Indonesia Damaikan AS-China di Sidang DK PBB, Resolusi Disahkan Aklamasi
Dewan Keamanan PBB berhasil mengesahkan resolusi yang tertunda selama berbulan-bulan akibat perselisihan AS dan China. Indonesia mampu menjembatani perbedaan pandangan AS-China sehingga resolusi diterima secara aklamasi.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lobi Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York, AS, berperan penting dalam pengesahan secara bulat resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2532, Rabu (1/7/2020) waktu AS atau Kamis dini hari WIB. Resolusi itu memerintahkan penghentian konflik bersenjata sekurang-kurangnya 3 bulan guna membantu upaya penanganan dampak pandemi Covid-19.
Resolusi tersebut selama berbulan-bulan ditolak AS dan China, dua negara penyumbang dana terbesar bagi PBB. Kedua negara itu juga selalu mengancam akan menggunakan hak vetonya jika resolusi tersebut dibahas. AS menolak rancangan itu karena China mendesak ada pembahasan soal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rancangan resolusi DK PBB.
Beijing mengancam akan memveto resolusi DK PBB yang tidak membahas soal WHO. Sebaliknya, Washington mengancam akan memveto resolusi DK PBB yang membahas WHO. Selama beberapa pekan terakhir, AS menyalahkan WHO atas pandemi Covid-19. Washington menuding WHO terlalu condong ke China.
Menurut sejumlah diplomat yang dikutip kantor berita AFP, Indonesia membantu menjembatani perbedaan pandangan dua negara adidaya tersebut. Diwakili Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani, Indonesia menyodorkan cara pandang kompromi dengan merujuk pada komitmen Majelis Umum PBB untuk mendukung WHO. Referensi itu ditambahkan pada pendahuluan resolusi Nomor 2532 tersebut.
Upaya Indonesia itu, menurut sejumlah diplomat, mampu memuaskan China dan AS. Saat dihubungi dan diminta tanggapan mengenai hal tersebut, Dian Triansyah Djani mengatakan, Indonesia menjembatani perbedaan pandangan para anggota Dewan Keamanan PBB. Indonesia mengusulkan untuk merujuk pada resolusi Majelis Umum PBB Nomor 74/270.
”Dengan rujukan itu, semua pihak dapat menerima sebagai jalan tengah,” ujarnya dalam pernyataan yang dikirim dan diterima Kompas, Kamis (2/7/2020).
Dalam sidang pada Rabu di New York, seluruh anggota DK PBB setuju mengesahkan resolusi Nomor 2532 tentang Penanganan Covid-19.
”Bagi Indonesia, yang merupakan salah satu peyumbang personel Misi Perdamaian PBB terbesar, resolusi ini juga memiliki arti penting karena memiliki berbagai rujukan kepada perlunya perhatian terhadap isu keselamatan dan keamanan personel Misi Perdamaian PBB,” tutur Djani.
Resolusi itu menjadi sikap resmi pertama DK PBB soal pandemi ini. Dalam resolusi itu tercantum penghentian segera segala bentuk permusuhan di seluruh dunia. Seluruh pihak dalam konflik bersenjata diminta segera menghentikan baku tembak sekurangnya 90 hari berturut-turut agar bantuan kemanusiaan dan evakuasi medis bisa dilakukan.
Perintah itu berlaku, antara lain, untuk konflik-konflik di Suriah, Yaman, Libya, Sudan, dan Kongo. Resolusi tidak berlaku untuk operasi membasmi kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda serta Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Mengikat
Berbeda dengan resolusi MU PBB, resolusi DK PBB mengikat dan bisa diikuti sanksi. Apalagi, resolusi Nomor 2532 itu disetujui seluruh 15 anggota DK PBB. Dengan pengesahan resolusi DK PBB 2532, Indonesia kembali membuktikan dampak diplomasinya dalam penanganan Covid-19. Sebelumnya, Indonesia memprakarsai resolusi MU PBB 74/270. Bersama sejumlah negara lain, Indonesia juga menghasilkan mandat bagi WHO untuk penanganan Covid-19.
Resolusi DK PBB soal Covid-19 diusulkan dua kali oleh Jerman-Tunisia dan Perancis-Tunisia. Wakil Tetap Tunisia, Kais Kabtani, menyebut resolusi itu sebagai pencapaian bersejarah. ”Pengesahan resolusi ini akan mengirimkan sinyal penting bagi pihak-pihak bertikai dan membantu perubahan keadaan,” kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.
Resolusi tersebut juga menjawab permintaan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Maret 2020. Kala itu, pada awal peningkatan penyebaran Covid-19, Guterres mendesak penghentian baku tembak. Penghentian itu akan membantu upaya kemanusiaan dan evakuasi kesehatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19.
Waktu permintaan tersebut diajukan, warga sipil di Yaman tengah digempur Arab Saudi, pasukan Yaman, milisi Houthi, dan milisi separatis selatan. Sementara warga Suriah ketakutan di tengah baku tembak pasukan pemerintah yang disokong Rusia dan milisi pemberontak yang disokong Turki.
Setelah DK PBB akhirnya menghasilkan resolusi, Guterres menyatakan gembira karena permintaannya disokong 18 negara dan 20 kelompok bersenjata. Walakin, ia mengakui bahwa permintaan itu belum diikuti tindakan nyata.
Guterres juga pernah menyesalkan lambannya proses di DK PBB di tengah krisis global. ”Kita menyaksikan hubungan yang tidak berfungsi antara AS-China, AS-Rusia, membuat hampir mustahil bagi DK PBB membuat keputusan apa pun yang penting untuk melawan Covid-19,” ujarnnya, beberapa waktu lalu.
”Kita punya multilateralisme, walakin multilateralisme itu tidak bergigi. Kita perlu mekanisme kerja sama, mekanisme tata kelola, yang (sekarang) tidak ada. Di mana pun ada sistem multilateral yang bergigi, seperti di DK, tampaknya tidak terlalu menggigit,” tuturnya.
Sejumlah pihak juga tidak yakin resolusi DK PBB akan benar-benar berdampak di berbagai zona perang. ”Dewan melewatkan kesempatan untuk mendorong (permintaan) sekjen soal gencatan senjata global pada April atau Mei kala resolusi bisa membuat perbedaan penting. Ini seperti upaya menyelamatkan muka setelah diplomasi yang sulit selama berbulan-bulan,” kata Richard Gowan dari International Crisis Group.
Bahkan, Oxfam menuding PBB gagal melindungi jutaan warga. Sebab, PBB tidak kunjung membuat keputusan terkait permintaan sekjennya soal gencatan senjata di tengah pandemi. (AP/AFP)