Embargo senjata adalah bagian tidak terpisahkan kesepakatan nuklir Iran dan resolusi PBB yang mengadopsi kesepakatan itu. Embargo berlaku lima tahun dan berakhir pada Oktober 2020.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Perpanjangan embargo senjata dan peningkatan sanksi terhadap Iran bisa melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Wakil Tetap China untuk PBB Zhang Jun mengatakan, embargo senjata adalah bagian tidak terpisahkan kesepakatan nuklir Iran dan resolusi PBB yang mengadopsi kesepakatan itu.
Embargo berlaku lima tahun dan berakhir pada Oktober 2020. ”China menentang desakan AS memperpanjang embargo senjata pada Iran,” ujarnya, Selasa (30/6/2020) siang waktu New York atau Rabu dini hari WIB.
Embargo senjata menjadi salah satu bahasan dalam sidang Dewan Keamanan PBB soal Iran kemarin. Dalam sidang itu, China mengingatkan bahwa AS kehilangan hak untuk menggunakan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) sebagai alasan menambah sanksi kepada Iran sebab Washington telah mengumumkan keluar dari JCPOA sejak 2018.
”Sangat disayangkan AS meninggalkan JCPOA dan tindakan itu sebenarnya melanggar hukum internasional. Sebab, JCPOA dikuatkan dalam resolusi mengingat resolusi 2231,” kata Wakil Tetap Jerman Christoph Heusgen
Bersama Perancis, Jerman menolak tambahan sanksi bagi Iran. ”Kami tidak akan mendukung usulan sepihak untuk mengembalikan sanksi. Hal itu hanya akan menambah perpecahan di DK PBB dan tidak akan memperbaiki keadaan,” kata Wakil Tetap Perancis Nicolas de la Riviere.
Di sisi lain, Inggris dan kedua negara itu mendukung perpanjangan embargo senjata pada Iran. Bahkan, pada 14 Januari 2020, mereka telah mengajukan penggunaan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam JCPOA. Selama penyelesaian perselisihan, seluruh sanksi terhadap Iran hanya dapat dicabut dengan keputusan DK PBB. Walakin, sanksi akan tetap berlaku jika pemegang hak veto menolak pembatalan.
Sampai sekarang, proses penyelesaian perselisihan belum dimulai. China dan Rusia menolak, Inggris dan Perancis belum bertindak lebih lanjut. Adapun AS bolak-balik berusaha mendorong agar proses itu dimulai sehingga Iran bisa dijatuhi sanksi maksimum. Bagi Eropa, AS telah kehilangan hak mendorong isu itu.
Wakil Tetap Rusia Vasily Nebenzya mengatakan, Moskwa menolak tambahan sanksi pada Iran. Keputusan Washington menambah sanksi telah menghilangkan insentif bagi Teheran untuk mematuhi kesepakatan internasional.
Nebenzya, sebagaimana dikutip kantor berita Rusia Tass, menyandingkan sanksi AS pada Iran dengan kebiasaan polisi AS meletakkan lutut ke leher pada orang yang ditangkap. Perilaku seperti itu memicu kematian George Floyd pada akhir Mei 2020 di Minneapolis.
Sikap Iran
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, komunitas internasional terus-menerus menyaksikan AS melanggar resolusi 2231. AS juga mendesak negara lain ikut melanggar resolusi itu.
”Lebih berbahaya lagi, untuk pertama kalinya di PBB, anggota tetap DK PBB menghukum negara yang patuh hukum dan warga yang tidak mau melanggar resolusi DK PBB yang menekankan pendorongan dan pemfasilitasan pemulihan hubungan ekonomi dan perdagangan serta kerja sama dengan Iran. Selama bertahun-tahun kita menyaksikan kejahatan AS yang secara sengaja menyerang kerja sama dan lembaga internasional. Dengan berusaha menggantikan hukum internasional dengan hukum nasionalnya, (AS) secara langsung melemahkan perdamaian dan keamanan global,” tuturnya sebagaimana dikutip IRNA.
Ia juga mempertanyakan laporan penyelidik PBB tentang serangkaian serangan kepada Arab Saudi. Ia menuding Sekretariat Jenderal PBB tidak profesional. ”Kenapa tidak ada protes terhadap senjata AS?” ujarnya merujuk ekspor senjata AS ke Timur Tengah dan dipakai Arab Saudi menyerbu Yaman. (AFP/REUTERS)