Dominasi Satu Partai di Singapura dan Isu Suksesi Menjelang Pemilu
Sekitar 2,65 juta warga Singapura yang masih dalam situasi pandemi Covid-19 menjalani pemilihan umum, Jumat (10/7/2020). Tak banyak harapan bakal muncul perubahan.
Partai Aksi Rakyat (PAP) pimpinan PM Lee Hsien Loong diperkirakan akan tetap memimpin. Menarik untuk melihat, apa yang membuat PAP begitu dominan sejak negara itu merdeka tahun 1965?
Sudah lebih dari lima dekade, PAP berkuasa di Singapura. Usia partai yang dimotori Lee Kuan Yew, bapak pendiri dan PM pertama Singapura itu, bahkan lebih tua dari negaranya. PAP berdiri tahun 1954, sedangkan Singapura merdeka tahun 1965. Mampu berkuasa selama lebih dari lima dekade, dengan dua kali pergantian pemimpin, tentu menjadi pencapaian tersendiri.
Ketika beberapa rezim di Asia Tenggara—kecuali Hun Sen yang berkuasa di Kamboja sejak 1980-an—sudah tumbang atau digeser kekuatan lain, PAP masih terus mendominasi lanskap politik di Singapura dan belum terlihat ada tanda-tanda bakal tergantikan.
Di bawah dominasi PAP sejak merdeka sampai sekarang, Singapura baru memiliki tiga perdana menteri, yakni Lee Kuan Yew, Goh Chok Tong, dan Lee Hsien Loong, anak Lee Kuan Yew. Kekuasaan PAP semakin kuat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Singapura yang cepat hingga menjadi negara makmur.
Namun, ada beberapa faktor yang membuat partai-partai politik yang lain sulit menandingi PAP, seperti model dan sistem pemilu yang unik, pembatasan dan keterbatasan oposisi melalui sistem itu, keterbelahan oposisi, serta masalah-masalah hukum.
Memilih atau memberikan suara dalam pemilu di negara bekas koloni Inggris itu wajib hukumnya. Sekitar 2,65 juta jiwa sudah tercatat sebagai pemilih. Sistem pemilu Singapura secara umum menggunakan model first-past-the-post Westminster. Kandidat yang memenangi suara terbanyak di setiap daerah pemilihan akan terpilih, tetapi jumlah kursi yang diperoleh partai tidak proporsional dengan perolehan suara. Salah satu contohnya, hal ini terjadi pada Pemilu 2015. Saat itu, PAP ”hanya” mengumpulkan 69,9 persen suara, tetapi meraup sekitar 93 persen kursi parlemen.
Baca juga: Antisipasi Ekonomi dan Taktik Pemilu, Singapura Siap Dongkrak Belanja Publik
Pemilu Singapura juga unik. Di beberapa daerah pemilihan, kandidat maju dalam pencalonan melalui tim atau kelompok beranggotakan hingga enam orang, minimal salah satu anggota kelompok itu berasal dari warga minoritas. Sistem ini dirancang agar setiap ras etnis yang ada di Singapura terwakili. Namun, masalahnya, sebagian partai oposisi kesulitan menjaring kandidat-kandidat yang mewakili suatu komunitas akibat postur partai yang kecil dan minim sumber daya.
Di sisi lain, partai penguasa juga sensitif terhadap perubahan perolehan suara. Setelah pada 2011 hanya memperoleh 60 persen suara, pencapaian terburuk mereka, PAP mempercepat pembatasan tenaga kerja asing untuk meredakan kegelisahan publik terkait isu pekerja migran dan lapangan pekerjaan. Masalah serupa terjadi saat kampanye tahun ini ketika Singapura bersiap menghadapi resesi terparah gara-gara pandemi Covid-19.
Merugikan oposisi
Kelompok-kelompok pegiat HAM, seperti Para Anggota Parlemen ASEAN untuk HAM, sudah lama mengamati proses-proses lain dalam pemilu di Singapura yang dianggap merugikan oposisi. Sistem pembagian daerah pemilihan, misalnya, kerap direvisi dengan alasan untuk menyesuaikan dengan menunjukkan pertumbuhan dan pergeseran populasi. Namun, proses revisi itu tidak jelas. Beberapa tokoh oposisi juga menuduh ada persekongkolan dalam proses itu.
Masalah lain yang disorot, yakni perdana menteri boleh meminta diadakan pemilu secara mendadak, tentu dengan persetujuan presiden. Ini semakin mempersulit kubu oposisi. Waktu persiapan mereka akan mepet, sementara partai penguasa sudah mempunyai ancang-ancang sebelumnya. Bahkan, masa kampanye untuk pemilu 10 Juli besok pun hanya sembilan hari.
Belum lagi masalah biaya operasional yang juga menghambat oposisi. Setiap orang setidaknya harus menyiapkan setoran pemilu atau semacam uang DP sebesar 9.675 dollar AS (Rp 139 juta) untuk bisa mencalonkan diri. Padahal, di Inggris saja ”hanya” 623 dollar AS (Rp 8,9 juta). Selain itu, agar bisa kembali atau balik modal uang DP-nya, mereka juga harus memenangi lebih dari seperdelapan suara dari jumlah total suara.
Dengan segala macam kesulitan itu, oposisi bisa patah arang. Pada pemilu tahun ini akan ada 11 partai politik yang bertarung. PAP akan mengajukan calon untuk mengisi 93 kursi, Partai Kemajuan Singapura (24 kursi), Partai Pekerja (21 kursi), dan Partai Demokratik Singapura (11 kursi). Sisanya akan mengajukan untuk 10 kursi atau kurang dari 10 kursi. Pengamat menilai partai-partai oposisi cenderung hanya berusaha melawan dominasi PAP, bukan menawarkan pemerintahan alternatif yang layak.
Keuntungan lain bagi partai berkuasa adalah media lokal mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Media di Singapura biasanya mendukung kebijakan pemerintah pusat dan daerah, bahkan pada masa pemilu.
Baca juga: Pengadilan Singapura Tolak Gugatan Oposisi Terkait UU Antiberita Bohong
Persoalan lain yang dihadapi kelompok oposisi di Singapura adalah jerat masalah hukum. Tokoh-tokoh oposisi, termasuk mendiang JB Jeyaretnam dan Chee Soon Juan, pernah dituntut oleh anggota-anggota PAP dan dibuat bangkrut. Para pemimpin PAP beralasan gugatan hukum dalam kasus pencemaran nama baik terhadap tokoh oposisi itu harus dilakukan untuk melindungi reputasi mereka.
Saat ini, jerat hukum yang bisa menghadang oposisi adalah pemberlakuan Undang-Undang Antihoaks yang kontroversial. Beberapa tokoh oposisi belum lama ini sudah terjerat oleh undang-undang itu.
Isu suksesi
Karena itu, mengingat hampir dapat dipastikan tidak akan ada perubahan lanskap politik pada pemilu pekan ini, perhatian pada Pemilu Singapura, antara lain, akan lebih tertuju pada isu suksesi atau figur calon pengganti Lee Hsien Loong. Satu nama yang belakangan santer digadang-gadang untuk disiapkan menggantikan Lee adalah Menteri Keuangan Heng Swee Keat. Tahun lalu, Heng (59) dinaikkan jabatannya sebagai deputi perdana menteri. Lee pernah mengatakan, dirinya akan mengundurkan diri beberapa tahun lagi.
Bagi Heng, pemilu pekan ini menjadi ujian seberapa besar dan kuat publik Singapura memberikan dukungan kepadanya. Apalagi, kali ini ia bertarung di daerah pemilihan yang dikenal sulit bagi PAP, yakni wilayah Pantai Timur. Pada Pemilu 2015, PAP hanya merebut 60,7 persen suara. Hasil ini merupakan salah satu kemenangan tipis partai penguasa.
Menurut sejumlah analis, tekanan kali ini lebih berat bagi Heng terkait ancaman resesi terdalam yang pernah terjadi akibat pandemi Covid-19. ”Heng berada dalam tekanan, bukan hanya harus menang untuk PAP, melainkan juga harus mampu mendapat hasil meyakinkan,” kata Garry Rodan, pakar politik di University of Queensland.
Saat krisis keuangan global dulu melanda, Heng menjabat gubernur bank sentral. Kali ini, di tengah ancaman resesi terdalam di negaranya, ia menjabat menteri keuangan. Belum lama ini ia mengeluarkan dana stimulus hampir 100 miliar dollar AS agar Singapura bisa melewati resesi ini dengan relatif mulus tanpa guncangan berarti.
Menurut Inderjit Singh, mantan anggota parlemen dari PAP, kemenangan tipis pun sudah cukup membantu dalam mendongkrak legitimasi Heng untuk pantas mengenakan jubah perdana menteri di masa depan. Pada pemilu kali ini, perjalanan awal Heng kurang mulus. Dalam pidato pengumuman pencalonan dirinya, pekan lalu, Heng sempat keseleo lidah. Insiden ini sempat dijadikan ledekan dalam meme-meme, yang beredar secara daring.
Sebagian warga Singapura juga masih meragukan kemampuannya mewakili Singapura di panggung global, andaikata suatu saat ini ia benar terpilih menggantikan Lee. Ia dianggap belum memiliki karisma untuk memimpin negara sepenting Singapura. Lee Kuan Yew pernah melukiskan Heng sebagai ”salah satu otak terbaik di kalangan pegawai pemerintah”.
Isu kesehatan juga menjadi sorotan lain pada diri Heng. Pada 2016, ia pernah terserang stroke dan kolaps dalam sidang kabinet. Ia sempat tidak sadar selama enam hari. Ketika sadar dari koma dan terbangun, seperti dilaporkan media saat itu, ia menuliskan pesan, ”Apakah hari ini ada sidang kabinet? Di manakah kertas-kertas (dokumen rapat)?”
Hasil pemilu pekan ini diperkirakan belum akan menghasilkan suksesi kepemimpinan di Singapura. Namun, performa Heng di daerah pemilihannya bakal memberikan sinyal awal, apakah dia memang sosok yang tepat untuk menjadi pemimpin Singapura berikutnya. (AFP/REUTERS)