Waktu yang Singkat Membangun Kekritisan di Singapura
Pandemi Covid-19 memaksa kampanye pemilu Singapura dilakukan secara digital. Dengan waktu kampanye hanya sembilan hari, kampanye digital tidak akan cukup untuk mengubah pilihan warga.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Keputusan Pemerintah Singapura untuk memajukan jadwal pemilihan umum, dari sebelumnya tahun 2021 menjadi Juli 2020, mengejutkan banyak pihak. Partai oposisi, yang tengah membangun kedekatan dengan warga, termasuk menanamkan ide-ide pembaruan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, tidak memiliki pilihan lain. Kampanye digital adalah cara pilihan yang efektif di tengah pandemi.
Sebagai newbie dalam politik, sebutan bagi orang baru di sebuah lingkungan politik, Leong Mun Wai bersama partai tempatnya bernaung, Progress Singapore Party (Partai Kemajuan Singapura), menginginkan perubahan dalam kebijakan pemerintah soal pengangguran. Partai yang baru didirikan pada Maret 2019 menilai kebijakan pemerintah untuk membuka pintu lebar bagi pekerja asing, tidak tepat. Kebijakan itu meminggirkan warga Singapura, yang juga membutuhkan pekerjaan. Disparitas sosial, warga Singapura dengan pekerja asing, melebar.
Cara kampanye konvensional tidak banyak membantu di tengah pandemi Covid-19. Kampanye digital, melalui televisi, radio, media daring, atau bahkan kampanye menggunakan media sosial lainnya dilakukan untuk mengetuk dan membangun wacana yang sama dengan para calon pemilih.
Leong, yang memiliki pengalaman hampir 30 tahun bekerja di industri keuangan pada perusahaan keuangan multinasional, tak canggung untuk tampil di layar telepon dan berdiskusi tentang programnya. Dalam beberapa kesempatan, dia tampil baik menjelaskan pandangan partainya dan berargumen tentang hal itu.
Tidak hanya Leong yang turun ke gelanggang politik untuk mencoba mendorong perubahan di Singapura. Jamus Lim, seorang profesor dan pengajar di Universitas Harvard, memilih turun ke gelanggang politik dengan cita-cita menyelamatkan masa depan anak-anak Singapura. Bergabung dengan Partai Pekerja, dia menyoroti masalah pendidikan, yang menurut dia, tidak memberikan kesempatan anak-anak untuk menjadi kreatif.
Sama seperti Leong, untuk menyampaikan idenya, dia harus tampil, termasuk berdebat dengan Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan di televisi. Penampilannya cukup mendapat sambutan. Namun, apakah ide-idenya bisa sampai kepada warga?
Pritam Singh, Ketua Partai Pekerja, dikutip dari Nikkei Asian Review, mengatakan, kandidat partai oposisi terancam ”tergusur” dari ruang pemikiran publik karena larangan mengadakan pertemuan dengan warga dalam jumlah yang besar. Sebuah hal yang pada masa lalu menjadi cara untuk menunjukkan kekuatan dan pengaruh. Apalagi dengan waktu kampanye yang hanya sembilan hari, dinilai Singh, tidak mencukupi.
Level yang sama
Pandangan yang berbeda disampaikan politisi partai berkuasa Singapura, Kasiviswanathan Shanmugam. Dikutip dari South China Morning Post, Menteri Urusan Dalam Negeri ini menilai, antara partainya dan partai oposisi kini memiliki dan berada di lapangan bermain yang sama. Mereka harus merebut pikiran dan hati rakyat melalui platform digital setelah pandemi Covid-19 merebak.
”Kita harus beradaptasi dengan dunia digital. Kita harus melakukan yang terbaik tanpa harus kehilangan inti dari pesan kita kepada warga,” katanya.
Namun, pernyataan Shanmugam tidak sepenuhnya tepat. Partai Aksi Rakyat (People Actions Party), yang telah berkuasa sejak berdiri, memiliki keuntungan di dalam dunia digital. UU Misinformasi yang diberlakukan sejak tahun lalu membuat oposisi tidak bebas bergerak untuk mengajukan wacana di dunia maya.
Ketua Partai Suara Rakyat Liem Tan, misalnya. Sebuah postingannya di laman media sosial tentang biaya pendidikan dianggap sebagai pernyataan yang salah dan menyesatkan. Pemerintah Singapura mengecap pernyataan Tan di media sosial itu sebagai sebuah hal yang salah dan menyesatkan serta meminta agar penyedia platform digital itu menurunkan video tersebut.
Ang Peng Hwa, profesor ilmu komunikasi di Universitas Teknologi Nanyang, mengatakan, kampanye digital membuat pemilu kali ini semakin sulit diprediksi. PAP sebagai partai penguasa pernah mengalami penurunan dukungan pada tahun 2011 ketika kampanye daring sudah mulai diperbolehkan. Namun, empat tahun kemudian, perolehan suara mereka kembali menanjak di tahun 2015, mencapai hampir 70 persen.
Menurut Ang, yang mungkin akan menentukan ketertarikan warga calon pemilih nantinya adalah percakapan-percakapan pada aplikasi digital yang lebih mikro dan tertutup, seperti Whatsapp atau Telegram dan sejenisnya. Meski media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan atau Twitter berpengaruh, kelompok-kelompok percakapan kecil dinilainya akan lebih banyak memiliki peran untuk mengubah peta pemilihan kali ini.
Penggunaan-penggunaan slogan (tagline) dengan pilihan kata yang menarik atau video yang menggugah juga menjadi salah satu hal yang membuat peta pemilihan bisa berubah.
Politisi senior dan pemimpin PSP, Tan Cheng Bok, misalnya, memilih slogan ”woke” atau terbangun. Di dalam kampanyenya, dia menyatakan: ”Kalian (warga Singapura) mengajarkanku sebuah kata yang baru: bangun. Itu artinya sebelumnya aku pensiun, dan kini aku terbangun”.
Felix Sim, analis politik universitas swasta SIM Global Education, mengatakan, kampanye digital mungkin tidak akan berdampak pada pemilih konservatif atau para pemilih tua dan berusia lanjut. Kampanye digital, seperti yang dilakukan oleh Tan, menurut dia, akan dinikmati para pemilih muda atau para pemilih pemula. (AFP)