Prahara Timur Tengah Versi Buku John Bolton
Buku ”The Room Where It Happened: A White House Memoir” karya John Bolton, yang terbit pada 23 Juni 2020, cukup menggegerkan ranah politik di Amerika Serikat dan pemerhati internasional di mana pun.

Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas
Buku The Room Where It Happened: A White House Memoir karya John Bolton yang terbit pada 23 Juni 2020 cukup menggegerkan ranah politik di Amerika Serikat dan pemerhati internasional di mana pun. Bolton merupakan mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat.
Segera bisa ditebak, siapa pun akan memiliki asumsi awal bahwa buku tersebut membongkar rahasia yang terjadi di Gedung Putih dan kelemahan atau kekeliruan kebijakan Presiden AS Donald Trump, baik yang terkait kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.
Asumsi itu menjadi sebuah kewajaran, mengingat jabatan John Bolton sebagai penasihat keamanan nasional AS pada 2018-2019, sebuah posisi jabatan yang sangat strategis. Trump menunjuk Bolton sebagai penasihat keamanan pada 9 April 2018. Bolton kemudian mengundurkan diri pada 10 September 2019 karena sering berbeda pendapat dengan Trump terkait isu-isu luar negeri.
Bolton lalu menuangkan kisah pengalamannya bekerja bersama Trump di Gedung Putih selama 17 bulan ke dalam bukunya, The Room Where It Happened: A White House Memoir yang terdiri dari 579 halaman.
Bolton dalam bukunya itu mengungkapkan, begitu ditunjuk sebagai penasihat keamanan nasional dan masuk lingkaran Gedung Putih, sudah merasakan bahwa isu Timur Tengah menjadi prioritas dalam kebijakan politik luar negeri dan pandangan dalam konteks keamanan nasional AS pada pemerintah Presiden Trump.

Penasihat keamanan AS John Bolton (kanan) mendengarkan Presiden AS Donald Trump saat memberi keterangan pers di Gedung Putih, 13 Mei 2019. Setelah mundur dari jabatannya, Bolton menulis buku The Room Where It Happened: A White House Memoir, yang mengungkap rahasia Gedung Putih.
Hal itu sangat wajar, lantaran Presiden Trump sejak masa kampanye pemilihan presiden (pilpres), hingga ia menang dalam laga pilpres itu, sangat mengandalkan jualan isu-isu Timur Tengah. Pada masa kampanye pilpres, Trump sudah lantang mau menarik pasukan AS dari Irak dan Suriah, mundur dari kesepakatan nuklir dengan Iran, serta mencapai kesepakatan damai Israel-Palestina.
Namun, tutur Bolton, cara berpikir Trump tentang Timur Tengah ibarat gugusan pulau-pulau yang tercerai berai dengan menyerahkan sepenuhnya sub-sub isu Timur Tengah, seperti isu Israel-Palestina, Suriah, Iran, Irak, Turki, dan Libya kepada para pembantunya dari kalangan menteri dan penasihat khusus.
Menurut Bolton, Presiden Trump tidak memiliki pandangan terpadu dan permanen yang diusung oleh tim terpadu pula terkait isu-isu Timur Tengah dengan berpijak pada kepentingan nasional AS. Hal itu mengantarkan kebijakan Trump sering terlihat kontroversial dan kerap berbeda pendapat dengan para pembantu di bawahnya dari kalangan menteri dan penasihat khusus. Bahkan kebijakan Trump sering berubah-ubah antara hari ini, esok, atau pekan depan atas satu isu saja.
Bolton mengungkapkan, keputusan kontroversial pertama Trump terkait isu Timur Tengah adalah ketika menunjuk penasihat politik dan sekaligus menantunya, Jared Kushner, untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang sangat rumit. Seperti diketahui, Jared Kushner yang kelahiran 10 Januari 1981, atau baru berusia 39 tahun, sebelumnya tidak memiliki pengalaman di karier diplomasi.
Penunjukan Kushner saat itu mengejutkan banyak pihak, termasuk PM Israel Benjamin Netanyahu karena dinilai masih terlalu muda dan kurang pengalaman untuk menangani isu besar seperti konflik Israel-Palestina. Netanyahu sempat berkelakar, tokoh diplomat sekelas Henry Kissinger saja gagal menyelesaikan konflik Israel-Palestina, apalagi Kushner yang masih anak bawang.

Penasihat Senior Gedung Putih Jared Kushner (tengah) tiba di Hotel Four Seasons, Manama, lokasi konferensi internasional, untuk memaparkan proposal konsep baru guna mendamaikan Palestina-Israel di Manama, Bahrain, Selasa (25/6/2019).
Kushner kemudian dikenal sebagai arsitek lahirnya proposal damai AS yang kontroversial dan ditolak masyarakat internasional. Proposal damai itu diumumkan Presiden Trump pada Januari lalu dan dikenal dengan nama ”Transaksi Abad Ini”.
Salah satu klausul dalam proposal damai AS yang sedang viral saat ini adalah Israel diizinkan menganeksasi Lembah Jordan dan area permukiman Yahudi di Tepi Barat dengan imbalan Palestina mendapat wilayah di Gurun Negev yang dekat dengan Jalur Gaza dan perbatasan Israel-Mesir.
Klausul itu kini ditentang keras oleh masyarakat internasional karena akan mengubur solusi dua negara Israel dan Palestina. Banyak pengamat menyebut, lahirnya Transaksi Abad Ini merupakan gambaran tentang kurang matangnya Jared Kushner.
Menurut Bolton, pada akhir masa jabatan Trump periode pertama ini, situasi Timur Tengah dalam keadaan terburuk akibat kebijakan Trump atas kawasan tersebut.
Bolton menyebut, banyak pihak yang menyalahkan Presiden Barack Obama karena tidak melakukan intervensi yang memadai di Timur Tengah. Namun, Trump sesungguhnya lebih buruk lagi karena melakukan intervensi tanpa strategi di Timur Tengah.
Kini situasi kawasan itu pada era Presiden Trump jauh lebih kacau lagi. Banyak mantan pejabat tinggi AS yang memperingatkan Trump tentang dampak buruk jangka panjang dari kebijakan Trump di Timur Tengah saat ini.

Seorang tentara Israel mengarahkan senjatanya ke Palestina yang memprotes rencana Israel untuk mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, di Lembah Jordan, 5 Juni 2020.
Bolton mengungkapkan tentang pendapat juru runding AS di Timur Tengah pada era Presiden AS Bill Clinton, Aaron David Miller, yang mengkritik keras kebijakan Trump di Timur Tengah.
Menurut Miller, seperti dikutip Bolton, pengakuan Trump atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan merupakan petaka dan membuyarkan solusi dua negara Israel dan Palestina yang bisa berdampingan secara damai.
Seperti dimaklumi, Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan pada Maret 2019. Bolton mengatakan, tindakan ceroboh Trump itu membahayakan kepentingan nasional AS dan telah mematikan proses perdamaian di Timur Tengah.
Mantan penasihat keamanan nasional AS juga mengkritik kebijakan Trump yang mundur dari kesepakatan nuklir Iran yang dicapai pada tahun 2015. Trump mengumumkan mundur dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018.
Bolton mengatakan, aksi mundur AS secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran itu memberi dalih kepada Iran untuk kembali melakukan aktivitas nuklirnya, baik secara terang-terangan maupun rahasia.
Hal itu juga berandil atas terjadinya situasi tegang di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan kawasan Arab Teluk saat ini. AS dan Eropa pun juga pecah karena Eropa masih sangat mendukung kesepakatan nuklir tersebut.

Presiden AS Donald Trump menandatangani dokumen yang berisi penerapan kembali sanksi terhadap Iran, setelah mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran di Gedung Putih, Washington DC, Selasa (8/5/2018).
Bolton menuturkan, Trump juga melakukan kesalahan besar di Suriah. Kesalahan Trump itu dalam bentuk menarik beberapa ribu tentara AS dari Suriah utara dan mengizinkan Turki masuk ke Suriah utara. Sebaliknya, Trump malah mengirim pasukan AS ke Deir el-Zor dan Al-Hasakah di Suriah Timur untuk menguasai ladang minyak dan gas di wilayah itu.
Kebijakan Trump di Suriah utara dan timur itu memaksa Menteri Pertahanan AS James Mattis mengundurkan diri pada Desember 2018, sebagai protes atas kebijakan Trump itu. Akibat kebijakan Trump tersebut, kata Bolton, Turki bebas mengirim pasukan ke Suriah utara dan timur laut juga Provinsi Idlib dengan dalih mengejar milisi Kurdi dari Unit Perlindungan Rakyat (YPG).
Turki selama ini menuduh YPG adalah kepanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang ditetapkan sebagai organisasi teroris di Turki. Dampaknya, milisi-milisi radikal seperti Hayat Tahrir al-Sham dan Jubhat Tahrir Suriah yang sering main mata dengan Turki menemukan tempat perlindungan di Idlib dan Suriah utara.
Hal itu, tutur Bolton, memperlambat terjadinya solusi politik konprehensif di Suriah. Ia lalu menuduh, kebijakan Trump di Suriah berandil besar atas terus tercabik-cabiknya wilayah Suriah sampai saat ini.
Bolton menyebut, terus memburuknya situasi di Suriah sampai saat ini, akhirnya berdampak turut memburuknya situasi di Irak utara, karena milisi YPG kini banyak lari ke Irak utara. Pesawat tempur Turki terus mengejar dan menggempur milisi YPG yang lari ke Irak utara dari Suriah utara.

Konvoi kendaraan militer Amerika Serikat terlihat di Dohuk, Irak, setelah ditarik keluar dari Suriah, Senin (21/10/2019).
Bolton juga menuduh Trump berandil atas semakin memburuknya stuasi di Libya saat ini akibat Trump tidak memiliki kebijakan yang jelas terkait isu Libya.
Seperti diketahui, Trump menelepon Jenderal Khalifah Haftar pada 19 April 2019, ketika pasukan Haftar mengepung kota Tripoli. Tindakan Trump menelepon Khalifah Haftar itu dianggap sebagai bentuk dukungan Trump atas aksi pasukan Haftar mengepung Tripoli sehingga Haftar semakin getol menyerang Tripoli saat tu.
Namun terakhir ini, Trump seperti berbalik arah dengan melakukan komunikasi dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj.
Africom (satuan komando AS di Afrika) pun sering merilis hasil deteksi melalui satelit gerakan Rusia di Libya yang mendukung Khalifah Haftar. Aksi Africom itu dinilai sebagai bentuk dukungan terhadap GNA dan Turki di Libya.
Buku karya John Bolton itu menjadi salah satu buku terlaris di AS saat ini karena banyak membongkar rahasia Gedung Putih selama pemerintahan Trump.