Minimnya Data Korona dan Kekhawatiran soal ”Epidemi Senyap” di Afrika
Keberadaan data kasus Covid-19 sangat penting untuk merencanakan kebijakan pengendalian pandemi. Tanpa itu, virus korona terus menyebar dalam senyap menginfeksi banyak penduduk. Ini yang dikhawatirkan terjadi di Afrika.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Pada pertengahan April 2020, Tanzania melaporkan kasus pertama Covid-19. Saat itu, Presiden Tanzania John Magufuli menyerukan tiga hari untuk berdoa secara nasional, meminta perlindungan Tuhan dari pandemi. Sebulan kemudian, ia mengklaim telah menang atas Covid-19 dan membuka negaranya untuk wisatawan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan bahwa nyaris tidak ada informasi terkait penyebaran Covid-19 di negara Afrika Timur yang berpenduduk 55 juta jiwa itu. Dalam hal keterbatasan informasi tentang wabah mematikan ini, Tanzania tidak sendirian.
Minimnya data yang bisa diandalkan menimpa banyak negara Afrika. Sejumlah pemerintah juga enggan mengakui penyebaran Covid-19 di negaranya atau enggan mengekspose keluar tentang sistem kesehatan negaranya yang hancur. Akan tetapi, ada juga negara yang memang tidak bisa melakukan pemeriksaan yang banyak karena miskin dan dalam kondisi konflik.
Informasi dalam mengendalikan pandemi di Afrika sangat penting, baik untuk merencanakan respons maupun memobilisasi pendanaan dari lembaga bantuan. Dengan situasi yang ada saat ini, sulit mengukur tingkat keparahan pandemi di Afrika.
Afrika yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa telah melaporkan lebih dari 500.000 kasus Covid-19 dan sekitar 11.600 kasus meninggal dunia. Sebagai perbandingan, Amerika Latin yang jumlah penduduknya kurang lebih separuh dari Afrika melaporkan 2,9 juta kasus dengan 129.900 kasus meninggal.
Hingga 7 Juli 2020, berdasarkan analisis Reuters terhadap data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Afrika, sebanyak 4.200 tes Covid-19 per satu juta orang telah dilakukan di Benua Afrika. Jumlah ini lebih kecil daripada tes yang dilakukan negara-negara Asia yang sebanyak 7.650 tes per satu juta orang atau Eropa yang mencapai 74.255 tes per satu juta orang.
Data resmi itu seolah-olah menggambarkan bahwa Covid-19 telah menyebar luas di Afrika. Padahal, menurut Utusan Khusus WHO, Samba Sow, gambaran sesungguhnya bisa jadi lebih parah. Covid-19 di Afrika bisa menjadi ”epidemi senyap” jika tes tidak menjadi prioritas.
Pemerintah tak hadir
Menurut puluhan tenaga kesehatan, diplomat, dan pejabat lokal di Afrika, tidak hanya minimnya tes yang akurat, banyak pemerintahan di Afrika yang seolah tidak hadir merespons pandemi yang menimpa negaranya.
”Kita tidak bisa membantu sebuah negara melawan kehendaknya sendiri,” kata Michel Yao, Kepala Operasi Darurat WHO Afrika. ”Di beberapa negara, mereka rapat dan tidak mengundang kami. Kami seharusnya menjadi penasihat teknis utama mereka.”
Sehari setelah kasus pertama Covid-19 dilaporkan Tanzania pada 16 Maret 2020, misalnya, pemerintah setempat mengumpulkan tim gugus tugas untuk mengoordinasikan respons terhadap pandemi bersama mitra internasional, termasuk WHO, kedutaan besar negara asing, lembaga donor, dan bantuan.
Akan tetapi, setelah pertemuan itu, gugus tugas tersebut tidak pernah mengundang mitra-mitra lainnya. Para pejabat pemerintah pun tidak hadir dalam banyak pertemuan membahas Covid-19. Juru bicara Kementerian Kesehatan Tanzania, Hassan Abbasi, menyangkal menahan informasi tentang pandemi di negaranya.
Tanzania juga tidak melaporkan data kasus Covid-19 sejak 8 Mei 2020 ketika tercatat ada 509 kasus, dengan 21 kasus meninggal. Pemerintah setempat juga kurang responsif terhadap kerja sama dengan WHO dan lembaga donor untuk memperkuat pengawasan dan respons negara itu dalam pandemi.
Yang terjadi, justru Pemerintah Tanzania pada pertengahan Mei lalu memutuskan mencabut karantina wilayah meski pandemi jauh dari terkendali. Sikap Tanzania tidak memublikasikan data kasus Covid-19 membuat frustrasi negara tetangganya. Mereka khawatir keberhasilan yang sudah mereka capai dengan karantina wilayah akan hancur karena warga Tanzania melintas.
Pejabat WHO diusir
Ketika WHO khawatir akan minimnya respons Pemerintah Burundi menghadapi pandemi, negara itu mengusir pejabat tinggi dan pakar dari WHO tanpa penjelasan pada 12 Mei 2020.
Burundi termasuk salah satu negara yang menutup perbatasan pada Maret 2020. Kebijakan ini sepertinya bisa mengendalikan sebaran Covid-19. Akan tetapi, lonjakan kasus terduga Covid-19 terjadi setelah demonstrasi menjelang pemilihan umum 20 Mei 2020.
Presiden Burundi Pierre Nkurunziza (55) meninggal pada awal Juni lalu. Pemerintah menyatakan bahwa penyebab kematiannya adalah serangan jantung. Namun, muncul spekulasi bahwa ia meninggal karena Covid-19.
Negara Afrika lain yang tidak melaporkan data Covid-19 kepada WHO sejak akhir Mei adalah Guinea Ekuatorial. Pemerintah negara ini menuduh WHO menggelembungkan data kasus Covid-19 dan meminta badan dunia itu memanggil pulang perwakilannya di Guinea Ekuatorial. WHO membantah tuduhan itu dan menyebut telah terjadi ”kesalahpahaman akan data”.
Meski begitu, negara di Afrika Tengah itu tetap melaporkan kasus Covid-19 ke CDC Afrika. Saat ini, jumlah kasus Covid-19 di Guinea Ekuatorial mencapai 3.071 kasus dengan 51 kasus meninggal. (REUTERS)