan 28 caleg pada Pemilu 2015. Adapun Partai Demokratik Singapura malah hanya mendaftarkan 11 caleg di 5 dapil. Partai-partai lain hanya mendaftarkan lebih sedikit caleg di lebih sedikit dapil.
Hari ini, partai-partai itu akan memperebutkan 93 kursi di Parlemen Singapura dari hasil Pemilu 2020. Untuk mendapat setiap kursi, caleg dan partai harus merayu 2,6 juta pemilik suara di negara yang mewajibkan pemilih menggunakan hak pilihnya itu.
Tantangan oposisi
Sekretaris Jenderal PSP Tan Cheng Bock pun mengakui, partai oposisi tidak mungkin bisa membentuk pemerintahan setelah pemilu tahun ini. Ia berusaha realistis, bukan pesimistis, karena gabungan beberapa faktor.
Bahkan, Elvin Ong dari University of British Columbia (UBC) mengungkap hal lebih getir. Pakar Singapura pada Institut Kajian Asia UBC itu mengatakan, pertanyaan menjelang pemilu hari ini bukanlah oposisi dapat berapa kursi.
Kepada The Star, ia menyebut bahwa pertanyaannya adalah apakah oposisi masih bisa mendapat kursi kali ini?
Sistem Pemilu Singapura memungkinkan suatu partai memenangi semua kursi di parlemen. Partai peraih suara terbanyak di setiap dapil akan otomatis memenangi semua kursi di 31 dapil itu.
Kamboja, Malaysia, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Singapura adalah negara-negara ASEAN yang rutin menggelar pemilu sekaligus nyaris tidak pernah berganti pemerintahan selama puluhan tahun.
Politisi senior PAP, Indranee Rajah, secara terbuka mengatakan bahwa pemilih tidak perlu memilih partai selain PAP jika alasannya hanya mencari oposisi. Sebab, sistem Singapura mengalokasikan kursi parlemen khusus untuk partai yang kalah pemilu.
Sistem yang dikenal sebagai anggota parlemen tidak dipilih (NCMP) itu diberlakukan sejak 1984. Sejak itu hingga kini, mekanisme tersebut ditolak oposisi.
Oposisi juga menghadapi tantangan lain, yakni intaian jeratan hukum. Sejak Oktober 2019, Singapura mengesahkan undang-undang perlindungan dari manipulasi dan kabar kibul daring (Pofma).
”Memang penting mempertanggungjawabkan pernyataan tidak akurat. Pernyaannya, bagaimana (caranya) Pofma membalikkan yang seharusnya perdebatan politik dan kampanye menjadi masalah yang dipantau negara,” kata pengamat Singapura dari University of Queensland, Garry Rodan, sebagaimana dikutip South China Morning Post.
Dengan semua faktor itu, Singapura berpeluang tetap menyaksikan PAP kembali melanjutkan pemerintahan dengan Lee Hsien Loong sebagai PM selepas pemilu Juli 2020. Loong bolak-balik menyatakan akan pensiun sebagai PM pada usia 70 tahun atau pada 2022. (AFP/REUTERS)