Setelah membatalkan membeli sistem pertahanan rudal balistik Aegis Ashore, Jepang kini harus mencari penggantinya agar tetap memiliki daya gentar di kawasan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Memiliki kemampuan pertahanan dan daya gentar yang kuat amat penting bagi Jepang yang menghadapi ancaman rudal Korea Utara dan militer China yang kian berkembang di Asia Timur. Pilihan pun dijatuhkan pada sistem pertahanan rudal balistik Aegis Ashore.
Aegis Ashore adalah varian berbasis darat dari Sistem Senjata Aegis Angkatan Laut Amerika Serikat. Sistem ini menggabungkan versi berbasis-darat dari berbagai komponen yang digunakan pada kapal Aegis, termasuk geladak, radar AN / SPY-1, Mark 41 Sistem Peluncuran Vertikal (VLS), dan pencegat Standard Missile-3 (SM-3).
Akan tetapi, baru-baru ini, secara mengejutkan, Menteri Pertahanan Jepang Taro Kono, menghentikan pengadaan Aegis Ashore karena dua alasan. Pertama, roket pendorong yang digunakan pada rudal pencegat SM-3 Block IIA kemungkinan bisa jatuh di tengah pemukiman di Prefektur Akita dan Yamaguchi.
Menurut para pakar militer, persoalan itu sebenarnya sudah diketahui oleh Jepang ketika memutuskan untuk membeli Aegis Ashore tahun 2018. rudal pencegat itu didesain untuk penggunaan di laut di mana puing-puing roket pendorong akna jatuh ke laut dan tidak membahayakan pemukiman penduduk
“Sejak awal, keinginan pemerintah Jepang mustahil dipenuhi. Saya dulu seorang penembak rudal, saya paham sulitnya mengendalikan jatuhnya puing-puing roket,” kata mantan Pasukan Bela Diri Maritim Jepang Laksamana Purnawirawan Yoji Koda yang memimpin armada angkatan laut Jepang tahun 2007-2008.
Kedua, harga Aegis Ashore. Kontrak pengadaan Aegis Ashore Jepang senilai 1,7 miliar dollar AS. Kementerian Pertahanan memperkirakan dalam 30 tahun ke depan biaya operasional dan pemeliharaannya yang dibutuhkan mencapai sekitar 4 miliar dollar, belum termasuk biaya pengujian rudal minimal 500 juta dollar AS.
Keputusan Tokyo membatalkan pembelian dua Aegis Ashore itu memiliki konsekuensi. Jepang harus mencari ganti Aegis sebagai dinding pertahanan negara itu dari ancaman luar.
Untuk saat ini, Jepang bakal mengandalkan kapal perusak yang dilengkapi dengan radar Aegis yang mampu memandu rudal pencegat SM-3 menyasar rudal musuh di udara. Meski masih bisa ditingkatkan lagi untuk menangkal ancaman lain, kemampuan radar ini kurang baik. Tahun depan, Jepang akan memiliki delapan kapal perusak Aegis.
Namun, kebutuhan 300 orang pelaut untuk setiap kapal dan keberadaan kapal lain untuk mengawalnya menjadi kendala bagi Jepang yang sedang berjuang untuk merekrut tentara.
“Punya dua atau tiga kapal dengan Aegis di Laut Jepang menyia-nyiakan aset. Saya pikir Aegis Ashore adalah pilihan terbaik,” kata Noboru Yamaguchi, penasihat di Sasakawa Peace Foundation sekaligus mantan Jenderal di Pasukan Bela Diri Darat.
Selain itu, Jepang juga memiliki rudal Patriot PAC-3 yang mampu menembak hulu ledak beberapa saat sebelum mengenai sasarannya. Jepang terus meningkatkan daya jelajah dan akurasi rudal Patriotnya.
Di luar itu, Jepang juga bisa menambah lapisan pertahanannya dengan misalnya rudal Terminal High Altitue Area Defense (THAAD) AS yang kemampuannya berada di antara SM-3 dan Patriot. Peluncur bergeraknya lebih mudah untuk dipindahkan dibandingkan peluncur Aegis yang tetap.
Kemampuan Menyerang
Dewan Keamanan Nasional yang diketuai Perdana Menteri Shinzo Abe akan mempertimbangkan apakah Jepang akan membeli senjata yang mampu menyerang peluncur rudal. Opsi ini menarik karena lebih mudah menyasar rudal yang masih berada di stasiun peluncurannya daripada menarget rudal yang telah diluncurkan di udara.
Itsunori Onodera, mantan Menteri Pertahanan, berargumen bahwa menyerang stasiun peluncuran rudal sama dengan menjatuhkan pesawat pembom. Hal ini sejalan dengan konstitusi Jepang yang menolak perang tapi mengizinkan untuk membela diri.
Tahun 2017, Onodera menyetujui pembelian rudal jelajah udara dengan jangkauan hingga 1.000 kilometer yang bisa ditembakkan dari pesawat siluman F-35 atau jet tempur F-15 membuatnya bisa menjangkau target di Korea Utara dari Laut Jepang.
Namun, rudal semacam itu akan sulit mencapai targetnya dengan presisi tanpa dipandu oleh satelit. Jepang sebenarnya telah meluncurkan satelit pemantaunya pada roket H-2A Februari lalu. Tapi, itu tidak dirancang untuk memandu serangan.
Lagipula kebijakan untuk menyerang pertama akan menjadi perubahan kontroversial dalam postur militer Jepang yang dapat memicu kekhawatiran negara tetangga. China, Rusia, bahkan Korea Selatan akan menentangnya.
Hal itu mungkin tidak akan menghalangi Jepang. Tapi, resistensi dari Amerika Serikat sebagai sekutu Jepang bisa. Di bawah kemitraan militer mereka, Jepang menyediakan pertahanan untuk melindungi pasukan AS. Pemerintahan AS yang lalu juga menentang inisiatif serangan oleh Jepang.
Di smaping itu, pertimbangan konstitusi juga bisa menjadi halangan. Konstitusi Jepang yang disepakati oleh AS melepaskan haknya untuk berperang.(REUTERS)