Rencana Sensor Internet di Hong Kong Ditentang Perusahaan AS
Pemberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong dinilai bakal menyasar banyak lini dan memberangus kebebasan dan keterbukaan publik.
Oleh
Benny D. Koestanto
·4 menit baca
HONG KONG, SELASA — Pemerintah China berencana menyensor dan mengakses data pengguna internet di Hong Kong berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru saja diluncurkan. Rencana ini ditentang oleh Pemerintah Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan raksasa AS pun bersikap serupa dengan alasan langkah Beijing itu bertentangan dengan penghormatan atas hak-hak pribadi.
Rencana penyensoran kehidupan daring oleh Beijing terungkap dalam dokumen pemerintah setebal 116 halaman yang dirilis pada Senin (6/7/2020) malam. Dalam dokumen itu terungkap kekuatan yang diperluas bagi kepolisian di Hong Kong. Aparat polisi akan diizinkan menggerebek atau mengawasi anggota masyarakat tanpa jaminan apa pun.
Sebagaimana diwartakan, Pemerintah China memberlakukan UU Keamanan Nasional di Hong Kong pada pekan lalu. Melalui UU itu, pemerintah akan melarang terorisme, subversi, pemisahan diri, dan berkolusi dengan pasukan asing. Meskipun ada jaminan bahwa hanya sejumlah kecil orang yang akan ditargetkan oleh UU tersebut, perincian yang telah dirilis menunjukkan bahwa UU itu akan menjadi perubahan paling radikal atas kebebasan dan hak-hak Hong Kong sejak Inggris mengembalikan kota itu ke China pada tahun 1997.
”Penghancuran oleh Partai Komunis Tiongkok atas Hong Kong yang bebas terus berlanjut,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Washington pada Senin.
Pompeo berbicara menentang apa yang ia sebut sebagai serangkaian gerakan ”Orwellian” melalui menyensor aktivis, sekolah, dan perpustakaan. Orwellian adalah situasi atau kondisi, yang oleh sastrawan Inggris, George Orwell, disebut merusak atau menghancurkan keterbukaan dan kebebasan publik.
”Sampai sekarang, Hong Kong berkembang karena memungkinkan kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara, di bawah aturan hukum yang independen. Tidak lebih,” kata Pompeo.
Di bawah kesepakatan penyerahannya dengan Inggris, Beijing berjanji untuk menjamin kebebasan dan otonomi tertentu di Hong Kong sampai setidaknya tahun 2047. Namun, Partai Komunis China yang berkuasa terus-menerus mengikis kebebasan-kebebasan itu, dan memicu gerakan pro-demokrasi di Hong Kong. Gerakan itu menggelar protes besar dan sering kali diwarnai bentrokan melawan aparat.
China tidak merahasiakan keinginannya untuk menggunakan hukum guna menghancurkan gerakan demokrasi. Beijing pun mengintimidasi mereka yang ingin melawan.
”Pemerintah Hong Kong akan dengan penuh semangat menerapkan UU ini,” kata Kepala Eksekutif Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong yang ditunjuk Beijing, kepada wartawan pada Selasa (7/7/2020). ”Saya memperingatkan orang-orang radikal itu untuk tidak mencoba melanggar hukum ini, atau melewati garis merah, karena konsekuensi dari pelanggaran hukum ini sangat serius.”
Perihal penarikan buku-buku pro-demokrasi dari perpustakaan dan sekolah, Pemerintah China mengisyaratkan dalam dokumen panjang yang dirilis bahwa mereka juga akan mengharapkan kepatuhan penuh terkait dinamika kehidupan daring. Polisi diberi wewenang untuk mengontrol dan menghapus informasi daring jika ada alasan yang masuk akal untuk mencurigai data tersebut telah melanggar hukum keamanan nasional.
Perusahaan internet dan penyedia layanan dapat diperintahkan untuk menghapus informasi dan menyita peralatan mereka. Mereka akan dikenai denda dan hukuman satu tahun penjara jika menolak untuk mematuhinya. Perusahaan juga diharapkan untuk memberikan catatan identifikasi dan bantuan secara deskriptif jika diminta pemerintah.
Memicu penolakan
Permintaan-permintaan itu langsung ditolak oleh sejumlah manajemen perusahaan teknologi AS. Manajemen Facebook, Google, dan Twitter di AS menyatakan mereka telah menunda permintaan oleh Pemerintah Hong Kong atau kepolisian untuk informasi tentang pengguna. Facebook dan layanan populernya, Whatsapp, akan terus menolak permintaan sampai pihaknya melakukan peninjauan hukum yang mensyaratkan uji tuntas atas hak asasi manusia formal dan konsultasi dengan para pakar hak asasi manusia.
”Kami percaya kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang fundamental, dan mendukung hak orang mengekspresikan diri tanpa takut akan keselamatan mereka atau dampak lainnya,” kata juru bicara Facebook.
Sementara manajemen Twitter dan Google mengatakan kepada AFP bahwa mereka juga tidak akan memenuhi permintaan informasi oleh otoritas Hong Kong dalam waktu dekat. ”Seperti banyak organisasi, kepentingan publik, pemimpin dan entitas masyarakat sipil, dan rekan-rekan industri, kami memiliki keprihatinan besar mengenai proses pengembangan dan niat undang-undang ini,” kata pihak Twitter.
Dalam waktu kurang dari satu pekan sejak UU Keamanan Nasional itu diberlakukan, para aktivis demokrasi dan banyak orang biasa dengan panik mencoba untuk menghapus profil daring mereka dari apa pun yang mungkin dianggap oleh Beijing sebagai hal yang memberatkan. Dalam ketentuan baru itu juga diatur tentang peniadaan pengawasan yudisial pada polisi jika menyangkut penyelidikan keamanan nasional.
Dengan aturan itu, polisi dapat melakukan penyelidikan tanpa surat perintah jika mereka menganggap suatu ancaman terhadap keamanan nasional dikategorikan mendesak. ”Aturan baru itu menakutkan karena mereka memberikan kekuatan kepada kepolisian yang biasanya dijaga oleh pengadilan,” kata pengacara Anson Wong Yu-yat kepada media South China Morning Post. (AFP)