Petambang Batu Giok Tidak Terdata, Jumlah Korban Pun Simpang Siur
Jumlah korban kecelakaan tambang batu giok di Hpakant, Negara Bagian Kachin, Myanmar, diperkirakan lebih dari 200 orang. Pemerintah didesak memperbaiki aturan industri pertambangan ini.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
YANGON, JUMAT — Pekerja tambang yang berada di kawasan tambang batu giok di Hpakant, Myanmar utara, sebagian besar adalah pekerja lepas yang tidak terdata. Pemerintah Myanmar dinilai gagap karena tak melarang praktik pertambangan yang cenderung lalai dan tidak bertanggung jawab.
Otoritas pertambangan di Negara Bagian Kachin, tempat lokasi tambang tersebut berada, tidak memiliki data para pekerja di lokasi ini. Sebagian besar petambang adalah pendatang dari luar wilayah Kachin untuk mencari peruntungan di lubang-lubang tambang yang merupakan pusat industri batu giok terbesar dan paling menguntungkan di dunia.
Departemen Pemadam Kebakaran Myanmar yang mengoordinasikan kegiatan penyelamatan di lokasi kejadian menyebutkan 162 mayat telah mereka temukan di Hpakant.
Namun, mengutip Myanmar Times, Jumat (3/7/2020), jumlah korban bisa saja bertambah karena diduga masih ada sekitar 80 petambang yang tertimbun longsoran lumpur di danau galian tambang.
Than Win Aung, pejabat kepolisian di kota Hpakant, mengatakan, regu penyelamat belum dapat mengangkat semua korban dari lokasi kejadian. ”Kami tidak dapat mencari dan mengangkat mayat yang terkubur lumpur seluruhnya. Kami, tim penyelamat, hanya bisa mengambil mayat yang mengapung,” ujar Aung.
Sebuah video yang dirilis media yang berbasis di Inggris, Evening Standard, Kamis (2/7/2020), memperlihatkan detik-detik terjadinya longsor di lokasi. Cuaca di lokasi kejadian ketika longsor terjadi mendung.
Hanya dalam hitungan detik, jutaan kubik tanah bergerak, mengalir ke danau bekas galian tambang yang semula berwarna hijau. Kini, setelah bercampur dengan tanah, air di danau itu menjadi keruh.
Titik lokasi tambang terjadinya longsor, dikutip dari Myanmar Times, adalah lokasi yang semula dikelola perusahaan tambang lokal, Myanmar Tagaung Co. Menurut pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi di Desa Sate Mu, U Shwe Thein, perusahaan tambang itu mengelola lokasi sejak 10 tahun lalu.
Mayoritas perusahaan tambang di lokasi menggunakan bahan peledak dalam proses penggalian. Dampaknya, struktur tanah menjadi lunak. ”Ketika hujan turun, tanah menjadi gampang longsor karena tanah sudah lunak,” kata Thein.
Ko Naung Latt, ketua lembaga swadaya masyarakat lingkungan Green Land, mengatakan, perusahaan tambang biasanya menghentikan kegiatannya apabila turun hujan deras. Namun, para pekerja lepas yang tidak terikat dengan perusahaan mana pun akan tetap melakukan kegiatannya.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari perusahaan terkait longsor di lokasi kegiatan mereka.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui juru bicaranya, Stephane Dujarric, menyatakan kesiapan organisasi itu untuk berkontribusi pada upaya berkelanjutan untuk memenuhi warga yang terdampak.
Perbaikan kondisi
Industri batu giok di Hpakant, Negara Bagian Kachin, menurut data lembaga yang berbasis di London, Global Witness, menghasilkan 31 miliar dollar AS bagi Myanmar. Jumlah ini menurut kalkulasi lembaga itu setara dengan 10 kali anggaran kesehatan yang dianggarkan Pemerintah Myanmar setiap tahun.
Namun, Pemerintah Myanmar yang saat ini dipimpin oleh Liga Nasional untuk Demokrasi, partai yang didirikan Aung San Suu Kyi, dinilai gagal dalam memastikan keselamatan dan kesejahteraan para pekerja tambang.
Pemerintah Myanmar dinilai gagap dalam melarang atau menertibkan praktik pertambangan yang cenderung lalai dan tidak bertanggung jawab dalam manajemen usahanya, termasuk pendataan para pekerja.
Pemerintah Myanmar, menurut Global Witness, enggan melarang praktik ceroboh ini karena terkait uang yang dihasilkan dan perusahaan pengelolanya memiliki kaitan dengan para petinggi militer, kelompok bersenjata, maupun kroni yang berkelindan dengan penguasa.
Meskipun militer tidak lagi secara langsung berkuasa, mereka masih menjadi kekuatan utama dalam pemerintahan dan menjalankan wewenang di daerah-daerah terpencil.
”Pemerintah harus segera menangguhkan penambangan berskala besar, ilegal, dan berbahaya di Hpakant serta memastikan perusahaan yang terlibat dalam praktik ini tidak lagi dapat beroperasi,” kata Global Witness dalam pernyataannya.
Korban tewas pada kecelakaan Kamis kemarin diduga menjadi kecelakaan terburuk yang pernah terjadi. Pada November 2015, sebanyak 113 petambang tewas dan diperkirakan 100 petambang lain tewas ketika longsoran menyapu lebih dari 70 gubuk tempat tinggal para petambang yang tengah tidur.
Sampai saat ini belum ada keterangan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Myanmar terkait kecelakaan tambang di Hpakant. (AP/AFP)