Bareskrim Polri tak semata menerapkan pasal tindak pidana korupsi pada Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru tahun 2003. Maria juga dijerat dengan pasal pencucian uang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Polri tidak semata menerapkan pasal tindak pidana korupsi pada Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru tahun 2003. Maria juga dijerat dengan pasal pencucian uang. Untuk itu, polisi bakal menelusuri aset Maria, dan bukan tidak mungkin, aset yang diduga terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya bakal disita penyidik.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (10/7/2020), mengatakan, pihaknya akan menerapkan dua pasal terhadap Maria.
Pertama, Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana seumur hidup. Kedua, Pasal 3 Ayat 1 UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Berkaitan dengan hal itu, pihaknya telah memeriksa 11 saksi yang juga terpidana kasus pembobolan kas Bank BNI tersebut, untuk mendalami peran dan keterlibatan Maria. Selain Maria, kala itu terdapat 15 tersangka yang ditetapkan oleh Polri dalam kasus pembobolan kas bank BNI.
”Kami akan melanjutkan pemeriksaan saksi-saksi yang bisa memperkuat tentang peran dan keterlibatan dari saudari MPL (Maria Pauline Lumowa). Kami juga melakukan tracking asset (melacak aset) terhadap aliran dana yang masuk kepada saudari MPL, yang tentunya nanti akan laksanakan kegiatan penyitaan,” ujar Listyo.
Dalam konferensi pers, Listyo didampingi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono, serta Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika. Maria juga dihadirkan dalam jumpa pers. Ia baru selesai menjalani tes cepat Covid-19 dan tes usap (swab test). Hasilnya, Maria negatif Covid-19.
Seperti diberitakan sebelumnya, Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru melalui surat kredit (L/C) fiktif, tiba di Tanah Air, Kamis siang setelah diekstradisi dari Serbia. Ia diduga merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun dan berstatus buronan sejak 2003.
Tersangka lain
Listyo pun tak menutup kemungkinan jika dalam proses penyidikan muncul tersangka lagi.
”Kami tentunya harus melaksanakan pemeriksaan secara lebih mendalam terhadap saudari MPL. Nanti dari situ baru bisa kami ketahui di mana yang bersangkutan punya aset atau pihak-pihak lain barangkali yang terkait yang saat ini belum sempat ditersangkakan,” ujar Listyo.
Menurut Listyo, sejak Maria ditetapkan sebagai tersangka pada 2003, Polri telah melakukan pelacakan dan penyitaan aset Maria. Hingga saat ini, total nilai aset yang dilelang sebesar Rp 132 miliar. Aset Maria kala itu didapatkan dalam bentuk barang bergerak, barang tidak bergerak, dan uang.
”Tentunya ini menjadi bagian yang akan kami dalami terkait dengan sisa dari pencairan pembobolan bank BNI,” kata Listyo.
Listyo pun berjanji, pihaknya akan melaksanakan pemeriksaan terhadap Maria secara profesional, transparan, dan akuntabel. Penegasan ini, menurut dia, penting diungkapkan karena sebelumnya kuasa hukum Maria berupaya menyuap otoritas Pemerintah Serbia agar kliennya bebas dari jeratan hukum.
Listyo juga mengatakan, pihaknya telah berkirim surat kepada Kedutaan Besar Belanda terkait kasus Maria. Ada dua hal yang disampaikan. Pertama, pemberitahuan penangkapan dan penahanan warganya. Kedua, permintaan kepada Kedubes Belanda agar memberikan pendampingan hukum dalam rangka pemeriksaan terhadap Maria.
Kronologis kasus
Dalam jumpa pers tersebut, Listyo sekaligus menjelaskan secara detail kronologis kasus pembobolan bank BNI yang dilakukan oleh Maria dan 15 terpidana lain pada 17 tahun silam. Pembobolan kas bank BNI dilakukan dengan modus dokumen surat kredit fiktif senilai Rp 1,2 triliun, kurs pada tahun 2003.
Dari 15 terpidana yang divonis pengadilan pada 2004-2005, rata-rata hukuman penjara sekitar 16 tahun penjara. Di antaranya, ada yang sudah keluar dari penjara dan ada pula yang sudah meninggal.
Dari putusan pengadilan diketahui, fasilitas kredit yang dicairkan sejumlah Rp 1,2 triliun digunakan untuk membiayai investasi dan perdagangan kepada 10 debitor, yang pada saat itu terkenal dengan PT Gramarindo Group. Adapun 10 debitor itu terdiri dari perusahaan-perusahaan berinisial PT GMI, PT FM, PT OMI, PT ST, PT TU, PT T, PT S, PT EF, PT BM, dan PT PCP.
Pada saat itu, ada enam slip surat kredit jatuh tempo dan ternyata tak bisa dicairkan. Kemudian, terhadap 35 surat kredit yang ada, dilaporkan ke kepolisian. Sampai saat ini, 35 surat kredit tersebut tidak bisa dicairkan.
Belakangan diketahui, Maria merupakan seorang warga negara asing dan menjadi personal garansi terhadap 41 fasilitas surat kredit yang tertuang di dalam perjanjian kredit oleh 10 debitor tersebut. Namun, Maria lari ke luar negeri. Polri pun menerbitkan daftar pencarian orang dan dilanjutkan dengan menerbitkan red notice pada 2003.
Pada 2009, Maria diketahui berada di Belanda. Polri pun berupaya mengekstradisi Maria pada 2009 dan 2014. Namun, upaya ini kandas. Polri juga pernah mencoba untuk melakukan upaya hukum lain, seperti mengajukan persidangan in absentia, tetapi ternyata Maria tetap harus dihadirkan. Sejak saat itu, Polri terus melakukan koordinasi dengan Interpol di luar negeri.
Satu tahun yang lalu, saat Maria melintas dari Hongaria dan masuk ke Belgrade (Serbia), ia terdeteksi oleh Interpol. Interpol Belgrade pun segera menghubungi Interpol Indonesia. Kemudian, upaya ekstradisi dilakukan antara tim dari Interpol, Bareskrim, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Kunci keberhasilan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al-Habsy, mengatakan, kunci keberhasilan perburuan buronan terletak pada kemauan dan integritas para penegak hukum. ”Cara dan tekniknya bisa dicari. Kuncinya, kemauan dan integritas,” katanya.
Hal serupa diharapkan diterapkan dalam perburuan buronan lainnya. Salah satunya terpidana perkara hak tagih utang atau cessie Bank Bali yang telah berstatus buronan sejak 2009, Joko Tjandra.