Korsel Upayakan Trump-Kim Jong Un Bertemu Sebelum Pilpres AS
Pemerintah Korea Selatan mendorong pertemuan kembali antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un untuk membahas perlucutan senjata nuklir dan sanksi atas Korut.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
SEOUL, RABU — Untuk mendinginkan situasi di Semenanjung Korea, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mendorong Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggelar pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Moon berharap pertemuan keduanya bisa berlangsung sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden AS, November tahun ini.
Dorongan itu disampaikan Moon dalam pertemuan daring dengan Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Selasa (30/6/2020).
Menurut salah satu pejabat senior Pemerintah Korsel yang mengikuti pertemuan virtual itu, seperti dikutip dari kantor berita Yonhap, Moon telah menyampaikan ide itu melalui saluran diplomatik dua negara kepada Trump. ”Pemerintah AS memahami posisi Presiden Moon dan Korsel. Mereka tengah mengupayakan pertemuan itu,” kata pejabat yang enggan disebut namanya itu.
Dalam pertemuan dengan Michel dan Von der Leyen, Moon kembali menegaskan keinginannya agar upaya perdamaian di Semenanjung Korea tidak boleh melangkah mundur. Menurut pejabat itu, Moon berkeinginan agar hasil yang sudah dicapai dalam pembicaraan selama beberapa tahun terakhir tidak boleh lenyap begitu saja, termasuk perundingan mengenai nuklir yang macet.
”Saya percaya ada kebutuhan bagi Korea Utara dan Amerika Serikat untuk mencoba dialog sekali lagi sebelum pemilihan presiden AS,” kata sang pejabat tersebut mengutip pernyataan Moon. Dia juga mengatakan, persoalan nuklir dan sanksi yang melingkupinya harus diselesaikan melalui perundingan antara kedua negara.
Pertemuan pertama Trump dan Kim terjadi pertama kalinya tahun 2018 di Singapura. Pertemuan itu meningkatkan keyakinan dan harapan banyak pihak bahwa Pyongyang bersedia menghentikan program senjata nuklirnya. Pertemuan yang kemudian berlanjut pada konferensi tingkat tinggi yang difasilitasi Vietnam, Februari 2019, gagal. Tak ada kesepakatan antara keduanya. Masalah sanksi menjadi penghadang besar selain masalah penghancuran fasilitas pengembangan nuklir Korut yang tidak disepakati oleh kedua negara.
Trump dan Kim kemudian bertemu lagi di Zona Demiliterisasi, zona yang memisahkan wilayah Korut dan Korsel, Juni 2019. Saat itu, keduanya sepakat untuk memulai kembali perundingan. Tetapi, pembicaraan pada level pejabat teknis antara kedua pihak di Swedia pada Oktober 2019 juga tak membuahkan hasil.
Seusai pertemuan pertama di Singapura, Trump sempat mencuit melalui akun media sosial Twitter miliknya bahwa nuklir Korut sudah tidak menjadi ancaman lagi. ”Tidak ada lagi ancaman nuklir dari Korea Utara. Bertemu dengan Kim Jong Un adalah pengalaman yang menarik dan sangat positif. Korea Utara memiliki potensi besar untuk masa depan!” tulis Trump kala itu.
Trump juga berusaha mencairkan ketegangan antara AS-Korut dengan menceritakan hubungan baiknya yang sudah terjalin sejak pertemuan pertama itu. Pada sebuah kampanye di tahun 2018, Trump mengatakan bahwa Kim ”menulis kepadaku surat-surat yang indah dan itu adalah surat-surat yang hebat. Kami jatuh cinta”.
Joe Biden, mantan wakil presiden pada masa pemerintahan kedua Barack Obama, menyatakan bahwa sikap Trump terlalu berlebihan.
”Setelah tiga KTT yang disorot televisi terlaksana, kita masih belum memiliki komitmen konkret tunggal dari Korea Utara. Tidak ada satu pun rudal atau senjata nuklir yang dihancurkan. Tidak ada satu pun inspektur yang memeriksa keberadaan senjata-senjata itu di darat,” tulis Biden, menjawab pertanyaan Dewan Hubungan Luar Negeri Senat AS.
Dia menambahkan, situasinya kini bertambah buruk. Menurut Biden, kemampuan nuklir Korut semakin meningkat sejak Trump menjalin ”hubungan yang mesra” dengan Un. ”Terima kasih kepada Trump, Korut tidak lagi merupakan paria yang terisolasi di panggung dunia,” kata Biden.
Ketegangan di Semenanjung Korea kembali meningkat bulan lalu setelah Korut bereaksi atas selebaran dan bahan kampanye yang diterbangkan para pembelot Korut, yang kini tinggal di Korsel. Ketegangan itu semakin meningkat ketika Korut memutuskan semua komunikasi di kantor penghubung kedua negara, yang kemudian diledakkan. Korut sempat menyatakan akan mengirim pasukan ke perbatasan. Belakangan, rencana itu urung dilaksanakan.
Langkah-langkah dari Pyongyang, menurut para pengamat, terlihat bertujuan merebut kembali perhatian Trump dan membuat dorongan baru untuk bantuan sanksi sebelum pemilihan umum Presiden AS, November mendatang.
Senin lalu, Wakil Menteri Luar Negeri AS Stephen Biegun mengatakan, masih ada waktu bagi kedua pihak untuk terlibat kembali dalam perundingan dan membuat kemajuan besar. Meski begitu, Biegun, yang juga merupakan ketua tim perundingan tingkat kerja dengan Korut, sedikit pesimistis jika pertemuan itu berlangsung sebelum pilpres yang tinggal lima bulan lagi. (AP/REUTERS)